“Jujur saya katakan bahwa program sanitasi lingkungan di Papua terburuk di Indonesia, saya baru dapat rapor merah di Jakarta, perilaku hidup bersih sehat (PHBS) Papua sangat rendah,” kata Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua, Aloisyus Giyai, saat dihubungi SPkepada sejumlah wartawan di Kota Jayapura, Rabu (4/6) pagi.
Diungkapkannya, penyebab buruknya program sanitasi di Papua, salah satunya perilaku hidup sehat bersih yang sangat rendah, seperti tidak mencuci tangan sebelum makan, membuang air besar secara sembarangan, kurangnya air bersih, dan membuang sampah sembarangan.
“Program sanitasi di Papua bukan tanggung jawab Dinas Kesehatan saja melainkan lintas sektoral baik Lingkungan Hidup , Pekerjaan Umum dan Dinas Sosial,” ujarnya.
Dari 3.000 kampung di Papua, lanjutnya, di antaranya 35 kampung telah melaksanakan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM), masyarakat yang mengakses air minum hanya 46 persen. Sedangkan, akses terhadap jamban sehat 42 persen.
“Berdasarkan target Millennium Development Goals (MDGs) 2015, kami sudah mencapai 68 persen akses air minum, akses sanitasi mencapai 70 persen. Dan melihat kondisi ini kita di Papua masih harus mengejar ketertinggalan tersebut. Sinergitas antar pelaku-pelaku sanitasi perlu diuatamakan seperti kerja sama antar lintas sektor,” katanya.
Upaya yang akan dilakukan pemda untuk mendapatkan standar penilaian itu, lanjutnya, salah satunya dengan mobile klinik dari rumah ke rumah.
Petugas yang akan diturunkan adalah petugas kesehatan yang tergabung pada Satgas kaki telanjang, terapung dan terbang. Para petugas itu akan melakukan penyuluhan kesehatan ke kampung-kampung.
“Petugas kami saat ini sudah memulai pekerjaannya di lapangan. Para petugas ini akan melakukan pelayanan hingga delapan bulan ke depan,”ujarnya.
Rapor MerahSebelumnya Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua Aloysius Giay, menegaskan lima kabupaten di wilayah pegunungan Papua tercatat menerima rapor berwarna kuning untuk kategori pelayanan kesehatan.
Dikatakan dari 16 kabupaten yang ada di wilayah pegunungan, hanya lima yang menerima rapor berwarna kuning. "Kelima kabupaten yang mendapat rapor kuning tersebut di antaranya Paniai, Yalimo, Intan Jaya, Pegunungan Bintang dan Tolikara," katanya.
Menurut Giay, rapor kuning ini berarti pelayanan kesehatan di lima kabupaten pegunungan ini belum dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
"Biasanya kabupaten penerima rapor kuning memiliki keterbatasan sumber daya manusia dalam pengelolaan obat, pengalokasian biaya pengiriman obat yang tidak cukup, pemakaian obat masih kurang dan tidak tersedia sesuai resep di rumah sakit," ujarnya.
Diungkapkan jika lima kabupaten di pegunungan tersebut menerima rapor kuning, maka 11 kabupaten lainnya tercatat sebagai penerima rapor merah.
"Rapor merah di sini berarti pengalokasian dana Otonomi Khusus (Otsus) tidak sesuai dengan Peraturan Gubernur Nomor 8 Tahun 2014 yaitu sebesar 15 persen sehingga kinerja pelayanan kesehatannya tidak sesuai dengan yang diharapkan," ujarnya.
Dikatakan, pihaknya membagi kinerja pelayanan kesehatan di wilayahnya dalam tiga rapor yaitu hijau, kuning dan merah.
"Rapor hijau berarti kabupaten tersebut sudah memaksimalkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, rapor kuning masih terkendala beberapa permasalahan dan rapor merah berarti derajat kesehatan masyarakat di wilayah tersebut belum ada peningkatan," ujarnya.

Sember : beritasatu