Oktovianus Pogau mantan Aktivist Papua dan Jurnalis Pimpinana www.suarapapua.com |
In Memoriam Oktovianus Pogau (1992-2016)
Yesus, mengapa Kau harus
lahir di Betlehem, tidak di negeriku?
Negeriku kini berdarah-darah
Tetesan air mata, bau anyir
kekerasan
Terdengar nyaring
ditelingaku”
— Yesus, Mengapa Kau Tidak Lahir di Papua, 25 December 2009
Pk. 05:09
OKTOVIANUS
Pogau, jurnalis Papua, meninggal dunia pada hari Minggu, 31 Januari 2016. Dia
meninggal pada usia sangat muda, 23 tahun. Okto, panggilan akrabnya, atau Mepa
panggilan sayangnya di kalangan teman-teman Papua. adalah pendiri dan sekaligus
editor dari koran online Suara Papua.
Dia adalah bagian dari kaum intelektual publik Papua yang jumlahnya sangat
kecil itu. Okto juga dikenal sebagai pemuda yang cerdas dan gigih
memperjuangkan nasib bangsa Papua. Dia juga kritis dan berani menyuarakan apa
yang tidak boleh disuarakan oleh media-media lokal Papua maupun media nasional.
Jurnalis muda
ini lahir pada 5 April 1992 Desa Mbamogo, Kecamatan Sugapa, Kabupaten Intan
Jaya, Papua. Ini adalah sebuah kabupaten hasil pemekaran dari kabupaten Paniai.
Ayah Okto, Petrus Pogau, adalah kepala kampung Mbamogo. Okto dilahirkan oleh
Juliana Nabelau salah satu dari tujuh istri Petrus Pogau. Okto sangat dekat
dengan mamanya. Seperti ditulisnya dalam blognya, dia dididik oleh mamanya agar
“… berhasil dan berguna bagi bangsa dan nusa terutama bagi Papua tercinta.”
Umur empat
tahun, Okto muda bersekolah di Taman Kanak-kanak milik Yayasan Pesat di
Kecamatan Sugapa. Dia masuk sekolah dasar SD Kristen Agape, Kalibobo, Nabire.
Sekolah menengah dia selesaikan di SMP dan SMA Anak Panah masih di Nabire. Okto
sudah menjadi yatim piatu sejak usia yang sangat belia. Ayahnya meninggal pada
saat dia duduk di kelas 1 SD. Ibunya menyusul ketika dia berada di kelas 5 SD.
Untunglah dia kemudian tidak mendapat kesulitan melanjutkan sekolahnya. Dia
tinggal di asrama sekolah dan mendapat beasiswa karena kecerdasannya.
Di sekolah
Okto sudah menampakkan bakat dan kecerdsannya yang luar biasa. Dia menang lomba
menulis soal lumpur Lapindo ketika dia masih SMP. Untuk itu dia diberi
kesempatan mengikuti pelatihan menulis di Yogyakarta. Dia juga sudah mulai
aktif menulis untuk koran lokal di Nabire ketika berumur 15 tahun.
Umur 16 tahun
Okto sudah membikin blog sendiri (https://pogauokto.wordpress.com). Disanalah dia mengasah
bakatnya sekaligus mencurahkan kegelisahan-kegelisahannya.Dia juga menulis
komentar-komentarnya tentang keadaan sosial dan politik lokal di Papua. Kalau
dibaca kembali, sungguh sulit untuk membayangkan bahwa tulisan-tulisan tersebut
dibuat oleh seorang anak Papua yang masih remaja dan mengalami segala macam keterbatasan.
Pada 2009,
Okto mendapat beasiswa untuk belajar di Universitas Kristen Indonesia di
Jakarta. Dia memilih belajar ilmu Hubungan Internasional. Rupanya dia punya
pertimbangan khusus memilih bidang ini. Sekalipun sangat mencintai dunia
jurnalistik, Okto memikirkan masa depan bangsanya. Untuk dia, masa depan Papua
ada pada diplomasi internasional. Toh dia punya kesempatan untuk mempelajari
dunia jurnalisme di luar kampus. Dia pernah mengikuti pelatihan-pelatihan yang
diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan kemudian mendapat
undangan untuk mengikuti kursus Jurnalisme Sastrawi yang diadakan oleh Yayasan
Pantau. Disanalah dia bertemu dengan Andreas Harsono, seorang jurnalis dan
peneliti Human Rights Watch (HRW), yang sekaligus juga menjadi wali muridnya di
Jakarta.
***
Kecintaan
Okto terhadap bangsa Papua tidak bisa diragukan. Di Jakarta, Okto tergabung ke
dalam organisasi Aliansi Mahasiswa Papua (AMP). Bahkan dia sempat menjadi
pengurus di bidang pendidikan dan pengembangan. Karena kebutuhan untuk
melakukan aksi di tingkat nasional, dia bersama almarhum Victor Kogoya menjadi
perwakilan Komite Nasional Papua Barat (KNPB) konsulat Indonesia Barat. KNPB
adalah sebuah organisasi pemuda, pelajar, dan mahasiswa Papua yang banyak
mengangkat isu ketidakadilan di negerinya. Para pemuda Papua yang bergabung
dalam organisasi ini sangat serius mempertanyakan masa lampau Papua termasuk
proses Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 yang kontroversial itu. Tidak
heran kalau para pemuda ini menuntut diadakannya referendum untuk menentukan
masa depan Papua.
Kalau kita
membuka arsip tulisan-tulisan Okto Pogau, kita seperti menemukan harta karun
pemikiran anak-anak muda Papua kontemporer. Tulisan-tulisan yang datang dari
pikiran jujur seorang anak muda yang bersemangat itu seakan membuka lebar-lebar
jendela pemahaman bagi orang-orang non Papua akan kegelisahan dan keinginan
untuk merdeka. Sebagian besar orang mungkin mengenal Okto hanya sebagai seorang
jurnalis. Namun sesungguhnya lebih dari itu. Ia adalah penulis dan pejuang
progresif Papua merdeka.
“Kau
seharusnya tulis catatan mingguan atau bulanan soal perkembangan pendekatan
Jakarta pada Papua,” demikian katanya suatu ketika. “Tong
butuh orang-orang kritis yang rutin pantau kebijakan Jakarta soal Papua,”
lanjutnya. Dia adalah orang yang sama sekali tidak memikirkan diri sendiri. Dia
selalu berjuang agar masalah-masalah Papua diketahui, dibicarakan, dan
diperjuangkan oleh lebih banyak orang. Hampir seluruh hidupnya diabdikan untuk
tujuan itu.
Okto memang pandai
mengusik kenyamanan pikiran orang lain. Kepalanya selalu penuh ide dan rencana.
Dia sangat ingin membuka celah agar orang-orang di Jakarta mendengar dan
memperhatikan apa yang dialami oleh orang Papua. Dia tahu itu sulit, Namun dia
tidak peduli. Anak belia ini paham betul akan peran dan posisi Jakarta sebagai
jalan keluar banyak masalah di negerinya. Itulah sebabnya dia sangat serius
mempelajari Indonesia, terutama politik di Jakarta.
Tidaklah
terlalu mengherankan jika dia sangat marah dengan Komnas HAM karena sangat
lambat bekerja dalam menindaklanjuti kasus pembantaian di Paniai pada Desember
2014. Ia mendokumentasikan perkembangan advokasi kasus ini di Jakarta dan Papua
dengan sangat rinci. Dia juga mendorong kelompok-kelompok mahasiswa Papua untuk
mengawal advokasi ini. “Kapan kalian aksi Paniai lagi di
Jakarta?” demikian selalu pesan singkatnya. Seringkali datang
tiba-tiba.
Pada bulan
Desember yang lalu, dia bertanya, “Kita perlu sekolah atau kursus-kursus
aktivisme dan menulis di Jayapura. Kau bisa bantu apa?” Bagi yang
mengenalnya, pertanyaan seperti itu adalah sekaligus tagihan untuk
bertanggungjawab. Okto tak pernah hanya sekedar bertanya. Ia mengritik
sekaligus menagih. Tak jarang hal itu membuat orang jadi tercenung, marah
sekaligus tertantang, kalau tidak pusing atau malu. Okto memang begitu peduli
dan rajin mencetak ‘kader-kader’ penulis muda agar berkomitmen sekaligus
berketerampilan. Mereka pun menganggap Okto sebagai ‘guru’.
Pada jaman
ini, media sosial menjadi alat penting untuk perjuangan Papua. Okto adalah
penulis sekaligus aktivis yang serius menggunakan medium ini untuk berdiskusi
dan mengasah gagasan-gagasan politiknya. Selain, tentu saja, ia mendorong
advokasi hak-hak sipil politik ekonomi serta sosial budaya orang-orang Papua.
Ia tak pernah menjadi sekadar jurnalis atau penulis saja.
Pilihan
inilah yang membuatnya sering menghadapi masalah. Dia pernah dianiaya oleh
polisi ketika meliput demonstrasi KNPB pada tahun 2011. Semua orang tahu bahwa
dia sangat bersimpati kepada KNPB dan perjuangannya. Dia juga pernah menjadi
anggota organisasi ini. Namun keanggotaan itu ditinggalkannya ketika serius
menekuni jurnalisme. Akan tetapi, seorang jurnalis toh memiliki pendirian
politik juga. Seperti, misalnya, wartawan Indonesia di Papua tentu punya
pendirian politik yang langsung atau tidak langsung mempengaruhi pandangannya
ketika melakukan tugas jurnalistik.
Campuran
antara melakukan tugas jurnalistik dan kekukuhan memegang pendirian politik
inilah yang kadang membuat Okto mendapat rintangan. Sebuah organisasi wartawan
menolak melakukan advokasi terhadap kasus penganiayaan yang menimpanya. Alasan
mereka sederhana: saat itu Okto tidak sedang melakukan liputan namun melakukan
aktivitas politik, yakni ikut demonstrasi. Padahal sesungguhnya, Okto ketika
itu sedang melakukan liputan untuk koran berbahasa Inggris, The
Jakarta Globe. Barulah ketika The
Jakarta Globemengonfirmasi penugasan yang diberikan kepada Okto, dia
mendapat dukungan advokasi yang lebih besar.
Demikian pula
ketika dia hendak melamar menjadi anggota sebuah organisasi wartawan.
Lamarannya dipersoalkan karena dia dianggap tidak bekerja untuk media. Suara
Papua yang dia dirikan dan liputannya yang bertebaran di
mana-mana rupanya tidak dianggap memenuhi syarat. Bahkan Suara
Papua dianggap media yang tidak jelas. Baru setelah campur
tangan dari jurnalis senior sekaligus mentornya di Papua, Victor Mambor, Okto
bisa menjadi anggota.
Okto
mengagumi Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan mengidolakan Fidel Castro. Ini adalah
perpaduan yang menarik karena Gus Dur adalah seorang demokrat sementara Castro
adalah komunis. Dua elemen inilah yang sangat kuat berkembang dalam membentuk
pemikirannya.
Dalam hal
ini, Okto mewakili generasinya yang amat berbeda dengan generasi-generasi
aktivis dan pejuang kemerdekaan Papua pendahulunya, yang masih percaya bahwa
gerakan kemerdekaan adalah semacam gerakan millenarian (cargo
cult). Generasi Okto adalah generasi yang lebih eksplisit dalam
melakukan analisis lewat pemikiran-pemikiran kiri. Terlebih lagi Okto yang
berusaha untuk secara kreatif menerapkan ide-ide kiri dengan bahasa yang tidak
jargonistik.
Ia mampu
mengurai Che Guevara dalam bahasanya sendiri untuk anak-anak muda Papua:
perjuangan bukan saja melalui tulisan, puisi, buku, apalagi setajuk proposal.
Ia mengatakan, perjuangan butuh keringat, pekikan suara, dan dentuman
kata-kata. Che mengajarkan bahwa komitmen, kerja keras, serta kerja sama
menjadi landasan utama dalam memperjuangkan sebuah perubahan.
***
Karena
kemudaannya, Okto seringkali menjadi heroik dan romantik. Puisi-puisi yang
diciptakannya menunjukkan kegelisahan khas anak muda sekaligus rasa tanggung
jawabnya pada derita sesama orang Papua. Namun dia sekaligus juga bisa sangat
matang ketika harus memberikan posisi terhadap peta jalan keluar Papua yang
dikemukakan oleh tokoh-tokoh berpengaruh seperti Muridan Widjojo dan Neles
Tebay. Untuk penulis muda dan bukan tokoh ‘penting’ di kancah politik
Kepapuaan, keberanian dan independensinya itu sangat menarik.
Sejak usia
belasan Okto sudah mendeklarasikan komitmennya untuk Papua. Dia tahu persis
resiko perjuangannya di Papua.
“Dalam setiap waktu, ketika bertemu
dengan orang-orang yang bisa sa percaya, sa selalu katakan kepada mereka,
berdoalah untuk sa, kalau sekali waktu sa tra dha sama-sama dengan kalian dalam
waktu yang lama tanpa kabar, mungkin kalian bisa tanyakan kepada “mama Papua”
kemana sa di bawa, mungkin dia akan menjawab, sa telah di makan serigala yang
ganas dengan kerja sa.
Idealisme juga mendidik sa untuk mendidik orang lain yang nasib
tidak menentu seperti sa. … karena sa juga ingin mereka dapat tampil di depan
umum (bukan di lapangan saja) untuk juangkan hak-hak “mama Papua.”
Sa salah satu orang yang sangat gembira dan bahagia dengan
pekerjaan sa saat ini. Dimana juangkan hak-hak “mama Papua” dengan tulisan.
Tulisan yang bersifat penyadaran, membangun pemahaman, membangun persepsi,
serta menanamkan benih semangat nasionalisme untuk sebuah bentuk perlawanan
yang lebih besar, dan lebih kompleks secara menyeluruh. Sa tau, ini bukan
kerjaan yang mudah, apalagi sa sendiri cukup belia.
Dan secara jujur sa mau
katakan, bahwa sa lakukan semua itu. Sa lakukan karna sa cinta rakyat kecil, sa
cinta rakyat jelata, serta sa cinta sebuah kehidupan yang membebaskan. Sa tidak
berbicara lebih-lebih, karena hanya “mama Papua” yang mengetahui apa yang
sedang sa juangkan, walau perjuangan itu tidak ada yang mencatat, tidak ada
yang mempromosi, bahkan tidak ada yang buka mata besar-besar untuk melihatnya.”
Teramat
kentara keinginan Okto menyerahkan hidup sepenuhnya untuk ‘mama Papua,’ sebutan
yang ia pakai untuk setara dengan ‘Ibu Pertiwi’ di Indonesia. Tanah air adalah
seorang ‘mama.’ Untuk itu dia menyerahkan nasibnya dan dia tidak menentukan
jalannya sendiri. Seolah-olah akan meramalkan masa depannya, dia menulis bahwa
kalau dia tidak ada kabar maka tanyakanlah kepada mama Papua. Karena hanya mama
Papua yang tahu. “Mungkin saya telah dimakan serigala yang ganas karena kerja
saya.”
Jelas ini
ungkapan yang sangat nasionalistik. Sebagaimana seorang nasionalis, dia melihat
sebuah bangsa Papua yang satu. Persis seperti para nasionalis dimanapun juga,
Okto mengikatkan dirinya pada bagian yang paling lemah dari rakyat Papua.
“Jujur sa katakan, sa lakukan semua ini karena sa cinta rakyat kecil, sa cinta
rakyat jelata, serta sa cinta kehidupan yang membebaskan.”
Sekalipun
masyarakat Papua saat ini sangat terpilah-pilah antara suku, bahasa, agama,
geografis (gunung-pantai), kaya-miskin, dan lain sebagainya, namun, itu tidak
menghalangi Okto untuk membayangkan satu bangsa Papua. Disitulah persis letak
persamaannya dengan para nasionalis dimanapun di dunia ini: bahwa orang Papua
adalah satu saudara sekalipun tidak ada hubungan darah dan bahkan tidak pernah
bertemu satu sama lain. Dan bayangan akan persaudaran sebagai satu bangsa ini
tumbuh bersamaan dengan sikap politiknya yang progresif. Kebangsaan dan ide
progresif ini yang memungkinkan dia merasakan kecintaan kepada rakyat kecil,
rakyat jelata, yang lemah, miskin, tertindas, dan tidak pernah mendapatkan
keadilan. Ini bukan sesuatu yang aneh juga mengingat Soekarno pun mengembangkan
Marhaenisme ketika dia merumuskan sikap nasionalisnya terhadap Indonesia.
Cara pandang
ini sangat berbeda dengan generasi sebelumnya yang juga menginginkan
kemerdekaan Papua. Okto dan rekan segenerasinya tidak percaya lagi akan cargo
cult atau sebuah gerakan yang memimpikan datangnya masa depan
yang gemilang dan makmur di bawah satu kekuatan supernatural yang dicapai lewat
kepemimpinan yang kharismatis (dan aristokratik juga!).
Dalam sebuah
percakapannya dengan seorang aktivis perempuan Papua, anak muda ini menyadari
perjuangan untuk pembebasan Papua masih jauh dari sempurna, dan mereka semacam
sedang membangun meraba-raba dengan mata tertutup. Tetapi ia tak jatuh pada
pesimisme. Katanya, “Tapi sa selalu katakan konsekuensi dari perjuangan
haruslah demikian untuk mencapai sebuah titik, kita perlu satukan sekian banyak
ide, gagasan, karakter, watak, bahkan satukan hati. …lebih baik mundur, seraya
berbenah, dan maju lagi; ketika tak mampu lagi, tarik diri, undur lagi, dan
rasa mampu, maju lagi untuk berjuang lagi, dan ini yang dikatakan sebagai
kehidupan.” Jelas ini adalah sebuah seruan yang amat emansipatoris, yang
menekankan perlunya koordinasi dan organisasi untuk mencapainya.
***
Kalau ada
negara yang dipelajari oleh Okto dengan sangat serius maka negara itu adalah
Indonesia. Okto berusaha memahami sejarahnya. Alasannya agaknya sangat
sederhana. Dari sinilah semua penindasan dan perampasan kemerdekaan bangsa
Papua itu terjadi. Namun dia juga menemukan bahwa ada perbedaan mendasar antara
negara serta pemerintah dengan bangsa Indonesia. Negara dan pemerintah
Indonesia menjadi akar dari semua penindasan bangsa Papua. Namun dia menemukan
banyak hal dalam sejarah bangsa Indonesia. Dia tahu persis bahwa bangsa
Indonesia pun pernah mengalami apa yang sekarang dialami bangsa Papua.
Okto sangat
mengagumi Soe Hok Gie. Ini adalah aktivis yang ikut menjatuhkan sistem
Demokrasi Terpimpinnya Soekarno. Soe Hok Gie terkenal dengan sikap idealis dan
kemerdekaannya dalam berpikir. Tidak butuh waktu lama bagi Hok Gie untuk tidak
puas dan menjadi pengkritik rezim Soeharto yang menggantikan pemerintahan
Soekarno. Idealisme dan kemerdekaan berpikir itulah yang agaknya menarik
perhatian Okto. Dua bulan sebelum dia meninggal, dia mendapat undangan
mengunjungi Amerika atas undangan International Visitor Program. Sekalipun
sudah merasa sakit, toh dia berangkat dengan gembira. “Ini persis seperti Soe
Hok Gie,” ujarnya. Tentu dia gembira karena Soe Hok Gie juga pernah ikut
program yang sama.
Pada Oktober
2011, Okto mendapat semacam beasiswa dari Yayasan Pantau untuk meliput Kongres
Papua III di Jayapura. Kongres ini berakhir dengan kericuhan. Polisi dan
tentara Indonesia menyerbu arena Kongres, menembak dan memukul para pesertanya.
Okto melaporkannya secara langsung ke Jakarta sehingga mereka yang mendengarnya
lewat telpon bisa langsung mendengar suara-suara tembakan.
Kejadian itu
pulalah yang membuat Okto mengambil keputusan untuk mendirikan Suara
Papua. Baginya, penderitaan bangsa Papua perlu disuarakan. Pada
tanggal 10 Desember, bertepatan dengan hari Hak-hak Azasi sedunia, dia
melahirkan Suara Papua. Moto yang dipakai pun mencerminkan
pendiriannya, yakni “Menyuarakan Kaum Tak Bersuara.”
Sebagai
jurnalis, Okto memiliki naluri yang sangat baik. Dia adalah orang pertama yang
melaporkan kedatangan Hashim Djojohadikusumo, adik calon presiden Prabowo
Subianto, ke Papua seusai pemilihan presiden Indonesia 2014. Kedatangan Hashim
ini sangat penting karena Papua bisa menjadi kunci kemenangan dalam pemilihan
presiden yang saat itu diramalkan akan berlangsung ketat. Tidak seperti
daerah-daerah Indonesia lainnya, sistem pemilihan di Papua menggunakan ‘sistem
Noken’ dimana para tetua adat atau mereka yang berkuasa memilih mewakili
penduduk wilayahnya. Sistem ini tentu sangat rawan dengan manipulasi dan
kecurangan. Namun akhirnya Jokowilah yang memenangi Papua.
Kerja
jurnalistik Okto juga diakui oleh dunia internasional. West Papua Media Alerts,
sebuah organisasi internasional yang berusaha menyampaikan berita Papua ke
dunia internasional, memberi penghargaan yang amat tinggi terhadap apa yang
telah dikerjakan Okto. “Kami mengandalkan Okto sebagai sumber utama dan sebagai
jurnalis yang tersamar dalam program verifikasi kami,” demikian tulis
organisasi ini di dalam websitenya setelah mendengar kematian Okto. Dia
bertugas untuk memberikan verifikasi atas berbagai kejadian di Papua sehingga
memenuhi standar liputan internasional.
Ungkapan
dukacita juga datang dari United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).
Octovianus Mote, Sekretaris Jendral UMLWP secara khusus menulis tajuk yang
berjudul, “Selamat Jalan Okto, Bangsa Papua Pasti Merdeka.” Didalam tajuk ini,
peranan Okto sangat diakui karena kemampuannya memberikan laporan jurnalistik
yang lengkap dan jernih.
Sekalipun
mengagumi Soe Hok Gie, Okto agaknya lebih dekat kepada peranan seorang tokoh
perintis pers Indonesia, Mas Marco Kartodikromo. Sama seperti Mas Marco, Okto
pun selalu berhadapan dengan kekuasaan. Pemerintah Hindia Belanda menyebut Mas
Marco sebagai ‘orang gila’ yang tulisan-tulisannya bisa menciptakan kerusuhan
di kalangan penduduk pribumi. Kita yakin, Okto pun boleh jadi juga sudah
dianggap ‘gila’ oleh penguasa Indonesia karena gerakan dan karya jurnalistiknya
bisa menghidupkan api aspirasi kemerdekaan (separatisme, dalam bahasa penguasa
Indonesia) Papua.
***
Minggu itu,
31 Januari 2016, malam tiba-tiba terasa tua setelah sebuah pesan dari Redaktur Tabloid
Jubidatang tanpa pembukaan: “Kawan-kawan, saya kabarkan berita
duka, kawan kita Oktovianus Pogau sudah tiada. Meninggal malam ini”.
Okto sudah menderita sakit hampir setahun belakangan ini. Tak banyak yang tahu
atau diberitahu.
Hingga akhir
hayatnya, tetap tak banyak yang tahu kesulitan dan kesakitannya. Ia dikabarkan
meninggal karena komplikasi paru-paru. Dua hari sebelumnya, dia membalas sapaan
yang disampaikan lewat pesan di telepon. Kami tahu dia sudah sakit. Ia tidak
menjelaskan panjang lebar, hanya sebuah emotikon menitikkan
air mata. Okto mungkin tak mau membuat banyak orang resah. Sebagai yatim piatu,
mungkin sejak kecil ia sudah terbiasa menyimpan dukanya sendiri di dalam
tulisan-tulisannya.
Kehilangan
itu tidak saja dirasakan oleh bangsa Papua. Kehilangan itu juga dirasakan oleh
orang-orang Indonesia yang sepenuh hati ingin menjadikan Indonesia sebagai
negara yang menghormati martabat manusia dan negara yang berkeadilan.
Selamat jalan
Mepa! Kau adalah Bintang Kejora bagi generasi Papua mendatang!***
Copy Right : indoprogress.com
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !