Ilustrasi: Davies Surya |
Ternyata apa yang terjadi selama ini, telah terungkap setelah dilakukan Investigasi gabungan BBC dan Australian Strategic Policy Institute
(ASPI). Penyebar berita tentang Papua ini telah dibangun opini hingga kampaye keluar Negeri dengan mengiklankan ke perusahan InsightID.
Berapa nilai Milyaran rupiah yang Pemerintah Biayai, mereka pake media apa saja? mari kita ikuti dan baca sampai habis investigasi yang dilakukan dua media ini. Perlu diketahui bahwa sebelumnya Facebook juga menutup beberapa akun. Mari kita baca sampai selesai.
Investigasi gabungan BBC dan Australian Strategic Policy Institute
(ASPI) menemukan keberadaan jaringan bot dan informasi palsu dalam
menyebarkan "propaganda pro-pemerintah" mengenai isu Papua.
Melalui investigasi selama dua bulan, terungkap bahwa jaringan ratusan
akun di media sosial, perusahaan, dan individu ini terkait dengan
kampanye terorganisir dan berbiaya miliaran rupiah.
"Berdasar
temuan dari investigasi ini, kami menduga bahwa tujuan kampanye ini
adalah menggunakan media sosial untuk mempengaruhi opini dunia
internasional mengenai Papua," kata Elise Thomas, periset dari
International Cyber Policy Center di ASPI.
"Kampanye seperti ini
khususnya akan menjadi lebih efektif dalam konteks Papua yang hanya
punya sedikit akses pada media yang independen".
Beberapa bulan
terakhir Papua menjadi pusat perhatian karena rangkaian peristiwa yang
berujung pada kerusuhan di Wamena yang menewaskan puluhan orang. Tentara
Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka pun terus
menuntut referendum untuk menentukan masa depan Papua.
Elise
khawatir misinformasi dan disinformasi ini berpotensi mempengaruhi
kebijakan pemerintah negara lain dan forum internasional seperti PBB.
"Jika ada yang bersedia menghabiskan waktu berbulan-bulan, dan
menghabiskan ratusan ribu dolar untuk iklan di Facebook, mereka pasti
berusaha mencapai suatu tujuan. Dalam kasus ini, nampaknya tujuannya
adalah menyebarkan pengaruh pada audiens internasional, termasuk pembuat
kebijakan, aktivis pro-kemerdekaan dan jurnalis," kata Elise.
Visualisasi peta pembicaraan seputar Papua di Twitter. |
Lembaga media sosial Insightid
Penelusuran investigasi BBC dan ASPI atas bot ini berujung pada
jaringan akun yang "tidak otentik dan diotomatisasi" yang tersebar di
setidaknya lima platform, yaitu website, Facebook, Twitter, Youtube dan
Instagram.
Mereka mempublikasikan video berkualitas tinggi dalam
bahasa Inggris dan Indonesia, dan mempublikasikan konten dalam dua
bahasa.
"Di Twitter, akun bot yang diotomasi digunakan untuk
mempromosikan dan membagikan konten dari akun utama. Sedangkan di
Facebook, mereka membayar iklan Facebook yang menargetkan pengguna di
luar Indonesia," kata Elise.
Salah satu contoh post yang diiklankan di Facebook, yang kemudian dihapus oleh Facebook karena melanggar kebijakan iklan di situs itu. |
Negara yang menjadi target antara lain AS, Inggris, Swedia, Belanda dan Jerman.
Taktik lain yang dilakukan di Twitter adalah dengan memanfaatkan tagar
yang digunakan oleh pihak pro-referendum, seperti misalnya tagar #freewestpapua.
Jaringan itu juga membuat akun yang mirip dengan akun pro-referendum,
misalnya akun @westpapuaamerdeka yang mirip dengan akun pro-kemerdekaan,
@westpapuamedia.
Nama yang banyak terkait dengan jaringan bot ini adalah akun "West Papua ID" yang terhubung ke domain westpapuaindonesia.com. Domain ini dan empat website lain terdaftar atas nama Westi Pearly, yang kemungkinan adalah nama palsu.
Namun, ada nomor telepon yang terhubung dengan akun ini. Dengan
memasukkan nomor ini ke WhatsApp dan mencari fotonya dengan mesin
pencari foto Yandex, nomor tersebut terhubung pada akun Facebook,
LinkedIn dan akun Freelancer pribadi dari seorang bernama Pera Malinda
Sihite. Dia menyebut dirinya sebagai co-founder perusahaan konsultan
media sosial InsightID.
Pada websitenya (yang kini sudah tidak
dapat diakses), salah satu proyek InsightID adalah "Papua Program
Development Initiative, meneliti perkembangan sosio-ekonomi Papua yang
pesat dan mengeksplorasi tantangannya.
Investigasi juga menemukan
bahwa email co-founder InsightID Abdul Aziz digunakan untuk
mendaftarkan 14 domain terkait Papua, yang semua didaftarkan pada hari
yang sama.
Beberapa website ini diduga saling terkait, karena mereka menggunakan kode tracking yang sama dari Google Analytics.
Sejalan dengan temuan investigasi, Facebook mengumumkan penemuannya
terhadap jaringan akun yang bertujuan "menyesatkan pembaca".
"Kami menghentikan aktivitas mereka karena tidak ingin layanan kami
dipakai untuk memanipulasi orang lain," kata Nathaniel Gleicher, Kepala
Kebijakan Keamanan Cyber Facebook dalam rilis persnya, 3 Oktober.
Facebook menutup 69 akun, 42 pages dan 34 akun Instagram. Ada satu
Pages yang diikuti oleh 410 ribu akun, dan salah satu akun Instagram
diikuti oleh 120 ribu akun.
Jaringan media sosial InsightID
Di website insightid.org, salah satu proyek InsightID adalah “Papua Program Development Initiative. Proyek tersebut meneliti perkembangan sosio-ekonomi Papua yang pesat dan mengeksplorasi tantangannya”.
Youtube
Video diproduksi dalam bahasa Inggris dan Indonesia, dari Youtube video tersebut di-embed di website.Youtube |
Dana yang dihabiskan jaringan ini untuk membayar iklan di Facebook mencapai hingga US$300.000, atau sekitar Rp4,2 miliar.
"Meskipun mereka yang ada di baliknya berusaha untuk menyembunyikan
identitas mereka, investigasi kami menemukan bahwa ada hubungan ke
lembaga media sosial InsightID," kata Nathaniel.
Aktor di balik
jaringan ini menggunakan akun palsu untuk mengelola Pages, menyebarkan
konten mereka dan mengarahkan orang untuk mengakses website di luar
Facebook.
Menurut Facebook, jaringan ini mengunggah konten dalam
bahasa Inggris dan bahasa Indonesia tentang Papua, dengan beberapa
halaman membagikan konten yang mendukung gerakan kemerdekaan, sedang
yang lain mengkritik. Namun investigasi BBC tak menemukan otomasi konten
pro-kemerdekaan yang terkait dengan InsightID.
BBC berusaha
menghubungi dua co-founder InsightID, Abdul Aziz dan Pera Malinda
Sihite, melalui telepon, namun tidak diangkat. Permintaan hak jawab
melalui email pun tidak dibalas.
Meski demikian, beberapa hari
setelah pengumuman Facebook mengenai keterlibatan InsightID, beberapa
akun yang terkait dengan InsightID menyebarkan pengumuman yang disebut
dari perusahaan tersebut.
"Konten kami membela Indonesia melawan narasi hoaks kelompok separatis Papua Merdeka," demikian bunyi pengumuman tersebut.
Mereka juga membantah telah mengeluarkan dana sebanyak US$300.000, dan
menyatakan bahwa jumlah itu adalah gabungan dari berbagai kelompok yang
mengangkat isu Papua.
Pengguna Facebook di Belanda menjadi salah satu target sasaran iklan berbayar di Facebook. Ini adalah penargetan iklan di salah satu posting akun Facebook dalam jaringan InsightID. |
Pemerintah menilai bahwa
penutupan akun-akun yang diduga terkait dengan InsightID ini sudah
sejalan dengan kebijakan pemerintah.
"Langkah yang dilakukan FB
sejalan dengan apa yang dilakukan pemerintah selama ini, dalam upaya
kami memerangi hoaks dan ujaran kebencian," kata Ferdinandus Setu, Plt
Kepala Biro Humas Kemenkominfo.
Menurutnya, akun palsu yang
menyebarkan misinformasi dan disinformasi memang masih mejadi masalah
besar dan signifikan di Indonesia.
"Fakta yang dimanipulasi untuk
kepentingan mendiskreditkan kelompok tertentu, itu yang paling
berbahaya dan bisa menganggu ketertiban kita sebagai bangsa," kata
Ferdinandus kepada BBC Indonesia melalui telepon.
Bagaimana suatu akun dapat disebut bot?
"Akun-akun ini sangat mudah dikenali. Mereka berbagi konten yang sama,
pada waktu-waktu yang tidak biasa, dengan algoritma yang serupa," kata
Elise.
Saat diperiksa lebih lanjut, ada perbedaan antara akun bot dengan akun biasa.
Awalnya, BBC menemukan akun-akun ini ketika memeriksa tagar seputar Papua.
BBC memeriksa beberapa akun dengan melihat usernamenya di Twitter. Foto
yang mereka pakai untuk profil itu bukan foto asli. Ada yang tidak
memasang foto, ada foto bintang hip hop korea, aktor China atau foto
orang Australia.
Untuk memastikan foto itu bukan foto asli, foto tersebut diunggah ke mesin pencari gambar Yandex. Ketika dicari dengan image reverse search, foto-foto tersebut sudah pernah diunggah oleh orang lain sebelumnya.
Ketika diperiksa di lini masa, konten yang
mereka unggah hanya konten-konten yang diprogram ini dan tidak ada yang
lain. Setiap akun mengunggah konten pada jam berbeda, tapi kerap kali
pada menit dan detik yang sama sehingga kecil kemungkinan dilakukan akun
yang bukan bot.
Arvin Supriyadi |
Banyak dari akun bot terkait InsightID yang ditemukan dalam investigasi, kini sudah diblokir oleh Twitter.
Kepada BBC, juru bicara Twitter menjelaskan bahwa manipulasi platform,
termasuk spam dan cara lain untuk mengakali integritas sistem Twitter,
jelas-jelas pelanggaran peraturan Twitter.
"Manipulasi platform
(termasuk otomatisasi dengan niatan buruk, dan pengikut palsu) tidak
diizinkan di Twitter. Kami terus berusaha mencari dan mencegah akun yang
menunjukkan tanda-tanda memanipulasi percakapan publik di Twitter,"
kata juru bicara Twitter melalui email.
'Pojokkan media internasional'
Investigasi BBC dan ASPI juga mengungkap beberapa laman yang menyebarkan informasi tidak benar mengenai Papua.
Website-website ini serupa, namun berdiri sendiri dan tidak ada hubungannya dengan InsightID.
Itu adalah Wawawa Journal, sebuah situs berbahasa Inggris, nampak
seperti sebuah situs berita. Beberapa artikelnya berupa opini positif
tentang Indonesia, beberapa artikel di dalamnya menulis informasi dari
narasumber tanpa nama.
Artikelnya kemudian disebarkan melalui media sosial dengan tagar yang berkaitan dengan Papua.
"Menariknya, banyak artikel ini menyerang media-media Internasional,
seperti Australian Broadcasting Corporation atau Radio New Zealand,"
kata Elise.
Wawawa Journal, dan situs serupa bernama
tellthetruthnz, terdaftar atas nama Muhamad Rosyid Jazuli. Dia adalah
CEO Jenggala Institute for Strategic Studies, sebuah lembaga yang
menginduk pada Jenggala Center.
Pada laman resmi Jenggala Center,
yayasan ini menyebut "lahir dari hiruk-pikuk kerja politik di Tim
Jenggala, sebuah tim pemenangan yang menginduk kepada (ketika itu)
Cawapres Jusuf Kalla".
Saat dikonfirmasi, Muhamad Rosyid Jazuli
mengakui bahwa dia memang membuat kedua website tersebut atas inisiatif
pribadi, bersama beberapa temannya. Dia membantah bahwa website yang
dibuatnya bermuatan politis.
"Itu inisiatif sendiri. Kami
prihatin, karena media internasional selalu mengutip hanya beberapa
tokoh yang dianggap mewakili situasi di Indonesia. Itu tidak fair. Harus
ada penyeimbang," kata Rosyid.
Salah satu artikel di Wawawa
Journal menyebut bahwaKomisioner PBB untuk hak asasi manusia Michelle
Bachelet menyatakan bahwa lembaga internasional menyambut positif cara
Indonesia menangani masalah di Papua.
Padahal, Michelle Bachelet
menyatakan bahwa dirinya prihatin dengan kekerasan yang terjadi dan
meminta otoritas untuk berdialog dan menghindari penggunaan kekerasan.
Artikel lain di Wawawa Journal menyebut bahwa pembakaran rumah dan
kerusuhan di Wamena dipicu oleh disinformasi yang dilakukan pengacara
Veronika Koman.
Wawawa Journal |
Dalam salah
satu tulisannya, Wawawa Journal menyatakan bahwa cuitan Veronika Koman
"Itu adalah trigger yang membuat teman-teman [di Papua] menjadi lebih
anarkis," kata Rosyid membela tulisan tersebut.
Meski demikian, Rosyid menolak jika lamannya disebut memberi berita bohong, maupun disinformasi dan misinformasi.
"Saya menyebarkan ini untuk memberikan pandangan alternatif. Ini upaya
untuk memberikan upaya balance di dunia pemberitaan, dan pengayaan
diskursus," kata Rosyid.
Dia juga menyatakan bahwa biayanya dibayar dengan dana pribadi dan tidak terkait dengan tempatnya bekerja.
Saat ditanya kenapa tidak mendaftarkan websitenya sebagai media, dengan
identitas yang jelas dan terdaftar di Dewan Pers, Rosyid menjawab bahwa
"karena saya sekolah dan bekerja juga, jadi bikin blog saja".
Mengenai tentang keberadaan situs yang menyebarkan misinformasi dan
disinformasi, pemerintah menyatakan akan mengambil tindakan dengan
berpatokan pada Dewan Pers.
"Kalau website atau portal tertentu
belum terdaftar di dewan pers, kami anggap sebagai produk bukan pers.
Kalau produk bukan pers, kami nilai dengan UU ITE," kata Ferdinandus
Setu, Plt Kepala Biro Humas Kemenkominfo.
Dengan UU ITE, jika
menemukan konten provokatif, SARA dan hoaks, dia menyatakan bahwa
Kementrian akan langsung memblokirnya. Berbeda dengan situs yang
terdaftar di Dewan Pers, maka Kementrian akan bertindak sesuai UU Pers.
Diancam dibunuh dan diperkosa
Investigasi BBC menemukan bahwa Veronica Koman, pengacara hak asasi
manusia, menjadi salah satu target penyebaran distorsi informasi terkait
Papua.
Selain distorsi informasi, Veronica juga menerima ancaman
pembunuhan dan perkosaan. "Sering sekali dapat ancaman perkosaan dan
pembunuhan, setiap hari. Setiap hari bukan cuma satu, banyak banget. Di
Twitter, FB dan Inbox," kata Veronika.
Veronica Koman kini masih
menyandang status tersangka terkait sejumlah cuitannya yang disebut
"lontaran diskriminatif dan rasial" terhadap mahasiswa Papua di
Surabaya, pertengahan Agustus lalu. Dari pasal-pasal yang disangkakan
Veronica pun diancam hukuman hingga enam tahun penjara.
Meski demikian, Veronika tetap menggunakan akun Twitternya dari Sydney, Australia, untuk menyebarkan informasi tentang Papua.
Veronika meyakini bahwa menyajikan dan membuka informasi seluas-luasnya
mengenai apa yang sebenarnya terjadi di Papua akan dapat melawan
banyaknya "distorsi informasi" di media sosial.
Kesimpulan, dari sini siapa yang membangun Hoaks dan opini di Lokal, Nasional, Hingga Internasional terkait Isu Papua? siapa juga yang tak inginkan Papua Damai dan Pembunuhan dan penembakan Sana sini? marih kita ambil hikma dan simpulkan.
"Salam dari saya"
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !