Negara-Negara RIS |
SESUDAH PROKLAMASI REPUBLIK INDONESIA
(17-8-1945)
A. KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA
Setelah Tentara Jepang menyatakan takluk kepada Tentara Sekutu (Amerika
Serikat, Inggris, Australia) sesuai pernyataan Kaisar Hirohito pada tanggal 14
Agustus 1945 yang menandai berakhirnya perang Pasifik, maka pada hari Jumat
tanggal 17 Agustus 1945 jam 10.00 pagi waktu di Jakarta, bertepatan dengan
bulan puasa bagi ummat Islam tanggal 9 Ramadhan 1364 Hijriah, Ir.Soekarno
didampingi Mohammad Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia dalam suasana
yang mencekam, menandakan berdirinya Negara Indonesia. Dengan peristiwa itu,
maka semua bekas daerah jajahan Hindi
a Belanda termasuk Irian Barat
(Nieuw-Guinea) menjadi wilayah Negara Indonesia. Pada akhir pidato proklamasi
yang dibacakan oleh Ir.Soekarno, dikatakan “Mulai saat ini kita menyusun Negara
kita!, Negara Merdeka, Negara Kesatuan Republik Indonesia, merdeka kekal dan
abadi”.
Pada hari proklamasi tersebut, dihadiri pula beberapa pemuka rakyat Selawesi
Selatan seperti Dr.G.S.S.J.Ratulangi, Andi Pangerang Petta Rani, Sultan
Dg.Raja, Lanto Dg.Pasewang dan Andi Zainal Abidin yang mewakili rakyat Sulawesi
dalam upacara Proklamasi Republik Indonesia. Sesudah proklamasi kemerdekaan,
Dr.G.S.S.J.Ratulangi dan Andi Pangerang Petta Rani sebagai Anggota Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tetap tinggal di Jakarta untuk
melanjutkan rapat.
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dibentuk pada tanggal 7
Agustus 1945 memulai sidangnya pada tanggal 18 Agustus 1945, dibuka oleh
Ir.Soekarno sebagai Ketua pada jam 11.30. Dalam sidang pertama Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menetapkan Undang-undang Dasar Negara Indonesia
(UUD-1945) dan memilih Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Sebagai
Presiden yang terpilih adalah Ir.Soekarno dan Wakil Presiden adalah
Drs.Moehammad Hatta. Untuk sementara waktu pekerjaan Presiden dibantu oleh
sebuah Komite Nasional. Undang-undang Dasar Negara Indonesia yang ditetapkan
dalam Sidang PPKI itu, baru dicantumkan dalam Berita Republik Indonesia Tahun
II Nomor 7 Tahun 1946 tanggal 15 Pebruari 1946. Keseluruhan dokumen UUD 1945
ini dicantumkan dalam Lembaran Negara Nomor 75 Tahun 1959 dan dikukuhkan dalam
TAP-MPRS Nomor TAP-XX/MPRS/1966.
Pada sidang kedua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang dilaksanakan
pada hari Minggu tanggal 19 Agustus 1945 dengan susunan acaranya adalah:
Prioritas Program, Pembicaraan tentang Susunan Daerah, dan Pembentukan
Kementerian/ Departemen. Dalam rapat tersebut oleh P.T.Oto Iskandardinata
sebagai salah satu Ketua panita kecil yang dibentuk pada hari sebelumnya membacakan
laporan dan mengusulkan bahwa Negara Indonesia dibagi dalam 8 daerah Propinsi.
Khusus untuk Daerah Kaigun dibagi dalam 4 Gubernemen, yaitu: Borneo, Sulawesi,
Maluku, dan Sunda Kecil yang dikepalai oleh seorang Gubernur dan dibantu oleh
Komite Nasional. Calon-calon untuk jabatan gubernur yang diusulkan adalah,
masing-masing: Ir.Pangeran Moh. Noor sebagai Gubernemen Borneo,
Dr.G.S.S.J.Ratulangi Gubernemen Sulawesi, Mr.J.Latuharhary Gubernemen Maluku,
dan Mr.I Ktut Pudja Gubernemen Sunda Kecil.
Dari hasil pembahasan, Panitia telah menetapkan pula mengenai hal daerah
Republik Indonesia sebagai berikut:
1.
Untuk sementara waktu
Daerah Negara Indonesia dibagi dalam 8 Propinsi yang masing-masing dikepalai
oleh seorang Gubernur.
Propinsi-propinsi tersebut ialah :
1.
Jawa Barat
2.
Jawa Tengah
3.
Jawa Timur
4.
Sumatera
5.
Borneo
6.
Sulawesi
7.
Maluku
8.
Sunda Kecil.
2.
Daerah Propinsi
dibagi dalam Keresidenan yang dikepalai oleh seorang Residen. Gubernur dan
Residen dibantu oleh Komite Nasional Daerah.
3.
Untuk sementara waktu
kedudukan Kooti dan sebagainya diteruskan sampai sekarang.
4.
Untuk sementara waktu
kedudukan Kota (Gemeente) diteruskan sampai sekarang.
Di Yogyakarta, pada tanggal 5 September 1945 Sultan Hamengkubuwono IX, Sultan
Negeri Ngayogyakarta mengeluarkan pernyataan bahwa Negeri Ngayogyakarta
Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah Daerah Istimewa dari Negara Republik
Indonesia. Perhubungan antara Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat dengan
Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia bersifat langsung dan bertanggung
jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
Setelah wilayah-wilayah propinsi ditetapkan, pada hari itu juga tanggal 19
Agustus 1945 Presiden Soekarno melantik Gubernur dari masing-masing Propinsi
termasuk Dr.G.S.S.J.Ratulangi dilantik menjadi Gubernur Sulawesi. Sesudah
pelantikan, Dr.G.S.S.J.Ratulangi bersama rombongannya kembali ke Makassar, dan
mendarat di Sapiria, Bulukumba. Setibanya di Makassar langsung menginap di
Empress Hotel kamar Nomor 1. Disini ia bertemu dengan beberapa tokoh masyarakat
Sulawesi Selatan guna persiapan penyusunan pemerintahan di Sulawesi. Keesokan
harinya pada tanggal 20 Agustus 1945 beliau juga bertemu dengan utusan dari
Raja Luwu yaitu Andi Makkulau Opu Dg.Parebba dan M.Sanusi Dg.Mattata.
Lima hari sesudah pernyataan proklamasi RI, yaitu pada tanggal 22 Agustus 1945
Presiden Soekarno mengeluarkan pidato Radio, antara lain menyatakan dibentuknya
Komite Nasional di Jakarta dan seluruh tempat-tempat di Indonesia, serta
mendirikan Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang anggotanya diambil dari bekas
prajurit Peta, prajurit Heiho, Keisatsutai (Polisi), Keibondang, prajurit
pelaut dan pemuda-pemuda, selanjutnya anggota-anggotanya dilantik pada tanggal
29 Agustus 1945. Disamping itu, Presiden juga mengumumkan akan membangunkan
suatu partai yang menjadi motor perjuangan rakyat dalam segala suasana dan
lapangan, yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI). Pengumuman yang menunjuk
Partai Nasional Indonesia sebagai motor perjuangan rakyat seakan mengarah
kepada sistem kepartaian tunggal. Atas usul Badan Pekerja Komite Nasional
Indonesia Pusat (BP-KNIP), pada tanggal 3 Nopember 1945 pemerintah mengeluarkan
Maklumat Pemerintah tentang Partai Politik, Anjuran Pemerintah tentang
pembentukan partai-partai politik. Maklumat yang ditandatangani oleh Wakil
Presiden Mohammad Hatta, isinya antara lain adalah :
1.
Pemerintah menyukai
timbulnya partai-partai politik, karena dengan adanya partai-partai itulah
dapat dipimpin kejalan yang teratur segala aliran paham yang ada dalam
masyarakat.
2.
Pemerintah berharap
supaya partai-partai itu tersusun, sebelumnya dilangsungkan pemilihan anggauta
Badan-badan Perwakilan Rakyat pada bulan Januari 1946.
Sejak dikeluarkannya maklumat itu, partai-partai
politik yang secara resmi berdiri ada 10 (sepuluh), gagasan satu partai tidak
pernah dihidupkan lagi.
Dr.G.S.S.J.Ratulangi yang telah dilantik menjadi Gubernur Sulawesi, dan telah
mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh masyarakat dan raja-raja, maka pada
tanggal 5 September 1945 mulai menjalankan pemerintahan dengan susunan
pemerintahannya sebagai berikut:
Gubernur : Dr.G.S.S.J.Ratulangi
Sekretaris : Mr.Andi Zainal Abidin
Wakil Sekretaris : F.Tobing
Biro Umum : Lanto Dg.Pasewang
Biro Ekonomi : Mr.Tadjoedin Noor
Biro Penerangan : Manai Sophian
Biro Pemuda : Siramanual Dg.Saelan
Pembantu-pembantu lainnya :
- A.N.Hadjarati
- G.R. Pantouw
- Sam Supardi
- Pondaag
- Dr.Syafri
- Saleh Lahade.
Selanjutnya Dr.G.S.S.J.Ratulangi membentuk Pemuda Nasional Indonesia yang
dipusatkan di kota Makassar yang bertujuan untuk menghimpun
organisasi-organisasi pemuda lainnya. Untuk pertama kalinya yang ditunjuk
menjadi Ketua Pemuda Nasional Indonesia adalah S.Sanusi yang juga salah satu
pemrakarsa terbentuknya organisasi itu. Setelah membentuk organisasi Pemuda
Nasional Indonesia, Dr.G.S.S.J.Ratulangi bersama-sama dengan tokoh masyarakat
di Makassar mendirikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) Nasional dengan mengambil
gedung yang pernah ditempati oleh Tentara Dai Nippon yang terletak di Jln.Gowa
Utara (sekarang Jln.Dr.Ratulangi) dekat rumah Dr.G.S.S.J.Ratulangi. Sekolah ini
didirikan untuk menampung pemuda-pemuda yang putus sekolah sebagai akibat
perang, sedangkan tenaga pengajar diambil dari para pejuang itu sendiri.
Sebagai kelanjutan dari kekalahan Tentara Jepang dalam Perang Dunia II, pada
tanggal 1 September 1945 dilakukan penandatanganan alat penyerahan yang
menyatakan penyerahan tak bersyarat dari Angkatan Perang Jepang. Keesokan
harinya, pada tanggal 2 September 1945 Presiden Soekarno menyusun pula Kabinet
pertamanya yang terdiri dari 15 Menteri yang membawahi departemen dan 4 Menteri
Negara. Menyusul setelah itu pada tanggal 8 September 1945, tujuh perwira
Inggris dipimpin Mayor A.G. Greenhalgh tiba di Jakarta. Mereka adalah anggota
Allied Mission yang dikirim oleh South East Asia Command (SEAG) dari Singapura.
Selanjutnya pada tanggal 10 September 1945 Panglima Bala Tentara Jepang di
Jakarta mengeluarkan pengumuman yang menyatakan bahwa pemerintahan Indonesia
akan diserahkan kepada Sekutu. Mendengar adanya pengumuman itu, para pejuang
bangsa Indonesia baik yang ada di daerah maupun di Jakarta membentuk
badan-badan perjuangan dan menyerang Tentara Jepang dan melucuti senjatanya.
Diusahakan pula untuk mengambil alih administrasi pemerintah yang dilakukan
oleh para pegawai.
Pemerintah Republik Indonesdia menyadari perlunya dibentuk tentara nasional.
Pada tanggal 5 Oktober 1945 dikeluaran Maklumat Pemerintah yang isinya sangat
singkat yaitu "Untuk memperkuat perasaan keamanan, maka diadakan satu
Tentara Keamanan Rakyat", dan sebagai pimpinan Tentara Keamanan Rakyat
(TKR) ditunjuk Soeprijadi. Dengan dasar Maklumat Pemerintah tersebut segera
dibentuk Markas Tertinggi TKR oleh Oerip Soemoharjo dengan berkedudukan di
Yogyakarta. Karena Soeprijadi tidak pernah menduduki posnya, maka dipilihlah
Kolonel Soedirman menjadi pemimpin tertinggi TKR yang baru, dan pada tanggal 18
Desember 1945 dilantik sebagai Panglima Besar TKR dengan pangkat Jenderal.
Selanjutnya Pemerintah RI pada tanggal 10 Oktober 1945 mengeluarkan Peraturan
Pemerintah RI Nomor 2 Tahun 1945, yang isinya menyatakan bahwa segala aturan
yang ada sampai berdirinya Republik Indonesia tetap berlaku, selama belum
diadakan yang baru, termasuk Badan-badan Negara dan Peraturan-peraturan yang
ada. Peraturan Pemerintah tersebut berlaku surut sampai tanggal 17 Agustus
1945. Mengenai pembagian daerah, bentuk dan susunan pemerintahannya yang diatur
dalam Pasal 18 UUD-1945 beserta penjelasannya, dijelaskan bahwa pembagian
Daerah Indonesia akan dibagi dalam propinsi, dan daerah propinsi akan dibagi
dalam daerah yang lebih kecil yang bersifat otonom dan atau bersifat daerah
administrasi dengan bentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan
undang-undang. Daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan
rakyat daerah. Untuk pelaksanaan Pasal 18 UUD-1945 perlu diadakan aturan buat
sementara waktu untuk menetapkan kedudukan Komite Nasional Daerah sebagaimana
dinyatakan dalam pidato Presiden Soekarno pada tanggal 22 Agustus 1945. Untuk
membentuk Komite Nasional Daerah, maka dikeluarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun
1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah, yang
ditetapkan pada tanggal 23 Nopember 1945. Undang-undang ini merupakan
undang-undang pertama dari Republik Indonesia. Dalam pelaksanaannya,
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 menimbulkan berbagai persoalan mengenai
ketentuan-ketentuan yang dimuat didalamnya, karena undang-undang tersebut
dibuatnya amat sederhana dan bersifat sementara waktu, terdiri dari 6 (enam)
pasal, sekedar untuk sedapat mungkin dapat mengadakan pemerintahan daerah yang
masih dalam suasana revolusi yang hebat. Oleh karena itu Kementerian Dalam
Negeri memberi penjelasan secara tertulis. Yang menjadi dasar penjelasan umum
dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 tersebut adalah Surat pengantar Rancangan
Undang-undang dari Komite Indonesia Pusat kepada Presiden tanggal 27 Oktober
1945 Nomor 30/BP. Meskipun dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 tidak
disebut, pada hakekatnya merubah status quo Komite Nasional Daerah menjadi
Badan Perwakilan Rakyat Daerah dengan dasar kedaulatan rakyat yang diketuai
oleh Kepala Daerah dan mempunyai tugas mengatur rumah tangga daerahnya. Dengan
demikian Stadsgemeente dan Regentschaps-ordonnantie yang dalam zaman Jepang
telah dirubah kedudukannya dengan Osamu-Seirei Nomor 12 dan 13 sebagai Ken dan
Si yang otonom akan tetapi sifat demokrasinya dilenyapkan, karena segala
hak-hak dari Raad-raad dan College-college di daerah-daerah diberikan kepada
Kepala Daerah sehingga dengan sendirinya Raad-raad dan College-college tersebut
dihapuskan.
Setelah Jepang menyerah, maka Inggris diberi tanggung jawab atas Indonesia
untuk menjaga ketertiban, pemulangan tentara Jepang dan pembebasan tawanan
perang. Pada tanggal 16 September 1945 Laksamana Muda W.R.Patterson tiba di
Tanjung Periuk, disusul pada tanggal 29 September 1945 kontingen pertama
pasukan India tiba di Jakarta dibawah pimpinan Letnan Jenderal Sir Philip
Cristison yang memegang komando Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI).
Sedangkan Dr.H.J.Van Mook tiba di Jakarta pada tanggal 1 Oktober 1945.
Kembalinya Van Mook di Jakarta adalah dalam rangka meletakkan dasar-dasar dari
“nieuwe rechtsorde” (tertib hukum baru) sebagaimana janji Ratu Belanda
Wilhelmina yang disampaikan dalam pidato radionya dari London pada tanggal 6
Desember 1942, menuju ke arah pembentukan pemerintahan daerah-daerah yang
disusun secara federatief.
Mengenai Tentara Angkatan Laut Jepang (Kaigun) yang ada dibagian wilayah
Indonesia Timur (Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil), oleh Panglima
Angkatan Perang Sekutu menugaskan kepada Panglima Tentara Australia
Brigadir-Jenderal Hilter yang bermarkas di Morotai untuk melaksanakan tugas
membebaskan tawanan perang dari kamp-kamp Jepang dan melucuti Angkatan Perang
Jepang di Timur Besar dan Borneo. Sebelum pasukan Australia tiba, pemuda-pemuda
sudah menyerang tangsi-tangsi yang ditempati Angkatan Laut Jepang (Kaigun)
untuk merampas atau melucuti senjatanya, namun tentara Jepang tidak mau begitu
saja melepaskan senjatanya, sehingga menimbulkan pertempuran antara
pemuda-pemuda Makassar dengan tentara Jepang. Menyusul pada tanggal 21
September 1945 Tentara Australia mulai mendarat di Makassar di bawah komando
Brigadir-Jenderal Iwan Dougherty. Tugas pasukan Australia, disamping melucuti
Tentara Jepang dan membebaskan tahanan perang yang ada di Makassar, juga diberi
tugas untuk menciptakan ketertiban hukum dan keamanan.
Bersamaan dengan kedatangan Tentara Australia, ikut pula bekas opsir-opsir
Netherlands Indies Civiel Administration (NICA) atau Badan Pemerintahan Sipil
Hindia Belanda yang terdiri dari bekas pegawai-pegawai pamong praja (Korps
Binnenlands Bestuur) dan Polisi Belanda yang pernah bertugas di wilayah Timur
Besar (Indonesia Timur) untuk menjalankan pemerintahan di wilayah Groote Oost
(Timur Besar) dan Borneo (Kalimantan) seperti dilakukan pada masa Hindia
Belanda dahulu. Oleh Markas Besar Tentara Australia dijelaskan bahwa NICA
adalah bagian dari Tentara Australia yang bertugas membantu Tentara Australia
menjaga keamanan dan ketertiban dan mengembalikan pemerintahan sipil di wilayah
kekuasaan Tentara Australia. Rencana pembentukan pemerintahan sipil telah
dipersiapkan sebelumnya di Brisbane Australia pada tanggal 2 September 1945
sebagai realisasi dari perjanjian yang dibuat oleh Inggris dan Belanda pada
tanggal 15 Agustus 1945 dalam Anglo-Dutch Civil Affairs Agreement, dimana
Inggris akan menyerahkan kekuasaan sipil kepada Belanda setelah tugas-tugas
Inggris selesai.
Untuk menjalankan pemerintahan sipil yang dilakukan oleh NICA, di Morotai
ditempatkan Chief Cammanding Officer NICA (Chief CoNICA) untuk mendampingi
Panglima Tertinggi Tentara Australia di Morotai yang bertanggungjawab atas
seluruh wilayah Timur Besar dan Kalimantan, kecuali Bali, yang membawahi NICA.
Daerah-daerah yang dulu dipegang oleh seorang residen diangkat seorang CoNICA,
dan asisten residen atau kontrollir diangkat ditempatkan seorang opsir NICA.
NICA yang dikepalai oleh Mayor Wagner mulai melancarkan propagandanya dengan
menerbitkan surat-surat selebaran yang dilakukan oleh bagian penerangannnya
yaitu Regerings Voorlichtings Dienst (RVD). Setelah pendaratan NICA, disusul
pendaratan Tentara Kerajaan Hindia Belanda yang disebut Koninklijk Nederland
Indisch Leger (KNIL), dan langsung mengambil alih tangsi KIS di Mariso dari tentara
Jepang, dan melepas semua bekas pegawai Hindia Belanda dan pasukan KNIL yang
masih ada dalam penjara. Oleh Mayor Wagner, semua bekas KNIL, baik yang ditawan
oleh Jepang maupun yang sementara berada dalam masyarakat direkrut dan
dipersenjatai kembali, sedangkan bekas pegawai Hindia Belanda dipekerjakan
kembali dan ditempatkan pada kantor CoNICA yang sudah dibentuk. Diantara
pasukan-pasukan KNIL yang dipersenjatai terdapat orang-orang Ambon.
NICA mulai bertugas di Makassar pada tanggal 22 September 1945 setelah
Brigadir-Jenderal Iwan Dougherty membacakan pengumuman dari Brigadir-Jenderal
Hilter dalam suatu rapat rapat umum di Makassar, bahwa Pemerintah Hindia
Belanda telah mengangkat Mayor Wagner Komandan NICA sebagai wakil Pemerintah
Hindia Belanda. Selanjutnya Mayor Wagner berkantor di Jln.Karebosi (sekarang
Jln.Ahmad Yani Kantor Walikota Makassar). Namun baru beberapa hari bertugas,
pada awal bulan Oktober 1945 Wagner digantikan oleh Letnan-Kolonel Dr.C.Lion
Cachet yang pernah menjadi Sekretaris Timur Besar di Makassar, dan diangkat
sebagai Commanding Officer NICA (CoNICA) yang membawahi semua opsir-opsir dan
kesatuan NICA yang beroperasi di Sulawesi Selatan.
Melihat kedatangan kembali orang-orang Belanda, apalagi dengan meng-intimidasi
penduduk dan membuat tindakan sewenang-wenang, maka pemuda-pemuda yang sudah
terorganisir, merasa tidak senang, dan mulai merencanakan untuk mengadakan
perlawanan bersenjata. Pemuda-pemuda itu sebagian sudah terlatih pada masa
pendudukan Jepang (bekas Heiho) dan terhimpun dalam suatu perkumpulan
(organisasi) pemuda. Diantara pemuda-pemuda itu adalah Jancy Raib (bekas
Walikotamadya Ujung Pandang periode 1983-1988), M.Kasim DM, Maulwy Saelan,
Wolter Mongisidi, Emmy Saelan, Ranggong Dg.Romo dan lain-lain.
Setelah pemerintahan sipil dijalankan oleh Belanda di Makassar, dalam bulan
September 1945 H.F.Brune dilantik menjadi Burgemeester Stadsgemeente van
Macassar (Wali Kotapraja Makassar) yang pernah dipegangnya sebelum pendudukan
Tentara Jepang. H.F.Brune kembali lagi berkantor di Jln.Balai Kota, dimana di
kantor itu masih terdapat beberapa dokumen-dokumen pemerintahan Kota (peta-peta
bagian kota, peraturan-peraturan, buku anggaran, dan foto-foto) yang tersimpan
sebelum Perang Dunia II. Dengan diangkatnya kembali H.F.Brune sebagai Wali
Kotapraja Makassar, maka penggunaan istilah-istilah pemerintahan Militer Jepang
dihapuskan, pemerintahan Kota Makassar dijalankan berdasarkan
Stadsgemeente-ordonnantie Buitengewesten (Staatsblad 1938 Nomor 131). Baru dua
bulan H.F.Brune menjabat Wali Kotatapraja Makassar, ia digantikan oleh D.M.van
Zwieten setelah Dr.C.Lion Cachet menduduki jabatannya sebagai CoNICA.
Andi Djemma, Datu Luwu.
|
Kembalinya Tentara Hindia Belanda (KNIL) di Makassar
menimbulkan ketegangan-ketegangan, terlebih pada waktu sepasukan KNIL yang
berasal dari Ambon terdiri dari 1 platon mengendarai 4 truk keluar dari Fort
Rotterdam (Benteng Ujung Pandang) dan mengadakan penembakan terhadap pemuda dan
rakyat di pinggir jalan Lajangiru, Maccini, dan Maricaya pada tanggal 2 Oktober
1945. Atas peristiwa tersebut massa pemuda dan rakyat dengan spontan mengambil
tindakan pembalasan dan menyerang orang-orang Ambon yang tidak berdosa yang
sudah lama menetap di Makassar, yang justru orang-orang Ambon ini adalah pro RI
dan pengikut tokoh-tokoh pejuang yang dibina oleh Latumahina dan
Mr.J.Latuharhary (Gubernur Maluku), karena sebelum peristiwa itu pasukan KNIL
sudah memindahkan orang-orang Ambon yang dianggap pro NICA ke dalam Fort
Rotterdam dan tangsi-tangsi lainnya. Tindakan pembalasan itu berlanjut sampai
tanggal 5 Oktober 1945. Dengan adanya peristiwa tersebut, pada tanggal 15
Oktober 1945, bertempat di rumah Raja Bone Arumpone Andi Mappanyukki di Jongaya
(Jln.Kumala No. 160) diadakan pertemuan antara raja-raja di Sulawesi Selatan
yang berhasil mengeluarkan deklarasi Jongaya, untuk mendukung kekuasaan
Pemerintah Republik Indonesia di Sulawesi Selatan dengan Gubernurnya
Dr.G.S.S.J.Ratulangi, sebagaimana yang pernah disampaikan kepada Bung Karno
sewaktu berada di Makassar pada tanggal 30 April sampai 2 Mei 1945. Dalam
pertemuan itu, undangan yang hadir ada 40 orang antara lain Andi Mappanyukki
Arung Pone, Andi Djemma Datu Luwu, I Depu Arung Gilirang, Maradia Campalagiang,
Maradia Balanipa, Karaeng Polombangkeng, Sultan Dg.Raja Karaeng Gantarang, Andi
Makkasau Datu Toa Suppa, Andi Abdullah Bau Massepe Datu Suppa Lolo (Putra Andi
Mappanyukki), dan lain-lain.
Pada tanggal 19 Oktober 1945 Brigadir-Jenderal Iwan Dougherty panglima Tentara
Australia di Makassar digantikan oleh Brigadir-Jenderal F.O.Chilton. Menyusul
pada tanggal 25 sampai 28 Oktober 1945 pejuang-pejuang yang terdiri dari
kelompok Barisan Berani Mati (Bo-Ei Taishin), bekas Kaigun Heiho, dan pelajar
SMP kembali menyerang beberapa tempat strategis di Makassar antara lain Markas
CoNICA, K.I.S. Kampement di Mariso, dan Stasion Radio Mattoanging dan
Maradekaya, Empress Hotel (sekarang Perguruan Athirah), Heze Kiyoku pantai
Losari (Pasanggrahan Makassar), dan Asrama Polisi Gowa, Kantor Polisi samping
Balai Kota, dan Kantor Gubernur di Jalan Karebosi (Jalan Ahmad Yani), sehingga
banyak menimbulkan korban. Sebagai pembalasan dari pihak Belanda, pada tanggal
27 Oktober 1945 jam 11.00 markas besar perlawanan rakyat di Jongaya diserbu
oleh NICA, sehingga pemuda-pemuda pejuang memindahkan markasnya keluar kota di
Polombangkeng. Atas kejadian itu pada tanggal 29 Oktober 1945 Brigadir Panglima
Tentara Australia Makassar F.O.Chilton mengeluarkan suatu maklumat, dimana
secara tegas dinyatakan akan mengambil tindakan keras terhadap pelanggaran
keamanan serta kejahatan yang dilakukan terhadap pemerintah militer Sekutu di
Sulawesi Selatan, termasuk memakai dan memiliki senjata.
Melihat keadaan di Sulawesi Selatan yang semakin suram dan perubahan politik
yang semakin tajam dengan adanya beberapa tokoh politik dan pemuka masyarakat
bersedia bekerjasama dengan NICA, antara lain Nadjamuddin Dg.Malewa, Baso
Dg.Malewa, Abdoellah Dg.Mappudji, Husain Puang Limboro, Mr.S.Binol,
M.K.W.Tambunan, dan J.H.Hattu, maka Gubernur Sulawesi Dr.G.S.S.J.Ratulangi
membentuk Pusat Keselamatan Rakyat Sulawesi pada bulan Nopember 1945 yang
diketuainya sendiri.
Pada tanggal 4 Januari 1946 Ibukota Republik Indonesia dipindahkan dari Jakarta
ke Yogyakarta setelah terlebih dahulu Presiden dan Wakil Presiden meninggalkan
Jakarta pada tanggal 3 Januari 1946, sementara Perdana Menteri Syahrir tetap di
Jakarta. Di Yogyakarta, pada tanggal 25 Januari 1946, Tentara Keamanan Rakyat
(TKR) dirubah namanya menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) - dengan
Penetapan Presiden RI tanggal 7 Juni 1947, Tentara Rakyat Indonesia (TRI)
dirubah menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) terhitung tanggal 3 Juni 1947
-. Sesudah perubahan nama dari TKR ke TRI -. Sesudah perubahan nama, pada awal
tahun 1946 itu juga dibentuk satuan tempur TRI Persiapan Sulawesi yang
pasukannya berasal dari pemuda-pemuda Sulawesi yang sedang mengikuti pendidikan
Sekolah Perwira Cadangan di Solo. Satuan Tempur yang dibentuk itu diberi nama
"Resimen Hasanuddin" dengan markas pusatnya di Yogyakarta. Resimen Tempur
Hasanuddin dengan satuan-satuan ekspedisinya dipersiapkan dalam rangka
ekspedisi ke Sulawesi Selatan untuk menghadapi KNIL dan KL. Berdasarkan mandat
yang diberikan oleh Jenderal Sudirman kepada Andi Mattalatta, dibentuklah TRI
dari Kelasykaran bersenjata di Sulselra (Sulawesi Selatan dan Tenggara),
tentara inipun diberi nama TRI "Divisi Hasanuddin" melalui konperensi
yang diadakan oleh Andi Mattalatta pada tanggal 20 Januari 1947 di Desa
Paccekke di daerah Soppengriaja/Barru.
Pada akhir bulan Januari 1946, seluruh wilayah Sulawesi Selatan sudah dapat
dikuasai oleh NICA dibawah pengawasan Tentara Australia. Sebagai awal persiapan
pembentukan Negara Timur Besar dan untuk menjalankan pemerintahan sipil dari
Netherlands Indies Civiel Administration (NICA), ditetapkanlah Voorloopige
voorzieningen met betrekking tot de bestuursvoering in de gewesten Borneo en de
Groote Oost (Staatsblad 1946 Nomor 17 tanggal 13 Pebruari 1946), Besluit van
den Luitenant-Gouverneur-Generaal tanggal 13 Pebruari 1946 Nomor 3, ditandatangani
oleh H.J.van Mook). Peraturan ini membuka kemungkinan pembentukan daerah-daerah
otonom yang pada asasnya tunduk kepada perundang-undangan dulu yang berlaku
bagi zelfbesturende landschappen, groepsgemeenschap, stadsgemeente, dan locaal
ressort. Hal ini sudah pernah dibicarakan oleh Dr.C.Lion Cachet dengan
Dr.G.S.S.J.Ratulangi pada tanggal 18 dan 20 Desember 1945 dan dengan raja-raja
seluruh Sulawesi Selatan dan pemuka masyarakat pada tanggal 29 - 30 Desember
1945 di Makassar.
Disamping Staatsblad 1946 Nomor 17, juga ditetapkan Voorloopige voorzieningen
met betrekking tot de bestuursvoering in de zelfbestuurende landschappen in de
gewesten Borneo en de Groote Oost (Ketentuan-ketentuan sementara yang
menyangkut pelaksanaan pemerintahan pada negeri-negeri swapraja di wilayah
Borneo dan Timur Besar), (Staatsblad 1946 Nomor 18 tanggal 13 Pebruari 1946)
yang memberi kekuasaan dan kebebasan yang lebih besar kepada landschappen
(swapraja), dimana pemerintahan dijalankan dengan memperhatikan kontrak-kontrak
politik serta aturan-aturan Swapraja 1938.
Dengan peraturan-peraturan itulah menjadi dasar dibentuknya daerah-daerah
otonom bentukan baru di Sulawesi Selatan dengan nama neo-landschappen,
neo-groepsgemeenschap, dan neo-stadsgemeente. Neo-landschap adalah suatu daerah
otonom yang dibentuk seperti daerah otonom lainnya, sedangkan Landschap
(sejati) merupakan kekuasaan asli yang dijalankan oleh raja-raja yang diakui
oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Daerah-daerah otonom yang dibentuk dengan Surat penetapan Gubernemen tanggal 14
September 1938 Nomor 29 (Staatsblad Nomor 529), meliputi 30 Zelfbesturende
Landschappen (Tanah-tanah kerajaan), yaitu: Bone, Luwu, Gowa, Buton, Wajo,
Soppeng, Sidenreng, Sawitto, Rappang, Malusetasi, Suppa, Batulappa, Kassa,
Barru, Tanette, Soppengriaja, Majene, Balanipa, Cenrana, Pembauang, Binuang,
Tappalang, Mamuju, Tana Toraja, Enrekang, Maiwa, Alla, Bonto Batu, dan Konawe,
sedangkan daerah-daerah yang diperintah langsung oleh Wakil-wakil Pemerintah
Hindia Belanda adalah Bonthain, Pangkajene, Makassar dan sekitarnya diluar
Kotapraja Makassar. Jumlah penduduk dari keseluruhan Daerah-daerah ini adalah
3.850.000 jiwa.
Berdasarkan Staatsblad 1946 Nomor 17, Makassar berubah statusnya menjadi
Neo-Stadsgemeente Makassar, yaitu semacam distrik federal (Ibukota tempat
kedudukan Pemerintah Negara Indonesia Timur).
Sebagai kelanjutan dari hasil pertemuan antara CoNICA Dr.Lion Cachet dengan
Dr.G.S.S.J.Ratulangi, raja-raja, dan tokoh masyarakat Sulawesi Selatan, maka
Pejabat Direktur Pemerintahan Dalam Negeri (Binnenlands Bestuur) Dr.W.Hoven
yang berkedudukan di Jakarta mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 2 tanggal 25
Pebruari 1950 tentang Peraturan Pembentukan Dewan Perwakilan Sementara untuk
Sulawesi Selatan, yang ditandatangani di Makassar. Dimana Dewan Sementara
Sulawesi Selatan terdiri dari 42 orang anggota, yang diketuai oleh CoNICA. Di
dalam susunan keanggotaan, empat anggota disediakan untuk warga negara
Indonesia dipilih oleh Dewan Kotapraja Makassar.
Dr.G.S.S.J.Ratulangi yang telah menjalankan pemerintahannya sebagai Gubernur
Sulawesi sejak tanggal 5 September 1945 dan mendapat dukungan dari raja-raja,
bangsawan, dan pemuka masyarakat di Sulawesi, hanya dapat menjalankan
pemerintahan selama 7 bulan karena pada tanggal 5 April 1946 bersama dengan
anggota-anggota Pusat Keselamatan Rakyat dan stafnya yaitu Lanto Dg.Pasewang,
Ince Saleh Dg.Tompo, Latumahina, Pondaag, Latumahina, dan Tobing ditangkap oleh
CoNICA dan dimasukkan kedalam Penjara Hoge-Pad selama dua bulan, kemudian
diasingkan ke Serui (Irian Barat). Dr.G.S.S..J.Ratulangi dibebaskan dari
tahanan pada tanggal 23 Maret 1948 dan dibawa oleh Belanda ke Yogyakarta
bergabung dengan Presiden RI Soekarno, beliau meninggal dunia tanggal 30 Juni
1949 di Jakarta.
Di Palopo yang sejak tanggal 21 Januari 1946, rakyat Luwu yang dipimpin oleh
Andi Djemma Datu Luwu mengadakan perlawanan terhadap pasukan KNIL. Karena
terdesak beliau meninggalkan kota Palopo bersama pasukannya menuju Kampung
Cappasolo dengan menggunakan 12 buah perahu jarampa, dan selanjutnya ke Kampung
Batangtongka, Wellangpellang, Pombakka, Tokkuning, dan Latowu. Pada tanggal 2
Juni 1946 Andi Djemma Datu Luwu ditangkap di dalam Benteng Batupute di Latowu
bersama permaisurinya Andi Tenripadang Opu Datu (putri Andi Mappanyukki Raja Bone)
yang selanjutnya diangkut ke Makassar melalui Pare-pare. Karena sudah malam,
Andi Djemma dan pasukan KNIL yang mengawalnya beristirahat di Pare-pare. Setiba
di Makassar beliau langsung dimasukkan kedalam tahanan di Asrama Polisi Gowa
Jln. Gowa Selatan (sekarang Hotel Sahid Jln.Dr.Ratulangi), kemudian diasingkan
ke Bonthain dan Selayar. Pada tanggal 3 Juli 1946 Andi Djemma Datu Luwu bersama
permaisurinya Andi Tenripadang dan anaknya Andi Makkulau dibawa ke Ternate
untuk menjalani hukuman pembuangan selama 25 tahun. Setelah Andi Djemma Datu
Luwu ditahan, NICA mengangkat Andi Djelling sebagai Datu Luwu.
Andi Djemma Datu Luwu memperisterikan Andi Tenripadang Opu Datu pada tanggal 5
Agustus 1945 di Bone dalam usia 44 tahun dan isterinya masih berusia 17 tahun.
Andi Tenripadang kawin kembar dengan adiknya, Andi Tenriawaru Datu Bau yang
diperisterikan oleh Datu Ghalib dari Soppeng. Di Ternate, Andi Djemma Datu Luwu
dan permaisurinya mengambil seorang anak pelihara bernama Abd.Hamid.
Adapun Andi Mappanyukki Raja Bone bersama anaknya, Andi Pangerang Petta Rani
ditahan pada tanggal 13 Nopember 1946 jam 17.00 yang langsung diambil dari
rumahnya di Jalan Kumala Nomor 160 (nomor lama) Jongaya. Dalam tahanan tersebut
Andi Mappanyukki bertemu dengan anaknya Bau Massepe bersama dengan Gantarang
Batae, Usman, Saelan, I-Tengga. Berhubung karena adanya berita yang diterima
oleh NICA, bahwa Andi Mappanyukki akan diculik, maka pada tanggal 19 Desember
1946 Andi Mappanyukki, Andi Pangerang, dan Nyonti dipindahkan ke Rantepao, tiba
di Pare-pare dan bermalam di Pasanggrahan, esok harinya pukul 08.00 berangkat
ke Rantepao dan tiba pukul 19.00. Karena dalam keadaan sakit, maka beliau
langsung dimasukkan ke Rumah Sakit Rantepao. Di Rantepao, Andi Mappanyukki
mengambil seorang anak angkat perempuan. Setelah Andi Mappanyukki ditahan di
Rantepao, NICA menunjuk Andi Pabenteng menjadi Raja Bone menggantikan Andi
Mappanyukki. Pada tanggal 4 Januari 1947 Andi Pangerang dikembalikan ke
Makassar.
Suasana di Kota Makassar dan daerah-daerah sekitarnya sangat mencekam, penduduk
mulai dilarang bepergian tanpa surat jalan, penjara-penjara termasuk Penjara
Besar (Hoge Paad) yang terletak di sebelah utara lapangan Karebosi penuh sesak
oleh tahanan politik yang pro Republik. Kantor NICA yang terletak Hoge Paad
(sekarang Jln.Ahmad Yani Kantor Walikota Makassar) juga dijadikan tempat
penyiksaan bagi para pejuang, baik laki-laki-laki maupun perempuan.
Dengan ditahannya Dr.G.S.S.J.Ratulangi, maka ditunjuklah B.W.Lapiang sebagai
Acting Gubernur Sulawesi, yang pada kesempatan pelantikannya, Belanda
menjanjikan akan membentuk negara federal yang demokrasi dengan membentuk
partai-partai yang dipersiapkan dalam pemilihan lokal dan pemilihan anggota
Parlemen Indonesia Timur yang direncanakan pada bulan Juli 1949.
Setelah NICA dapat menguasai seluruh wilayah Sulawesi Selatan, maka
didatangkanlah pasukan Kerajaan Belanda atau Koninklijke Landmacht, dengan
maksud untuk menggantikan pasukan Australia yang akan berakhir pada bulan Juli
1946.
Pemerintahan sipil atau NICA kemudian diganti dengan Algemeene
Regering-commisaris voor Borneo en de Groote Oost, yang memegang kekuasaan
adalah Gubernur (Staatsblad 1946 Nomor 64 dan 67). Pada tanggal 8 Juli 1946,
dengan Keputusan Letnan Gubernur Jenderal Dr.H.J.van Mook Nomor 4, dibentuklah
suatu jawatan Komisaris Pemerintahan Umum untuk Borneo dan Timur Besar yang
diberi tugas antara lain “Mempelajari dan mengadakan persiapan-persiapan
selanjutnya untuk pembangunan ketatanegaraan di Borneo dan Timur Besar”.
Kemudian pada tanggal 15 Juli 1946 diadakanlah penyerahan pemerintahan dan
keamanan Tentara Sekutu di Indonesia Timur dan Borneo kepada Belanda yang
diterima oleh Dr.H.J.van Mook dalam suatu upacara di Karebosi, sebelum
melanjutkan perjalanannya menuju Kota Malino, untuk mengikuti Konperensi Malino
yang dilaksanakan esok harinya. Penyerahan pemerintahan dan keamanan yang
dilakukan itu mengingat Tentara Sekutu yang dipimpin oleh Inggris sudah harus
meninggalkan Indonesia pada akhir bulan Nopember 1946. Keluarnya Staatsblad 1946
Nomor 64 dan 67, maka jabatan CoNICA dihapuskan, dan selanjutnya Dr.C.Lion
Cachet diangkat menjadi Residen Sulawesi Selatan. Pada tahun 1948 Dr.C.Lion
Cachet digantikan oleh Dr.J.van der Zwaal.
Kota Malino adalah suatu tempat peristirahatan yang dibangun oleh Gubernur
Sulawesi J.CARON pada tahun 1932 setelah pembangunan jalan dari Makassar
selesai tahun 1927, terletak 70 km dari Makassar. Malino artinya "tempat
yang sunyi, sepi, dan damai".
Konperensi Malino mulai dilaksanakan dari tanggal 16 sampai 24 Juli 1946
dihadiri 51 utusan dari 18 Daerah seperti Bangka dan Belitung, Riau, Kalimantan
Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Minahasa,
Manado, Sangihe-Talaud, Bali, Lombok, Timor, Maluku Utara, Maluku Selatan, dan
Papua, diluar daerah-daerah Republik Indonesia. Konperensi ini dipimpin
langsung oleh Letnan Gubernur Jenderal Dr.H.J.van Mook. Tujuan konperensi
Malino pada dasarnya adalah untuk membentuk Negara Indonesia Timur atas
daerah-daerah yang diserah terimakan dari Tentara Sekutu kepada pihak Belanda.
Hasil-hasil yang dicapai dalam Konperensi Malino kemudian dilanjutkan dalam
konperensi di Denpasar. Penyelenggaraan antara waktu Konperensi Malino dan
Konperensi Denpasar diselenggarakan pula perundingan Linggajati yang diawali
dengan gencatan senjata pada tanggal 20 September 1946 dan hasil perundingan
disetujui dan diparaf pada tanggal 15 Nopember 1946.
Seusai Konperensi Malino, Walikota Makassar yang dipegang oleh D.M.van Zwieten
diserahkan kepada Abd.Hamid Dg.Magassing (1946). Penunjukan Abd.Hamid Dg.
Magassing adalah atas saran Nadjamuddin Dg.Malewa yang disampaikan Dr.H.J.van
Mook pada tanggal 9 Pebruari 1946 di Jakarta yang antara lain dalam laporan itu
disebutkan “Mengangkat seorang Indonesia sebagai Walikota Makassar dan
pembentukan suatu Dewan Perwakilan Rakyat Kotapraja Makassar dengan mayoritas
bangsa Indonesia yang didampingi oleh seorang Wakil Walikota bangsa Belanda”.
Walaupun Negara Indonesia sebagian besar telah dikuasai oleh Belanda, akan
tetapi Pemerintah Republik Indonesia di Yogyakarta mengeluarkan Undang-undang
Nomor 17 Tahun 1946 tanggal 1 Oktober 1946 tentang Oeang Repoeblik Indonesia
(ORI) (ejaan van Ophuyzen, oe - u) yang disusul dengan Undang-undang Nomor 19
Tahun 1946 tanggal 25 Oktober 1946 yang didalamnya diatur dasar penukaran
penukaran uang rupiah Jepang yang berlaku di Indonesia, yaitu : Lima puluh
rupiah uang Jepang disamakan dengan satu rupiah ORI, sedangkan diluar Jawa dan
Madura, seratus rupiah uang Jepang sama dengan satu rupiah ORI. Dalam Pasal 1
Undang-undang Nomor 19 Tahun 1946 menentukan bahwa setiap sepuluh rupiah ORI
bernilai sama dengan emas murni seberat 5 (lima) gram.
Oeang Republik Indonesia disingkat ORI mulai beredar menggantikan uang
peninggalan Jepang terhitung tanggal 26 Oktober 1946 jam 24.00. Uang Jepang
yang beredar pada waktu itu tidak terhingga banyaknya (diperkirakan 4 milyar)
dalam situasi perekonomian yang sangat kacau karena kekurangan barang import
serta hasil produksi pertanian dan perkebunan tidak dapat dieksport akibat
blokade yang dilakukan oleh Belanda. Pada masa-masa tersebut rakyat kekurangan
bahan pakaian. Kurs mata uang Jepang dengan ORI adalah seribu rupiah mata uang
Jepang ditukar dengan 1 rupiah mata uang Republik Indonesia. Mata uang yang
beredar di Indonesia berdasarkan pengumuman Pemerintah RI di Jakarta pada
tanggal 1 Oktober 1945 ada 3 (tiga) macam yaitu: mata uang De Javasche Bank,
mata uang Hindia Belanda, dan mata uang Jepang. Selain mata uang yang diumumkan
oleh Pemerintah RI, beredar pula mata uang NICA sejak tanggal 6 Maret 1946
sudah diumumkan. Kurs yang ditentukan adalah satu rupiah mata uang Jepang
dinilai tiga sen uang NICA. Menyusul dengan berlakunya dan diedarkannya uang
Republik Indonesia, Pemerintah RI membentuk Bank Negara Indonesia pada tanggal
1 Nopember 1946 untuk melaksanakan kordinasi dalam pengurusan bidang ekonomi
dan keuangan.
Sebagai kelanjutan dari Konperensi Malino dilaksanakanlah konperensi di
Denpasar (Bali) dimulai dari tanggal 7 sampai dengan 24 Desember 1946 dihadiri
13 Daerah dengan jumlah peserta 70 orang. Konperensi Denpasar menghasilkan
beberapa keputusan dalam rangka pembentuan Negara Indonesia Timur. Hasil-hasil
yang telah disepakati dalam Konperensi Denpasar antara lain telah merumuskan
peraturan mengenai pembentukan Negara Indonesia Timur yang terdiri dari 24
pasal, dan diberi judul "Peraturan Pembentukan Negara Indonesia
Timur", dimuat dalam Lembaran Negara Hindia Belanda 1946 Nomor 143. Negara
Indonesia Timur terdiri dari 13 daerah meliputi wilayah Groote Oost (Timur
Besar) yang dibentuk berdasarkan Ordonnantie (Peraturan Pemerintah) tanggal 19
Desember 1936 (Staatsblad Nomor 68) dan Keputusan Gouverneur (Gubernur) tanggal
25 Mei 1938 (Staatsblad Nomor 264), mengenai pembagian wilayah Residensi Nieuw
Guinea (Irian Barat – sekarang Irian Jaya) dan hubungannya dengan Negara
Indonesia Serikat akan ditetapkan kemudian. Dalam hal Nieuw Guinea (Irian
Barat) yang dalam rancangan peraturan disebutkan tidak memasukkan wilayah Nieuw
Guinea ke dalam Negara Indonesia Timur ditentang keras oleh semua peserta
terlebih Kasaipo utusan dari Irian Barat dan Zainal Abidin Alting, Sultan
Tidore, mengingat Irian Barat pernah menjadi bagian kesultanan Tidore.
Selanjutnya dalam Pasal 1 ayat 3 disebutkan bahwa Ibukota Negara Indonesia
Timur adalah Makassar. Jumlah penduduk Negara Indonesia Timur pada akhir bulan
Desember 1946 adalah 10.290.000 jiwa, yang menghuni tiga belas daerah dengan
luas 349.088 kilometer persegi.
Salah satu hal penting dalam Konperensi Denpasar adalah terpilihnya Tjokorde
Gde Rake Soekawati sebagai Presiden NIT dan Tadjoeddin Noor sebagai Ketua Dewan
Perwakilan Sementara Negara Indonesia. Sebelum Ketua Tadjoeddin Noor
membubarkan rapat, Presiden Soekawati mengumumkan bahwa dia mengangkat
Nadjamoeddin Daeng Malewa dari Sulawesi Selatan sebagai formatir (pembentuk)
kabinet Pertama Negara Indonesia Timur.
Selain ke 13 Daerah yang telah dibentuk, masih terdapat beberapa daerah
swapraja yang pada masa pemerintahan Hindia Belanda telah diikat dengan
kontrak. Pemerintahan Swapraja ini terdiri dari 115 buah, yang wilayahnya
meliputi lebih 75% dari wilayah Negara Indonesia Timur.
Pergolakan yang dilakukan oleh para pejuang di Sulawesi Selatan terhadap
Belanda (NICA, KNIL) yang dimulai pada awal Oktober 1945 terus berlangsung.
Untuk itu Letnan Gubernur Jenderal Dr.H.J.van Mook dan Jenderal S.Spoor
mengirim bantuan ke Sulawesi Selatan dengan menugaskan Raymond Paul Pierre
C.TPS Westerling bersama dengan pasukan khususnya ± 120 orang untuk menumpas
pergolakan tersebut. Westerling tiba di Makassar pada tanggal tanggal 5
Desember 1946 dan mendirikan markas di Mattoanging guna menyusun rencana
penumpasan kepada rakyat yang dianggap sebagai pemberontak. Dengan Surat
Keputusan Letnan Gubernur General di Batavia (Jakarta) Nomor 1 tanggal 11 Desember
1946 Staatsblad Nomor 139, dinyatakan darurat perang (Staat van Oorlong en
Beleg - SOB) di Sulawesi Selatan meliputi afdeeling Mandar, Pare-pare,
Makassar, dan Bonthain. Dengan dasar itu Westerling, pada malam tanggal 11
Desember mulai mengadakan penumpasan di sekitar Kota Makassar, yaitu di kampung
Batua, Borong, Kalukuang, Maccini Sombala, dan pada tanggal 17 Desember di
Jongaya. Rakyat dikumpulkan disatu tempat baik laki-laki maupun perempuan dan
anak-anak. Pada tanggal 19 Desember dilanjutkan ke markas besar perjuangan di
Polombangkeng, Gowa. Tindakan Westerling beserta pasukannya menghukum mati di
tempat terhadap rakyat dan pejuang di Sulawesi Selatan menimbulkan korban yang
diperkirakan 40.000 jiwa. Tindakan kejam dan pembunuhan yang dilakukan oleh
Westerling itu bertepatan dengan berlangsungnya Konperensi yang diselenggarakan
di Denpasar dari tanggal 7 sampai dengan 24 Desember 1946.
Sehubungan dengan ditunjuknya Nadjamoeddin Dg.Malewa sebagai formatur dalam
Konperensi Denpasar, maka dibentuklah Kabinet Nadjamoeddin pada tanggal 13
Januari 1947 terdiri dari sembilan menteri yang masing-masing mengepalai satu
kementerian. Dalam susunan kabinet itu, Perdana Menteri Nadjamoeddin Dg.Malewa
(Handelsconsulent di Makassar) merangkap Menteri Perekonomian. Untuk mengisi
kekosongan pegawai dalam pemerintahan Negara Indonesia Timur, didasarkan kepada
Surat Keputusan Letnan Gubernur-Jenderal tanggal 14 Maret 1946 Nomor 3 dan
Surat Keputusan Komisariat Pemerintahan Umum untuk Borneo dan Timur Besar
tanggal 14 Maret 1946 Nomor ARC 1/9/43 dan Nomor ARC 1/9/47, ditetapkan bahwa
semua pegawai pemerintahan dalam negeri (Binnenlands Bestuur) dan polisi di
wilayah Negara Indonesia Timur sejak mulai berlakunya surat keputusan itu
dipekerjakan di bawah kekuasaan dan tanggung jawab Pemerintah Indonesia Timur.
Tebentuknya Kabinet Nadjamoeddin Dg.Malewa, mengakhiri pemerintahan kolonial
yang masih dijalankan oleh Belanda (NICA).
Ini berarti bahwa semua residen, asisten-residen, kontrolir dan pamong praja
Indonesia seperti bestuursasistent, menteri polisi dan pegawai administratif
lainnya dalam jawatan ini dan demikian juga semua pegawai kepolisian dari
hopkomisaris sampai pangkat yang terendah dinas ini dipekerjakan di wilayah
Indonesia Timur di bawah kekuasaan dan tanggung jawab Kementerian Dalam Negeri.
Mengenai kepolisian mulai dilakukan pada tanggal 1 April 1947.
Daerah-daerah yang dulu diperintah langsung oleh Hindia Belanda dijadikan Neo
Landschap yang dibentuk dengan Surat penetapan Gubernur tanggal 16 Januari 1947
Nomor 2 (Staatsblad 1947 Nomor 9), adalah Jeneponto, Maros, Pangkajene,
Takalar, dan dengan Surat penetapan Gubernur tanggal 16 Januari 1947 Nomor 10
(Staatsblad 1947 Nomor 10), adalah Bonthain, Bulukumba, Sinjai, dan Seleler
(Selayar), kemudian terakhir adalah Pulau-pulau Makassar dengan Surat penetapan
Gubernur Staatsblad 1948 Nomor 38. Keseluruhan Daerah-daerah ini nantinya akan
bergabung menjadi Gabungan Selebes Selatan pada tahun 1948.
Kabinet Nadjamoeddin banyak mendapat tantangan sebagai akibat dari kekejaman
KNIL terhadap penduduk sipil dan para pejuang di Sulawesi Selatan. Dalam
pandangan umum Anggota Badan Perwakilan Sementara babak pertama yang
berlangsung dari tanggal 29 April 1947 sampai tanggal 22 Mei 1947, Pemerintah
Negara Indonesia Timur memberikan keterangan yang disampaikan oleh Menteri
Dalam Negeri pada tanggal 28 April 1947 antara lain manyatakan "Penyusunan
kepolisian Negara sebagai alat negara yang bertanggungjawab dalam bidang
keamanan dan sebagai penegak hukum demi terwujudnya negara hukum di Indonesia
Timur". Bertepatan dengan berakhirnya Pandangan Umum berakhir pula
penangkapan dan pembantaian yang dilakukan oleh Westerling beserta pasukannya
pada tanggal 22 Mei 1947 dan pasukannya ditarik kembali ke Jakarta.
Salah satu korban dalam keadaan darurat perang tersebut adalah tertembaknya
Gallarang Ujung Tanah yaitu H.Abd.Muttalib Dg.Marala yang tidak diketahui siapa
yang menembak. Untuk menggantikan H.Abd.Muttalib Dg.Marala maka ditunjuklah
Abd.Rahim Dg.Tompo yang sebelumnya pernah menjadi Gallarang Ujung Tanah sewaktu
pendudukan Tentara Jepang.
Dengan terbentuknya Negara Indonesia Timur yang merupakan Negara Bahagian
bentukan pertama di Indonesia, Pemerintahan Hindia Belanda mengkonsolidasi
pemerintahan dengan melakukan stelsel desentralisasi yang lebih progresif dari
sebelum pendudukan Jepang, dan sebagai batu loncatan pertama penyusunan Negara
menurut sistem feodalisme. Menurut pembagian administratif Pemerintah Hindia
Belanda wilayah Timur Besar (Negara Indonesia Timur) kecuali Keresidenan Nieuw
Guinea dibagi atas lima keresidenan, yaitu: Keresidenan Sulawesi Selatan,
Sulawesi Utara, Maluku, Bali-Lombok, dan Timor dan kepulauan di sekitarnya.
Tiap-tiap keresidenan dibagi atas beberapa “afdeling” (bagian) dan tiap-tiap
afdeling dibagi lagi atas beberapa “onderafdeling” (sub bagian). Tiap-tiap
keresidenan dikepalai oleh residen yang termasuk golongan pamongpraja Belanda
(korps Binnenlands Bestuur), tiap-tiap afdeling dikepalai oleh seorang
asisten-residen dan tiap onderafdeling berada di bawah pimpinan seorang
kontrolir.
Sebagai kelanjutan dari pembentukan Negara Indonesia Timur dan ditetapkannya
Kota Makasar sebagai Ibu Kota Negara Indonesia Timur, Makassar berubah
statusnya dari Neo-Stadsgemeente Makassar menjadi Haminte Kota Makassar
sebagaimana halnya beberapa kota di Pulau Jawa. Perubahan menjadi Haminte
Makassar didasarkan kepada Staatsblad Tahun 1947 Nomor 21 tanggal 29 Januari
1947 tentang Penunjukan wilayah yang meliputi daerah pada pembentukan
Stadsgemeente Makassar dengan Undang-undang tertanggal 30 Desember 1938
(Staatsblad 1938 Nomor 718), termasuk daerah-daerah di luarnya yang terletak
dipesisir Sulawesi dalam Onderafdeeling Makassar seperti dimaksud dalam Pasal 2
(1) dari Undang-undang tanggal 13 Pebruari 1946 (Staatsblad 1946 Nomor 17).
Berdasarkan peraturan tersebut, Haminte Kota Makassar diberikan wewenang
pemerintahan dan peraturan atas dasar pemberian hukum yang ada pada Pemerintah
Haminte Kota Makassar, yang terdiri dari:
a.
Dewan (Perwakilan
Rakyat).
b.
Anggota Badan
Pemerintahan dan pemegang kekuasaan.
c.
Walikota.
Jumlah Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang ditetapkan
adalah 21 anggota, terdiri dari 12 orang dari golongan Indonesia, 5 orang dari
golongan Belanda dan 4 orang dari golongan Asing yang bukan Belanda.
Dalam tahun 1947 beberapa tokoh masyarakat Islam yang tinggal di Makassar
membangun sebuah masjid yang besar dan megah di Bontoala dengan bantuan dana
diperoleh dari masyarakat. Luas bangunan masjid adalah 60 x 100 m2 dengan
menara setinggi 17 m. Biaya pembangunan menara mesjid berasal dari sumbangan
Raja Sumbawa. Mesjid ini dibangun selama dua tahun dan diresmikan pemakaiaannya
pada tanggal 25 Mei 1949 (27 Rajab 1368), selanjutnya diberi nama Masjid Raya
Makassar, yang merupakan mesjid terbesar dan termegah di Indonesia.
Raja-raja di Sulawesi Selatan dan Tenggara yang tidak menyetujui atas
pemerintahan Belanda dan membentuk Negara Indonesia Timur, tetap setia kepada
Republik Indonesia di Yogyakarta, oleh karena itu Belanda menganggap sebagai
pro-Republik. Untuk kelancaran politik yang dijalankan oleh Belanda di Sulawesi
Selatan, maka raja-raja yang dianggap non kooperatif diganti dengan raja-raja
yang dapat bekerjasama dengan NICA. Raja Gowa I-Mangimangi Daeng Matutu
meninggal dunia dalam tahun 1946, digantikan oleh putranya yaitu Andi Idjo
Karaeng Lalolang pada tanggal 5 September 1946 setelah mendapat persetujuan
Pemerintah Hindia Belanda. Selanjutnya pada tanggal 25 April 1947 Andi Idjo
Karaeng Lalolang dilantik menjadi Raja Gowa. Pengangkatan Andi Idjo tersebut
tidak dihadiri oleh Andi Mappanjukki karena masih dalam tahanan Belanda di
Rantepao. Untuk membantu Raja Gowa Andi Idjo, diangkatlah 5 orang pejabat
tinggi kerajaan.
Kabinet Negara Indonesia Timur yang dipimpin oleh Nadjamuddin Dg.Malewa sejak
dibentuknya pada tanggal 13 Januari 1947 yang kemudian diperbaharui pada
tanggal 2 Juni 1947, akhirnya pada tanggal 11 Oktober 1947 dibubarkan dan
digantikan dengan Kabinet Dr.S.Y.Warouw. Dalam masa kabinet Dr.S.Y.Warouw,
Abd.Hamid Dg.Magassing Walikota Makassar terpilih pula sebagai Wakil Ketua
Badan Perwakilan Rakyat Sementara Negara Indonesia Timur. Dua bulan setelah
pembentukan Kabinet Warouw, pada tanggal 10 Desember 1947 Ide Anak Agung Gde
Agung diangkat menjadi Perdana Menteri NIT menggantikan Dr.S.Y.Warouw, dan
pelantikan kabinetnya dilaksanakan pada tanggal 15 Desember 1947. Kabinet ini
bertahan sampai sampai kepada penyerahan kedaulatan RI dari Belanda kepada
Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949 sebagai awal dari
berdirinya Negara Republik Indonesia Serikat.
Sehubungan dengan rencana Pemerintah NIT untuk menggabung Pemerintah Swapraja
yang jumlahnya 115 wilayah menjadi gabungan pemerintah daerah yang lebih besar,
maka didakanlah musyawarah pada tanggal 12–13 Mei 1948 di Malino, tempat yang
sebelumnya diselenggarakan Konperensi Malino. Muktamar ini dipimpin dan diketua
oleh Perdana Menteri merangkap Menteri Urusan Dalam Negeri NIT I Gde Agung Anak
Agung, dan hanya dihadiri 18 Kepala Swapraja dari masing-masing Daerah yaitu:
Bali, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sangihe Talaud, Sulawesi Tengah,
Sumbawa, Timor dan Kepulauan sekitarnya, Flores, Sumba, dan Maluku Utara. Untuk
Daerah Sulawesi Selatan (temasuk Sulawesi Tenggara), hanya dihadiri
swapraja-swapraja Bone, Gowa, Buton, dan Wajo dari 38 swapraja yang ada di
Sulawesi Selatan dan Tenggara.
Setelah Muktamar Malino, dilanjutkan dengan mempersatukan semua
kerajaan-kerajaan besar dan kecil yang ada dalam wilayah Sulawesi Selatan
menjadi suatu gabungan pemerintahan yang disebut Gabungan Selebes Selatan
(Sulawesi Selatan). Pertemuan dalam rangka Pembentukan Gabungan Selebes Selatan
dilaksanakan di Watampone pada tanggal 18 Oktober 1948 yang dihadiri 30
pemerintah kerajaan, dan 8 daerah pemangku hadat yang dibentuk dengan Staatsblad
1947 Nomor 9 dan Staatsblad 1947 Nomor 10. Tujuan pembentukan Gabungan Selebes
Selatan pada dasarnya untuk memperjuangkan kepentingan penduduk pada hadat
tinggi dan pada Pemerintah Negara Indonesia Timur yang dibentuk pada tanggal 24
Desember 1946. Selanjutnya naskah persetujuan dasar-dasar Gabungan disahkan
oleh oleh Residen Selebes Selatan Dr.J.Van der Zwall pada tanggal 12 Nopember
1948 dan sekaligus Anggota-anggota Hadat Tinggi yang telah ditetapkan dilantik
oleh Ide Anak Agung Gde Agung Perdana Menteri merangkap Menteri Urusan Dalam
Negeri NIT. Sebagai Ketua Hadat Tinggi adalah Raja Bone Andi Pabenteng dan
Wakil Ketua adalah Raja Gowa Andi Idjo Karaeng Lalolang. Daerah Gabungan itu
diakui statusnya sebagai suatu Daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri.
Badan-badan Gabungan Selebes Selatan, terdiri dari:
·
Hadat Tinggi (dewan
eksekutif), terdiri dari 15 anggota termasuk ketua.
·
Majelis Harian dari
Hadat Tinggi.
·
Ketua Hadat Tinggi.
·
Dewan Selebes
Selatan, terdiri dari 39 anggota, 34 orang diantaranya dipilih, dan 1 kursi
disediakan untuk seorang wakil dari pulau-pulau yang termasuk ondeafdeling
Makassar, apabila daerah ini sudah dimasukkan dalam Gabungan.
Berdasarkan Staatsblad Indonesia Timur Tahun 1949 Nomor 3 tanggal 1 Pebruari
1949, Haminte Kota Makassar yang dibentuk dengan Staatsblad Hindia Belanda
Nomor 718 tanggal 30 Desember 1938 dihapuskan dan menjadi Haminte Kota Makassar
tidak sejati (Neo-Haminte) yang dibentuk berdasarkan besluit Gubernemen tanggal
29 Januari 1947 (Staatsblad Hindia Belanda Nomor 21) terhitung tanggal 1
Pebruari 1949. Disamping Haminte Kota Makassar tidak sejati, juga dibentuk
Afdeeling Makassar (daerah administratif setingkat kabupaten) meliputi
onder-afdeeling Pangkajene, Maros, Gowa, Jeneponto, Takalar, dan Pulau-pulau
Sepermonde sebagaimana yang ditetapkan dulu dalam Ketetapan Gubernur Timur
Besar tanggal 24 Pebruari 1940 Nomor 21 (Bijblad Nomor 14377) jo. Surat
Ketetapan Menteri Urusan Dalam Negeri Indonesia Timur Nomor UPU 1/1/1945
tanggal 19 Januari 1950 dan Nomor UPU 1/6/23 tanggal 20 Maret 1950.
Dengan adanya perubahan menjadi Neo-Haminte Kota Makassar (Haminte tidak
sejati), istilah Gallarang dirubah menjadi Distrik. Distrik-distrik Neo-Haminte
Kota Makassar terdiri dari 4 (empat), yaitu:
1.
Distrik Ujung Tanah,
meliputi 10 kampung yaitu: Kampung Ujung Tanah, Tabaringang, Pannampu,
Kalukubodoa, Rappokalling, Rappojawa, Patingalloang, Gusung, dan Tallo. Kepala
Distrik adalah Abd.Rahim Dg.Tompo.
2.
Distrik Wajo,
meliputi 10 kampung, yaitu: Kampung Pattunuang, Butung, Malimongan Tua,
Malimongan Baru, Melayu, Layang, Parang Layang, Bontoala, Wajo Baru, dan
Baraya. Kepala Distrik adalah Baso Dg.Malewa.
3.
Distrik Makassar,
meliputi 9 kampung, yaitu: Kampung Maricaya, Bara-baraya, Maradekaya, Lariang
Bangngi, Maccini, Maloku, Mangkura, Pisang, dan Baru. Kepala Distrik adalah
Sayat Dg.Patunru.
4.
Distrik Mariso,
meliputi 9 kampung, yaitu: Kampung Mariso, Lette, Kunjungmae, Pannambungang,
Mattoanging, Lette, Sambungjawa, Parang, dan Mamajang. Kepala Distrik adalah
Dg.Sila.
Sehubungan dengan pembentukan Hadat Tinggi Sulawesi Selatan dan Tenggara dan
perubahan Gallarang menjadi distrik, maka dibentuk juga Dewan Hadat Tingkat
Distrik dalam lingkungan Haminte Makassar. Salah satu tugas Distrik yang
diberikan pada waktu itu adalah menaksir dan menagih Pajak Jalan Kecil (PDC)
yang dikenakan Rp. 15,- tiap orang, termasuk penagihan Pajak Pendapatan Kecil
yang jumlahnya di bawah Rp. 830,- yang langsung distor ke Kas Negara. Mengenai
Pendapatan Daerah Kotapraja Makassar, yang menjadi sumber utama adalah
penerimaan dari Locis yang dikenakan kepada setiap kendaraan tidak bermotor,
yaitu: Sepeda, Tiga-roda, Bendi, dan Gerobak. Penagihan ini dilakukan sendiri
oleh pegawai-pegawai kantor Pajak Haminte Makassar yang berkantor di
Jln.G.Lompobattang. Sedangkan penerimaan retribusi pasar-pasar yang masih aktif
pada waktu yaitu adalah Pasar Butung, Kalimbu, Pannampu, Baru, Sambungjawa, dan
Cidu, yang langsung dipungut oleh kepala pasar yang sudah ditetapkan.
Mulai tanggal 1 Oktober 1949 wilayah Negara Indonesia Timur dibagi menjadi tiga
Komisariat, yaitu:
1.
Komisariat Negara
Utara meliputi daerah-daerah Minahasa, Maluku Utara, Sulawesi Utara, Sulawesi
Tengah, Sangihe dan Talaud.
2.
Komisariat Negara
Tengah meliputi daerah-daerah Sulawesi Selatan dan Maluku Selatan.
3.
Komisariat Negara
Selatan meliputi daerah-daerah Bali, Lombok Sumbawa, Flores, Timor, dan
Pulau-pulau di sekitarnya, dan Sumba.
Dengan terbentuknya Komisariat Negara, maka kekuasaan dan pelaksanaan tugas
sehari-hari yang dijalankan oleh residen menjadi tanggung jawab kepala
pemerintah daerah dibawah perintah dan pengawasan Komisaris Negara Indonesia
Timur.
B. UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1948
Pada tanggal 10 Juli 1948 Pemerintah Republik Indonesia di Yogyakarta telah
berhasil mengeluarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan
Daerah; Peraturan tentang Penetapan Aturan-aturan Pokok Mengenai Pemerintahan
Sendiri di Daerah-daerah yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya
Sendiri atau disebut Undang-undang Pokok Pemerintahan Daerah, ditetapkan dan
diumumkan pada tanggal 10 Juli 1948. Undang-undang ini dibuat sebagai pengganti
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 yang dibuatnya amat sederhana, sehingga dengan
demikian Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 merupakan pelaksanaan dari Pasal 18
Undang-undang Dasar 1945. Selain Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948, Pemerintah
RI juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 21 Tahun 1948 (PGP 1948),
yang mengatur tentang gaji Pegawai Negeri Sipil, mulai berlaku pada tanggal 1
Mei 1948.
Bertepatan dengan pembahasan/ pengesahan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948, di
Bandung juga berlangsung Konperensi Bandung (Pertemuan Permusyawaratan Federal)
yang dilaksanakan dari tanggal 8 Juli – 15 Juli 1948. Penyelenggaraan
Konperensi adalah prakarsa Perdana Menteri NIT Ide Anak Agung Gde Agung dengan
kerja sama dengan Perdana Menteri Negara Pasundan Adil Poeradiedja, tanpa
sepengatahuan Van Mook. Konperensi dihadiri 16 delegasi dari Negara Indonesia
Timur, 11 delegasi dari bakal negara bagian (Banjar, Bangka, Belitung, Dayak
Besar, Kalimantan Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Tenggara, Kalimantan
Timur, Pasundan, Riau, Sumatera Selatan, Sumatera Timur), dan 3 Peninjau dari
Jawa Tengah, Jawa Timur Timur, dan Padang. Dari konperensi ini menghasilkan
Resolusi Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO) yang dalam kesimpulannya
antara lain disebutkan bahwa berdirinya Negara Indonesia Serikat (NIS) yang
berdaulat selambat-lambatnya tercapai pada tanggal 1 Januari 1949.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 yang telah dikeluarkan belum dapat dijalankan
berhubung perkembangan poltik dan situasi Negara Indonesia yang baru tiga tahun
terbentuk itu belum menentu sebagai akibat tekanan dari Belanda untuk
memperkecil wilayah RI yang berpusat di Yogyakarta. Pada tanggal 18 September
1948 terjadi suatu peristiwa yang mengagetkan Pemerintah RI di Yogyakarta,
yaitu adanya pemberontakan yang dilakukan oleh PKI/FDR di Madiun. Peristiwa itu
terjadi 6 hari sesudah penutupan PON I di Solo pada tanggal 12 September 1948.
Pembukaan PON I dilangsungkan pada tanggal 9 September 1948 dan dibuka oleh
Presiden Soekarno. Baru saja selesai penumpasan pemberontakan PKI, menyusul
pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 jam 00.00 malam Belanda menyerang
Ibukota RI di Yogyakarta, dan pada pagi harinya Ibukota RI Yogyakarta berhasil
diduduki dan menawan Presiden RI Soekarno serta beberapa pemimpin lainnya,
termasuk didalamnya Dr.G.S.S.J. Ratulangi dan Tadjoeddin Noor. Pada tanggal 22
Desember 1948 Presiden RI Soekarno dan Wakil Presiden RI Moehammad Hatta
diasingkan ke Prapat Sumatera dengan menggunakan pesawat bomber B-25. Sehari
sebelum peristiwa itu, pada tanggal 18 Desember 1948, Parlemen RI akan
mengadakan kunjungan balasan ke Makassar setelah misi Parlemen NIT mengunjungi Yogyakarta
dari tanggal 18 – 29 Pebruari 1950. Pada saat rombongan sudah meninggalkan
Jakarta menuju Makassar, tiba-tiba kapal terbang yang ditumpangi mengalami
kerusakan, sehingga penerbangan dibatalkan.
Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok Pemerintahan Daerah,
ditetapkan bahwa Daerah Negara Republik Indonesia terdiri dari 3 tingkatan yang
berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, yaitu : Propinsi,
Kabupaten (Kota Besar) dan Desa (Kota kecil, negeri, marga dan sebagainya), dengan
titik berat dalam memberi hak mengatur rumah tangga daerah lebih diutamakan
diadakan di desa. Dalam Pasal 2 dan Penjelasan Umum disebutkan, bahwa
Pemerintah Daerah terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan
Pemerintah Daerah yang memegang kekuasaan yang tertinggi. Ketua dan Wakil Ketua
dipilih oleh dan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah dipilih selama 5 tahun (Pasal 3 dan
Pasal 14). Dewan Pemerintah Daerah menjalankan pemerin-tahan sehari-hari dan
bersama-sama bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Derah. Dengan
demikian maka segala sesuatu yang mengenai pemerintahan daerah dijalankan
secara kolegial (bersama-sama). Dimana Kepala Daerah menjabat Ketua dan anggota
Dewan Pemerintah Daerah. Kepala Daerah di dalam Pemerintahan Daerah mempunyai
dua rupa (fungsi), yaitu Kepala Daerah sebagai pengawas adalah Wakil Pemerintah
dan sebagai ketua dan anggota Dewan Pemerintah Daerah adalah alat (organ)
Pemerintah Daerah.
Dalam Penjelasan Umum nomor 13 antara lain disebutkan, bahwa Pemerintahan
Daerah berupa dua macam, ialah:
a.
Pemerintahan Daerah
yang disandarkan pada hak otonomi;
b.
Pemerintahan Daerah
yang disandarkan pada hak medebewind.
Pada pembentukan pemerintahan Daerah yang hendak mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri, oleh Pemerintah Pusat ditentukan kewajiban (pekerjaan) yang
dapat diserahkan, yaitu:
a.
Penyerahan penuh,
artinya baik tentang asasnya (prinsip-prinsipnya) maupun tentang caranya
menjalankan kewajiban (pekerjaan) yang diserahkan itu, diserahkan semuanya
kepada Daerah. (hak otonomi);
b.
Penyerahan tidak
penuh, artinya penyerahan hanya mengenai caranya menjalankan saja, sedang
prinsip-prinsipnya (asas-asasnya) ditetapkan oleh Pemerintah Pusat sendiri (hak
medebewind).
Hak medebewind yang diserahkan kepada Kabupaten dan Kota menurut peraturan lama
amat sedikit, yang pada umumnya ada ditangan kepala daerah. Dengan keluarnya
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948, maka hak medebewind diserahkan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah atau Dewan Pemerintah Daerah, baik dari Pemerintah ke
Daerah, maupun dari Daerah ke Daerah dibawahnya. Penyerahan hak otonomi dan hak
medebewind akan diserahkan dalam Undang-undang Pembentukan dari masing-masing
daerah dan disebutkan macam-macam kewajiban yang diserahkan kepada daerah.
Pemberian sistem otonomi yang diatur dalam Undang-undang Pokok Pemerintahan
Daerah ini, adalah otonomi materiel yang dalam intinya menyatakan bahwa urusan
rumah tangga Daerah diatur oleh Pemerintah Daerah, sehingga segala urusan yang
tidak atau belum diatur oleh Pemerintah Pusat atau Daerah tingkat atas dapat
diatur oleh daerah.
Selanjutnya, dalam Pasal 20 ditetapkan bahwa Sekretaris diangkat dan
diberhentikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atas usul Dewan Pemerintah
Daerah. Sekretaris Daerah adalah Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah juga
menjadi Sekretaris Dewan Pemerintah Daerah dan Sekretaris Kepala Daerah. Hal
ini mengingat pekerjaan dan kedudukan sekretaris sangat penting yang
memungkinkan diangkat lebih dari satu Sekretaris, yaitu Sekretaris I dan
Sekretaris II.
Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948, maka pemerintahan
dualistis yang dijalankan pada waktu itu dihapuskan, dimana pemerintahan di
daerah-daerah dijalankan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Badan Eksekutif yang
disebut pemerintah otonomi, dan pemerintahan yang dipimpin oleh Kepala Daerah
sendiri yang disebut Pamong Praja. Untuk itu, maka pemerintahan dualistis
dihapuskan dan untuk selanjutnya dijalankan secara bersama-sama (kolegial) oleh
Dewan Pemerintahan Daerah.
Berhubung dengan pembentukan Daerah-daerah menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun
1948, maka Pamong Praja lambat laun akan dihapuskan dan dimasukkan kedalam
pemerintahan daerah, maka tinggal Kepala Daerah yang menjadi wakil Pemerintah
Pusat. Pelaksanaan Undang-undang Pokok Pemerintahan Daerah Nomor 22 Tahun 1948
yang ditetapkan pada tanggal 10 Juli 1948 baru dapat diberlakukan pada tanggal
13 Maret 1950 setelah Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan
Pengganti Undang-undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 1950 tentang Peraturan Daerah
Pulihan, yang menjadi dasar pembentukan daerah-daerah otonom propinsi,
kabupaten (kota besar), desa (kota kecil, Negari, Marga, dan sebagainya) di
Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Irian Barat (Irian Jaya). Berhubung Irian Barat
masih dikuasai oleh Belanda, maka Ibukota Irian Barat untuk sementara
ditempatkan di Soasiu Pulau Tidore (Maluku).
Propinsi-propinsi yang dibentuk baru menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948
adalah: Jawa Timur (UU Nomor 2 Tahun 1950), D.I.Yogjakarta (UU Nomor 3 Tahun
1950), Jawa Tengah (UU Nomor 10 Tahun 1950), Jawa Barat (UU Nomor 11 Tahun 1950),
Sumatera Selatan (PPUU Nomor 3 Tahun 1950), Sumatera Tengah (PPUU Nomor 4 Tahun
1950), dan Sumatera Utara (PPUU Nomor 5 Tahun 1950). Semua peraturan
pembentukan daerah otonom tersebut mulai berlaku pada tanggal 15 Agustus 1950.
Menyusul kemudian Propinsi Kalimantan (UUDar Nomor 2 Tahun 1953), Kalimantan
lebih lanjut dipecah menjadi 3 propinsi yaitu: Kalimantan Barat (UU Nomor 25
Tahun 1956), Kalimantan Timur (UU Nomor 25 Tahun 1956), dan Kalimatan Selatan
(UU Nomor 25 Tahun 1956), Aceh (UU Nomor 24 Tahun 1956), dan Irian Barat (UU
Nomor 15 Tahun 1956). Daerah-daerah yang telah dibentuk berdasarkan
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948, yaitu 12 propinsi (termasuk 1 daerah
istimewa setingkat dengan propinsi), 142 kabupaten (termasuk 3 daerah istimewa
setingkat dengan kabupaten, 23 kota besar, dan 17 kota kecil.
Mengenai sumber-sumber pendapatan (keuangan) Daerah diatur dalam pasal 37
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948, yaitu :
a.
Pajak daerah, ialah
pajak yang tidak atau belum diatur oleh Pemerintah Pusat.
b.
Retribusi, ialah
pemungutan pendapatan oleh daerah-daerah sebagai pengganti (kerugian) diensten
yang diberikan oleh daerah kepada siapa saja yang membutuhkan diensten itu,
misalnya bea pasar, air minum, tambangan, uang sekolah, pemakaian tempat
pemandian, lapangan olah raga dan sebagainya, bea pemeriksaan susu, daging,
hewan dan lain-lainnya.
c.
Pendapatan hasil
perusahaan.
d.
Pajak Negara yang
diserahkan kepada daerah.
e.
Lain-lain pendapatan
daerah, umpamanya bisa berupa:
·
Pinjaman, biasanya
uang pinjaman itu dipergunakan guna menjalankan usaha-usaha yang produktif dan
menguntungkan kepentingan daerah, umpamanya membikin saluran air, mendirikan
jembatan-jembatan, dan mendirikan pabrik yang mengun-tungkan (rendabel);
·
Subsidi (sokongan),
ialah bila daerah harus mengeluarkan biaya luar biasa yang melebihi kekuatan
daerah untuk pekerjaan besar, lebih-lebih pula yang mengenai kepentingan lebih
luas dari kepentingan daerah;
·
Macam-macam penjualan
barang-barang milik daerah sendiri, menyewakan barang-barang dan lain-lainnya;
·
Lain-lain.
Untuk sementara waktu sumber pendapatan tersebut belum
dapat dijalankan, sehingga kepada daerah hanya diberikan sluitpost (subsidi),
sebagaimana penjelasan pada Nomor 33.
C. UNDANG-UNDANG NIT NOMOR 44 TAHUN 1950
Sejak terbentuknya Negara Indonesia Timur (NIT) pada tanggal 24 Desember 1947,
barulah dapat diadakan pemilihan umum untuk memilih anggota Badan Perwakilan
Rakyat yang mulai dilaksanakan dalam bulan September 1949 dan selesai memilih
Anggota Badan Perwakilan Rakyat pada bulan Oktober 1949. Mengenai Undang-undang
tentang Pemerintahan Daerah yang telah dibahas Badan Perwakilan Rakyat
Sementara selama dua tahun dan dilanjutkan oleh Badan Perwakilan Rakyat yang
disusun berdasarkan hasil Pemilihan Umum pada bulan Oktober 1949, akhirnya
dalam suasana masih kacau akibat peristiwa pemberontakan Kapten Andi Azis dan
berdirinya Republik Maluku Selatan (RMS) pada tanggal 24 April 1950 yang
diproklamirkan oleh Dr.Soumokil, Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah
Negara Indonesia Timur dapat disahkan pada tanggal 15 Juni 1950. Sebelum
disetujui dan disahkan Rencana Undang-undang tersebut, di Jakarta, pada tanggal
19 Mei 1950 telah dicapai persetujuan antara RI dan RIS untuk membentuk Negara
Kesatuan (eenheidstaat) yang mempunyai souvereiniteit kedalam dan keluar.
Undang-undang ini ditetapkan, mengingat suasana politik psychologis yang
memerlukan perubahan pemerintahan daerah-daerah di Indonesia Timur untuk
disesuaikan dengan status Negara Kesatuan, sambil menunggu ditetapkannya
undang-undang yang berlaku di seluruh Indonesia selaku Negara Kesatuan.
Undang-undang Negara Indonesia Timur (NIT) Nomor 44 Tahun 1950 tanggal 15 Juni
1950 tentang Pemerintahan Daerah Negara Indonesia Timur, ditandatangani di
Makassar oleh Acting Presiden Negara Indonesia Timur Husain Puang Limboro.
Undang-undang ini organik dari Voorloopige voorzi eningen met betrekking tot de
bestuursvoering in de gewesten Borneo en de Groote Oost (Staatsblad 1946 Nomor
17 tanggal 13 Pebruari 1946) dan Zelfbestuursregelen 1938 tanggal 14 September
1938 (Staatsblad 1938 Nomor 529). Isi dari Undang-undang NIT Nomor 44 Tahun
1950 sebagian besar mengambil ketentuan-ketentuan dari Undang-undang RI Nomor
22 Tahun 1948, hanya disesuaikan dengan keadaan di Negara Indonesia Timur.
Dalam Pasal 1 ditetapkan bahwa Negara Indonesia Timur untuk sementara disusun
dalam 2 atau 3 tingkatan, yaitu Daerah-daerah, Daerah-daerah bagian atau
Daerah-daerah anak bagian yang sama tingkatannya yang ditetapkan dalam
Staatsblad 1946 Nomor 143 Peraturan pembentukan Negara Indonesia Timur.
Sebagaimana halnya dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948, pemberian otonomi
kepada Daerah-daerah di Negara Indonesia Timur juga menganut otonomi materiil,
apa yang merupakan urusan rumah tangga dari sesuatu Daerah, Daerah bahagian,
atau Daerah anak bahagian akan ditetapkan dalam undang-undang. Akan tetapi
sampai saat hapusnya Negara Indonesia Timur belum pernah diadakan undang-undang
yang menetapkan rumah tangga tersebut, demikian juga dengan pembentukan
Daerah-daerah bagian dan Daerah-daerah anak bagian.
Tentara Kemanan Rakyat (TKR) pada masa revolusi di
Sulawesi Selatan.
|
Dalam Undang-undang NIT Nomor 44 Tahun 1950,
Pemerintahan Daerah terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan
Pemerintah Daerah, dimana Kepala Daerah merangkap jabatan Ketua dan anggota
Dewan Pemerintah Daerah, yang menjalankan tugas atas nama dan untuk Pemerintah
Pusat serta mengawasi penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Kepala Daerah
diangkat oleh Presiden Negara Indonesia Timur dari sedikit-dikitnya dua dan
sebanyak-banyaknya empat orang calon yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah. Untuk Kepala Daerah Swapraja diangkat oleh Presiden dari
keturunan keluarga Swapraja di daerah itu dengan syarat-syarat kecakapan,
kejujuran dan kesetiaan dan mengingat adat istiadat di daerah itu, atas
pencalonan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Disamping Kepala Daerah Swapraja
dapat diangkat Wakil Kepala Daerah Swapraja.
Dalam pasal 3, dijelaskan bahwa Anggota Dewan Perwakian Rakyat dari Daerah dan
Daerah bagian/ anak bagian ditetapkan oleh Pemerintah Negara Indonesia Timur,
dengan pertimbangan faktor-faktor luasnya tugas otonomi, kekuatan keuangan,
jumlah penduduk dan suasana politik, dan dipilih untuk selama-lamanya 3 tahun.
Untuk Dewan Pemerintah Daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat atas dasar
perwakilan berimbang. Dewan Pemerintah Daerah menjalankan Pemerintahan
sehari-hari yang bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Daerah-daerah Negara Indonesia Timur meliputi wilayah Indonesia Timur Besar
(Groote Oost) yang dibentuk berdasarkan Ordonnantie tanggal 19 Desember 1936
(Staatsblad No. 68) dan Keputusan Gouverneur tanggal 25 Mei 1938 (Staatsblad
No. 264) meliputi Sulawesi, Maluku dan Sunda Kecil dengan Ibukotanya adalah
Makassar. Daerah-daerah terdiri dari 13 daerah (himpunan masyarakat otonom)
adalah sama dengan yang ditetapkan dalam Peraturan Pembentukan Negara Indonesia
Timur (Staatsblad 1946 Nomor 143) Pasal 14, sebagai berikut:
a.
Daerah Sulawesi
Selatan, terdiri dari 30 Swapraja;
b.
Daerah Minahasa;
c.
Daerah Sangihe dan
Talaud, terdiri dari 6 Swapraja;
d.
Daerah Sulawesi
Utara, terdiri dari 5 Swapraja;
e.
Daerah Sulawesi
Tengah, terdiri dari 15 Swapraja;
f.
Daerah Bali, terdiri
dari 8 Swapraja;
g.
Daerah Lombok,
terdiri dari 1 bagian (Neo Landschap);
h.
Daerah Sumbawa,
terdiri dari 3 Swapraja;
i.
Daerah Flores,
terdiri dari 9 Swapraja;
j.
Daerah Sumba, terdiri
dari 16 Swapraja;
k.
Daerah Timor dan
kepulauan sekitarnya, terdiri dari 19 Swapraja;
l.
Daerah Maluku
Selatan, terdiri dari 1 wilayah (Neo Landschap);
m.
Daerah Maluku Utara,
terdiri dari 3 Swapraja.
Ketigabelas Daerah itu sebenarnya sudah terbentuk antara tahun 1946 dan 1947,
yaitu sebelum tanggal berlakunya Undang-undang Negara Indonesia Timur (NIT)
Nomor 44 Tahun 1950 tanggal 15 Juni 1950. Untuk Kota Makassar yang statusnya
sebagai Kota Haminte tidak sejati (Neo Haminte) yang dibentuk berdasarkan
Staatsblad Indonesia Timur Tahun 1949 Nomor 3, tidak termasuk dalam 13 Daerah
tersebut. Tidak masuknya dalam 13 Daerah tersebut, mungkin karena Kotapraja
Makassar ditunjuk sebagai Ibukota Negara Indonesia Timur.
Himpunan masyarakat otonom untuk Daerah Sulawesi Selatan terdiri dari wilayah
Keresidenan Sulawesi dan lingkungannya, dimana termasuk Daerah-daerah Swapraja
Wajo, Soppeng, Malusetasi, Suppa, Sawitto, Batulappa, Kassa, Sidenreng, Tanete,
Rappang, Alla, Barru, Soppengriaja, Majene, Pambuang, Cenrana, Balangnipa, Binuang,
Mamuju, Tapang, Luwu, Tanah Toraja, Buton, Laiwu, Gowa dan Bone. Selanjutnya
pada tahun 1948 daerah-daerah (Neo Landschap) Jeneponto, Maros, Pangkajene,
Takalar, Bonthain, Bulukumba, Sinjai, dan Seleler (Selayar). Keseluruhan
Daerah-daerah Swapraja (Landschap) dan Neo Landschap yang jumlahnya 38 buah
digabung dalam Gabungan Selebes Selatan.
Salah satu sumber utama penghasilan Negara Indonesia Timur adalah dari Pajak
Kopra yang ditetapkan dalam Undang-undang Indonesia Timur Nomor 16 Tahun 1949
tentang mengatur pajak bagi ekspor kopra. Pajak Kopra ini menjadi kewenangan
Daerah-daerah di Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara. Pajak Kopra ini kemudian
dirubah dengan Peraturan Pemerintah RI Nomor 3 Tahun 1957, kemudian dibekukan
dan diganti dengan Keputusan Presiden Nomor 67 Tahun 1969 tentang Sumbangan
Rehabilitasi Kopra. Sebagai gambaran, ekspor kopra pada tahun 1947 jumlahnya
152.000 ton meningkat pada tahun 1949 menjadi 306.000 ton. Nilai ekspor kopra
pada tahun 1950 berjumlah 150 juta rupiah, sedangkan nilai ekspor keseluruhan
180 juta rupiah. Nilai ekspor lainnya pada tahun 1949 diperoleh dari ekspor
beras sebanyak 100.000 ton, ekspor hewan sebanyak 2,6 juta rupiah, hasil kayu
sebanyak 90.000 m3, hasil hutan diperoleh 8 juta rupiah, dan ikan laut 4 juta
rupiah.
D. TERBENTUKNYA NEGARA INDONESIA SERIKAT
Konperensi Meja Bundar (KMB) yang dibuka pada tanggal 23 Agustus 1949 pukul 2
siang bertempat di ruangan Ridderzaal di Den Haag, dan berakhir pada tanggal 2
Nopember 1949, telah disepakati 12 buah dokumen yang terdiri dari 268 pasal.
Naskah persetujuan KMB kemudian disetujui oleh Majelis Tinggi Belanda pada
tanggal 19 Desember 1949. Selanjutnya untuk penyerahan kedaulatan akan
dilakukan sendiri oleh Ratu Juliana pada tanggal 27 Desember 1949.
Sementara di Jakarta pada tanggal 14 Desember 1949 bertempat di Jalan
Pegangsaan Timur Nomor 56 berhasil pula disetujui naskah Undang-undang Dasar
Sementara berisi Konstitusi Republik Indonesia Serikat yang dituangkan dalam
Piagam Penanda Tanganan Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan ditanda
tangani oleh wakil-wakil dari 16 Negara Bagian, yaitu:
1.
Republik Indonesia,
2.
Indonesia Timur,
3.
Jawa Tengah,
4.
Jawa Timur,
5.
Madura,
6.
Pasundan,
7.
Kalimantan Barat,
8.
Kalimantan Tenggara,
9.
Kalimantan Timur,
10.
Dayak Besar,
11.
Banjar,
12.
Bangka,
13.
Belitung,
14.
Riau,
15.
Sumatra Selatan,
16.
Sumatra Timur.
Naskah rencana Undang-undang Dasar Sementara disusun oleh Delegasi Republik
Indonesia dan Delegasi Pertemuan Musyawarah Federal yang selesai disusun pada
pertengahan bulan Oktober 1949 dan selanjutnya disetujui oleh Delegasi Republik
Indonesia dan Daerah-daerah Bagian pada hari Sabtu tanggal 29 Oktober 1949 di
Scheveningen (sebuah kota dekat Den Haag).
Dalam Pasal 186 Konstitusi RIS disebutkan “Konstitusi (Sidang Pembuat
Konstitusi) bersama-sama dengan pemerintah selekas-lekasnya menetapkan
konstitusi Republik Indonesia Serikat yang akan menggantikan Konstitusi
sementara ini”, dan dalam Pasal 197 disebutkan pula bahwa “Konstitusi ini mulai
berlaku pada saat pemulihan Kedaulatan”.
Dalam Konstitusi RIS tidak disebutkan mengenai pengaturan tentang pemerintahan
di Daerah, kecuali Daerah-daerah swapraja yang sudah ada tetap diakui. Dengan
demikian, maka pengaturan pemerintahan di daerah-daerah menjadi wewenang
Negara-negara Bagian untuk menetapkannya.
Dengan disetujuinya Undang-undang Dasar Sementara RIS, maka Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 berubah
menjadi Negara Indonesia Serikat (RIS), yang berarti susunan ketatanegaraan
Indonesia berubah menjadi negara federal atau negara serikat. Hal ini sudah
dijanjikan oleh Ratu Juliana dalam pidato radionya pada tanggal 6 Desember 1942
di London.
Salah satu hasil dari KMB dibidang ekonomi dan keuangan yang diatur dalam Pasal
25, bahagian D, dari dokumen h., ialah hal penyelesaian hutang piutang yang
menetapkan berapa banyak hutang yang dibebankan kepada RIS. Sebagai gambaran,
hutang-hutang yang menjadi tanggungan Pemerintah RIS adalah sebagai berikut:
a.
Hutang dengan jangka
panjang terhitung mulai 31 Desember 1949, jumlahnya f.128.579.675,-
b.
Hutang kepada negeri
lain, terhitung pada tanggal 31 Desember 1949, jumlahnya $.93.002.600,21 tambah
£ 8.500.000,-
c.
Hutang kepada
kerajaan Belanda, terhitung mulai 31 Desember 1949, jumlahnya f.268.500.000,-
d.
Semua hutang dalam
negeri dari Indonesia pada tanggal penyerahan kedaulatan (27 Desember 1949).
Sementara diadakan Konperensi Meja Bundar yang berlangsung di Den Haag, Belanda
dari 23 Agustus 1949 hingga 2 Nopember 1949, di Makassar, Robert Mongisidi
menjalani hukuman mati yang dieksekusi pada tanggal 5 September 1949 jam 05.00
pagi di Paccinang, dan esok harinya pukul 17.00 dimakamkan di Pampang dalam
suatu upacara yang dihadiri 20.000 orang. Walaupun hukuman yang diputuskan
mendapat reaksi keras dari seluruh masyarakat Sulawesi Selatan, namun oleh
Mr.Dr.Ch.R.S.Soumokil selaku Menteri Kehakiman N.I.T. tetap memerintahkan untuk
melaksanakan putusan hukuman mati. Sebelum penjatuhan hukuman mati, Robert
Mongisidi pernah meloloskan diri dari penjara bersama Abdullah Haddade,
H.M.Yoseph dan Lewang Daeng Matari. Robert Mongisidi melarikan diri ke
Barombong, karena Belanda mengetahui keberadaannya, maka dia ke Jongaya untuk
bersatu kembali dengan para pejuang. Di Jongaya, Pak Nando menyembunyikannya di
belakang kandang babi. Malam harinya dia diantar ke rumah Andi Mappanyukki,
karena keadaan tidak aman, maka dia diantar ke rumah M.Ali Mabham Daeng Tojeng,
dan oleh M.Ali Mabham Daeng Tojeng menyembunyikan di menara Masjid Babul
Firdaus, Jongaya. Keesokan harinya Robert Mongisidi mencari tempat persembunyian
di tempat lain dan menyamar mencari kerja di salah satu rumah milik Belanda di
Mangkura. Pada tanggal 26 Oktober 1948 dapat ditangkap kembali oleh Militaire
Politie (M.P) Belanda di Klaperlaan Gang 22 Nomor 3 Makassar (sekarang Jalan
Wolter Mongisidi) bersama dengan teman-temannya, kemudian diajukan kemuka
pengadilan dengan tuduhan sebagai pengacau, ekstremis, dan perampok.
Selanjutnya berdasarkan hasil Konperensi Meja Bundar pada dokumen b. (Piagam
Penyerahan Kedaulatan) dan dokumen g. (Statuut Uni), maka pada tanggal 17
Desember 1949 Ir.Soekarno dilantik menjadi Presiden Pertama RIS di Yogya. Pada
hari itu juga tanggal 17 Desember 1949 pukul 10.00, di Sungguminasa, dilakukan
penaikan bendera Merah Putih di depan Istana Raja Gowa (Balla Lompoa), dalam
acara itu Andi Idjo Karaeng Lalolang menyampaikan pidato, bahwa mendukung
pemerintahan Republik Indonesia Serikat dibawah Presiden Soekarno.
Pada tanggal 20 Desember 1949 disusunlah Kabinet Republik Indonesia Serikat
dengan Perdana Menteri adalah Drs.Moh.Hatta. Dengan terbentuknya Kabinet RIS
dan beberapa Menteri lainnya menjadi Menteri Republik Indonesia Serikat dan
berkedudukan di Jakarta, maka disusunlah Kabinet Republik Indonesia sebagai
Kabinet Peralihan RI (Kabinet RI Yogyakarta) yang berkedudukan di Yogyakarta.
Salah satu dari tujuh program Kabinet Hatta sebagai Kabinet Pertama Republik
Indonesia Serikat, adalah menyelenggarakan supaya pemindahan kekuasaan ketangan
bangsa Indonesia diseluruh Indonesia terjadi dengan seksama; mengusahakan reorganisasi
KNIL dan pembentukan Angkatan Perang RIS dan pengembalian tentara Belanda
kenegerinya dalam waktu yang selekas-lekasnya.
Pada tanggal 24 Desember 1949 yang merupakan hari jadi Negara Indonesia Timur
yang ketiga, bertempat di Istana kepresidenan NIT di Makassar, dilaksanakan
suatu upacara kenegaraan peringatan hari ulang tahun Negara Indonesia Timur
yang dipimpin oleh Presiden NIT Tjokorde Gde Rake Soekawati. Pada peringatan
ulang tahun itu dihadiri pula Sultan Hamengku Bowono IX di dalam kedudukannya
sebagai Menteri Pertahanan Republik Indonesia Serikat. Pada kesempatan itu
Perdana Menteri NIT Ide Anak Agung Gde Agung menyampaikan untuk mengundurkan
diri sehubungan dengan pengangkatannya sebagai Menteri Urusan Dalam Negeri
Republik Indonesia Serikat.
Pada tanggal 27 Desember 1949 jam 10.00 pagi bertempat di Istana de Dam
(Amsterdam) dilakukanlah penyerahan kedaulatan Republik Indonesia - kecuali
residensi Irian atau Nieuw Guinea - dari Pemerintah Belanda yang diwakili oleh
Ratu Juliana kepada Pemerintah Republik Indonesia yang diwakili oleh
Drs.Moh.Hatta, yang menandai lahirnya Negara Republik Indonesia Serikat (RIS),
yang merupakan negara federal.
Di Jakarta bertempat di Istana Koningsplein (Istana Gambir) pada saat yang
sama, yaitu pukul lima sore waktu setempat Wakil Tinggi Mahkota Kerajaan
Belanda Dr.A.H.J.Lovink menyerahkan kekuasaan Pemerintah Belanda kepada Sultan
Hamengku Buwono IX yang bertindak atas nama Pemerintah Republik Indonesia
Serikat. Sedangkan penyerahan kekuasaan di Makassar, diterima langsung oleh
Letkol A.Y.Mokoginta yang hanya dihadiri beberapa anggota CPM (Corps Polisi
Militer).
Menyusul setelah penyerahan kekuasaan di Makassar, dalam bulan Desember 1949,
pemuda-pemuda pejuang kemerdekaan, tokoh-tokoh politik, dan raja-raja yang
dipenjara atau diasingkan sejak tahun 1946 mulai dibebaskan. Termasuk yang
dibebaskan adalah Andi Djemma Datu Luwu, Andi Mappanyukki, Sultan Dg.Radja
Karaeng Gantarang, Padjonga Daeng Ngalla Karaeng Bulukumba dan lain-lain. Andi
Djemma Datu luwu yang dipenjara di Ternate, meninggalkan Ternate pada tanggal
23 Pebruari 1950 dengan kapal laut Tanimbar yang dilepas oleh penduduk Ternate
yang memadati pelabuhan. Andi Djemma dan rombongan tiba di Pelabuhan Makassar
tanggal 1 Maret 1950 dengan penjemputan yang sangat ramai, beliau dan
permaisurinya dikalungi bunga, selajutnya diarak kerumah mertuanya, Andi
Mappanyukki di Jongaya.
Sebagai tindak lanjut dari penyerahan kedaulatan kepada RI dan pemberlakuan
Konstitusi Republik Indonesia Serikat yang telah disetujui dan ditandatangani
dari masing-masing Delegasi Republik Indonesia dan Delegasi Daerah-daerah
Bahagian sejak tanggal 14 Desember 1949 di Jakarta, maka keluar Keputusan
Presiden Republik Indonesia Serikat Nomor 48 Tahun 1950 tanggal 31 Januari 1950
tentang Mengumumkan Piagam Penanda Tanganan dan Konstitusi Republik Indonesia
Serikat, yang selanjutnya diumumkan oleh Menteri Kehakiman RIS Soepomo pada
tanggal 6 Pebruari 1950, yang isinya adalah:
1.
Piagam
penandatanganan Konstitusi Republik Indonesia Serikat.
2.
Konstitusi Republik
Indonesia Serikat.
Setelah Keputusan Presiden Republik Indonesia Serikat Nomor 48 Tahun 1950, dan
berdasarkan Pasal 44 Konstitusi RIS, maka dikeluarkan Undang-undang Darurat
Nomor 11 Tahun 1950 tanggal 8 Maret 1950 tentang Tata Cara Perobahan Susunan
Kenegaraan dari Wilayah Republik Indonesia Serikat (Lembaran Negara Nomor 16
Tahun 1950), mulai berlaku tanggal 9 Maret 1950. Setelah itu, keluar lagi
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 1950 tentang
Peraturan Daerah Pulihan, mulai berlaku pada tanggal 13 Maret 1950. Dengan
keluarnya PERPU Nomor 1 Tahun 1950, maka sampai dengan tanggal 5 April 1950
sisa 3 (tiga) negara bagian yaitu: Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur,
dan Sumatra Timur.
Pasal 2 PERPU Nomor 1 Tahun 1950 mengalami perubahan redaksi melalui
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1950 tanggal 21 Juni 1950, yang berlaku surut sama
dengan tanggal mulai berlakunya PERPU Nomor 1 Tahun 1950, yang bunyinya “Segala
Peraturan dan Undang-undang di daerah-derah bagian dan daerah-daerah bukan
daerah bagian yang digabungkan dengan Republik Indonesia tidak berlaku lagi,
kecuali yang tidak bertentangan dengan Peraturan-peraturan dan Undang-undang
Republik Indonesia dengan ketentuan, bahwa Menteri yang bersangkutan berhak
menentukan, bahwa sesuatu Peraturan atau Undang-undang, meskipun berlainan
dengan Peraturan atau Undang-undang Republik Indonesia, untuk sementara tetap
berlaku guna kepentingan umum.
Sebagai akibat perang kemerdekaan dan perubahan politik sejak proklamasi sampai
dengan penyerahan kedaulatan, menimbulkan inflasi dan defisit dalam anggaran
belanja. Untuk mengatasi keadaan ini, pada tanggal 19 Maret 1950 pemerintah
mengadakan peraturan penyehatan keuangan (geldsanering), yaitu pemotongan uang.
Peraturan ini menentukan bahwa uang yang bernilai 2,50 gulden keatas dipotong
menjadi dua sehingga nilainya tinggal setengahnya.
Berkaitan dengan pembentukan negara federasi hasil Konperensi Meja Bundar yang
didalamnya termasuk Negara Indonesia Timur, di Makassar, pada tanggal 17 Maret
1950 terjadi aksi demonstrasi besar-besaran - menurut catatan harian H.Andi
Mappanyukki, demonstran kurang lebih 30.000 orang dan yang menonton 50.000
orang - mengelilingi kota Makassar dan mendatangi rumah kediaman Presiden NIT
Soekawati di Gubernuran untuk mendesak agar Negara Indonesia Timur dibubarkan
dan dimasukkan kedalam Negara Republik Indonesia. Gelombang demonstrasi
dipelopori oleh pemuka-pemuka politik dan para pejuang yang baru saja
dibebaskan dari tawanan Belanda pada tanggal 5 Pebruari 1950. Pada kesempatan itu
Andi Mappanyuki bersama dengan putranya Andi Pangerang Petta Rani sempat hadir
dan menyaksikan aksi demonstrasi, dan berkeliling kota untuk melihat keadaan
lainnya. Menyusul aksi demonstrasi itu, dalam suatu rapat Badan Perwaklan
Rakyat pada tanggal 22 Maret 1950, Lanto Dg.Pasewang Ketua Fraksi Kesatuan
bersama kepada Badan Perwakilan Rakyat bersama dengan anggota fraksinya
menyampaikan mosi yang isinya mendesak kepada Pemerintah NIT supaya Negara
Indonesia Timur dibubarkan dan digabung pada Negara Republik Indonesia.
Sebagai kelanjutan dari terbentuknya Republik Indonesia Serikat, diadakan
reorganisasi KNIL dengan menggabungnya kedalam APRIS (Angkatan Perang Republik
Indonesia Serikat). Penggabungan KNIL di Makassar mulai dilaksanakan pada
tanggal 30 Maret 1950, dimana jumlah keseluruhannya mencapat 1500 orang atau 2
batalyon yang sebagian besar berasal dari Ambon. Penggabungan ini tidak
diterima dengan baik oleh Kapten Andi Azis dan menentang kedatangan APRIS di
Makassar.
Dari Album SEJARAH KOTA MAKASSAR
Pada tanggal 1 April 1950 Andi Mappanyukki, Andi
Djemma Datu Luwu, Karaeng Polombangkeng, Andi Pangerang Petta Rani, dan Lanto
Dg.Pasewang berangkat ke Jakarta atas undangan Presiden Soekarno. Rombongan ini
meninggalkan Mandai dan tiba di Jakarta pukul 17.30 WIB. Tanggal 3 April 1950,
pukul 10.00 rombongan bertemu dengan Presiden Soekarno, dan foto bersama. Dalam
pertemuan dengan Presiden Soekarno, Andi Mappanyukki dikukuhkan kembali menjadi
Raja Bone demikian juga Andi Djemma dikukuhkan kembali menjadi Raja Luwu.
Esoknya menuju Yogjakarta, dan langsung menuju rumah Paku Alam VIII dan ke
rumah Menteri Penerangan RI.
Di Yogya, Andi Mappanyukki bersama rombongannya menerima berita bahwa terjadi
pemberontakan di Makassar yang dilakukan oleh Kapten Andi Azis. Selanjutnya
pada tanggal 7 April 1950 rombongan Andi Mappanyukki meninggalkan Yogjakarta
menuju Solo untuk selanjutnya ke Jakarta. Tiba di Stasion Gambir pukul 20.00
malam, dan dijemput oleh Sekretaris Presiden Soekarno dan Tadjoeddin Noor dan
Isteri. Setelah mengadakan pertemuan dengan Presiden Soekarno dan Kota Makassar
dinyatakan telah aman, maka pada tanggal 5 Mei 1950 rombongan Andi Mappanyukki
kembali ke Makassar.
Kapten Andi Azis yang tidak menerima penyatuan KNIL kedalam APRIS, bersama
dengan anggotanya sebanyak 300 orang pasukan eks KNIL melakukan penyerangan ke
Markas TNI di Jln.Guntur No.17 dan Klapper-laan (sekarang Jln.Mongisidi) pada
tanggal 5 April 1950 jam 05.00 pagi. Di tempat itu pasukan berhasil menurunkan
bendera Merah Putih dan memaksa Letkol A.Y.Mokoginta (Panglima Tentara
Territorium Indonesia Timur) untuk datang ke Asrama yang ditempati oleh Andi
Azis. Pada jam 10.00 Kapten Andi Azis sudah menguasai Makassar. Tujuan dari
pemberontakan yang dilakukan oleh Andi Azis hanyalah untuk mempertahankan
Negara Indonesia Timur (NIT). Bertepatan dengan dikuasainya Kota Makassar oleh
Kapten Andi Azis, di Jakarta pada tanggal 8 April 1950 diadakan konperensi
segitiga antara Republik Indonesia, Indonesia Timur dan Sumatera Timur untuk
menggabungkan negara federal yang dibentuk berdasarkan Konperensi Meja Bundar
menjadi Negara Kesatuan RI.
Timbulnya pemberontakan yang dilakukan oleh Andi Azis, oleh Presiden Soekarno
menyatakan Negara Indonesia Timur dalam keadaan darurat perang. Dengan demikian
dibentuklah Ekspedisi yang dipimpin oleh Kolonel A.E.Kawilarang dengan kekuatan
1 divisi, dimana Brigade X/Divisi III dipimpin oleh Letkol Soeharto (bekas
Presiden RI).
Kapten Andi Azis yang telah menguasai Kota Makassar sejak tanggal 5 April 1950,
akhirnya pada tanggal 19 April 1950 menyerah secara resmi kepada Komandan
pasukan APRIS di Makassar. Menyusul menyerahnya Kapten Andi Azis, di Ambon,
pada tanggal 24 April 1950 malam hari, Mr.Dr.Ch.R.S.Soumokil (Menteri Kehakiman
NIT) dan golongan militer (KNIL) mendesak Manoehoeto dan Wairisal untuk
memproklamasikan Republik Maluku Selatan (RMS) yang merdeka, dan sekaligus
mengumumkan susunan pemerintahan Republik Maluku Selatan. Pada tanggal 3 Nopember
1950, Kota Ambon dapat dikuasai kembali oleh Pemerintah RI.
Menyusul kejadian gelombang demonstrasi yang melanda Kota Makassar, dimana
rakyat minta supaya Negara Indonesia Timur dibubarkan dan seluruh Sulawesi
Selatan dimasukkan kedalam wilayah Republik Indonesia Kesatuan yang berpusat di
Yogyakarta, maka pada tanggal 25 April 1950, Andi Idjo mengambil alih Hadat
Tinggi sebagai pejabat Ketua, dan esok harinya pada tanggal 26 April 1950
pemerintah daerah Sulawesi Selatan melalui Ketua Adat Tinggi Andi Idjo, Raja
Gowa, menyatakan daerah Sulawesi Selatan melepaskan diri dari ikatan
ketatanegaraan NIT dan menggabungkan diri kepada RI yang beribukotakan
Yogyakarta. Pemeritahan Hadat tinggi di Sulawesi Selatan dirubah, DPRD nya
direorganisir dengan menambah anggota dari unsur pejuang. Dalam salah satu
sidang DPRD Sulawesi Selatan dan Tenggara dibawah pimpinan Ketua Andi
Burhanuddin, seorang Republiken mengajukan mosi yang diberi nama “Mosi
Massiara”, yang menghendaki dilaksanakannya secara de facto dan de yure
Undang-undang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah RI Nomor 22 Tahun 1948 di daerah
Sulawesi Selatan dan Tenggara yang tadinya terdiri atas 7 daerah yang disebut
Afdeling. Di seluruh daerah di Sulawesi Selatan dibentuk Komite nasional
Indonesia (KNI), dimana Raja-raja diganti dengan pemerintahan sipil sesuai
Undang-undang Pokok Pemerintahan Daerah Nomor 22 Tahun 1948.
Kemudian disusul pula Perdana Menteri NIT Ir.P.D.Diapari mengundurkan diri
karena tidak menyetujui tindakan Kapten Andi Azis yang diikuti mosi Popella
yang diajukan dalam Sidang Badan Perwakilan Rakyat. Untuk menggantikan
Ir.P.D.Diapari, pada tanggal 8 Mei 1950 disusunlah Kabinet Ir.Poetoehena yang
pro republik, yang dilantik pada tanggal 10 Mei 1950.
Pada tanggal 15 Mei 1950 Presiden RIS Ir.Soekarno berkunjung ke Makassar untuk
memulai lawatannya ke Sulawesi, terjadi peristiwa penurunan bendera merah putih
yang dilakukan oleh pasukan KNIL disekitar Kampemen tempat tinggal anggota
KNIL, yang memicu perang dalam kota Makassar antara pasukan KNIL dan pasukan
APRIS yang didukung oleh rakyat dan pasukan pejuang Batalyon Lipang Bajeng dan
Harimau Indonesia dari Polobangkeng dan Pallangga.
Pada tanggal 18 Mei 1950 diadakan perundingan antara wakil dari APRIS yaitu
Overste Sentot Iskandardinata dan Kapten Leo Lopolisa berunding dengan wakil
dari KNIL yaitu Kolonel Scotborg, Overste Musch dan Overste Theyman yang
disaksikan oleh Kolonel A.H. Nasution serta Kolonel Pereira. Dalam persetujuaan
itu ditetapkan garis demarkasi dalam jarak 50 meter, yaitu jalan jalan di
perempatan Jalan Batuputih ke timur dan Jalan Lagaligo samping rumah Andi
Mappanyukki Raja Bone ke barat sampai ke pantai. Sebelah utara garis demarkasi
dikuasai pasukan APRIS dan di selatan garis demarkasi dikuasai pasukan KNIL,
sedang Gedung Mulo ditempati pasukan Brawijaya. Di depan Gedung Mulo terdapat
Rumah Makan Tasmin, milik Haji Tasmin ditempati berkumpul pasukan pejuang dan
pasukan APRIS.
Sesudah kota Makassar dapat dikuasai oleh APRIS dan mengamankan sisa-sisa
pasukan Kapten Andi Azis, khususnya pasukan KNIL yang berasal dari Ambon, maka
pada tanggal 26 Juli 1950 KNIL dibubarkan, yang buat sementara eks KNIL
tersebut dimasukkan kedalam Angkatan Perang Belanda atau Koninklijke Landmacht
(KL) sambil menunggu pengembalian mereka ketempat asal masing-masing.
Pemberontakan dibawah pimpinan Andi Azis di Makassar dapat di tumpas seluruhnya
dan berakhir pada tanggal 8 Agustus 1950. Dalam awal bulan itu juga Presiden
Soekarno berkunjung ke Makassar, dimana situasi keamanan Kota Makassar masih dalam
keadaan meruncing antara pasukan APRIS dengan ex KNIL yang menunggu pemulangan.
Sewaktu Presiden Soekarno meniggalkan Lapangan Udara Mandai menuju kota
Makassar, di tengah jalan beliau ditembak dengan dua buah mortir dan meledak
dikiri kanan jalan yang beliau lalui.
Konperensi segitiga antara Republik Indonesia, Indonesia Timur dan Sumatera
Timur yang dilaksanakan sejak tanggal 8 April 1950, dan pada tanggal 8 Mei 1950
Perdana Menteri RIS Muhammad Hatta menegaskan bahwa Republik Indonesia Serikat
menuju kearah Negara Kesatuan, dan selanjutnya pada hari Jumat tanggal 19 Mei
1950 di Jakarta tercapailah persetujuan antara RI dan RIS untuk membentuk
Negara Kesatuan yang ditandai dengan penandatanganan Piagam Persetujuan
Pemerintah Republik Indonesia Serikat dan Pemerintah Republik Indonesia untuk
bersama-sama melaksanakan Negara Kesatuan sebagai jelmaan dari Republik
Indonesia berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945. Pelaksanaan Negara Kesatuan
tersebut berdasar atas:
·
Ke dalam :
menyempurnakan penghidupan rakyat dan persatuan Bangsa Indonesia.
·
Ke Luar : memelihara
hubungan baik dengan negara-negara lain.
Sesudah penandatangan Pengumuman yang ditandatangani oleh Mohammad Hatta
sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia Serikat dan A.Halim sebagai Perdana
Menteri Republik Indonesia, dilanjutkan pada hari itu juga penandatanganan
Piagam Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia Serikat dan Pemerintah
Republik Indonesia. Dalam Piagam Persetujuan tanggal 19 Mei 1950, Sub II A.4,
ditentukan bahwa “Sebelum diadakan perundang-undangan kesatuan, maka
Undang-undang dan Peraturan-peraturan yang ada tetap berlaku, akan tetapi
dimana mungkin diusahakan supaya perundang-undangan Republik Indonesia
berlaku." Dengan ketentuan ini, maka Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang
Pokok Pemerintahan Daerah, yang dikeluarkan Pemerintah Republik Indonesia sudah
dapat diberlakukan di seluruh kepulauan Indonesia.
Sebagai pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 yang berhubungan
dengan DPRD, pada tanggal 19 Juni 1950 Pemerintah RI mengeluarkan Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1950 tentang Pemilihan Anggota DPRD Propinsi dan Daerah-daerah
didalam lingkungannya. Undang-undang ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 36 Tahun 1950. Selanjutnya Pemerintah RI mengeluarkan lagi
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1950 tentang Pembentukan DPRD Sementara dan
Dewan Pemerintahnya di Jawa dan Madura. Tetapi sebelum peraturan pemerintah ini
dijalankan dicabut lagi dan diganti dengan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1950 Pembentukan DPRD sementara dan Dewan
Pemerintahannya, yang diganti lagi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun
1950 tentang Pembentukan DPRD Sementara dan Dewan Pemerintahnya. Dikeluarkannya
Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1950, dimungkinkan segera dibentuk
pemerintah daerah bagi propinsi, kabupaten, kota besar, dan kota kecil (Jawa,
Sumatera, dan Kalimantan) yang mulai berdiri pada tanggal 15 Agutus 1950.
Selanjutnya, pada tanggal 20 Juli 1950 dibuat pernyataan bersama antara
Pemerintah Republik Indonesia Serikat dan Pemerintah Republik Indonesia, yang
isinya menyetujui rencana Undang-undang Dasar Sementara Negara Kesatuan
Republik Indonesia untuk disahkan, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah
harus terbentuk sebelum tanggal 17 Agustus 1950. Berdasarkan hal tersebut, oleh
Pemerintah Republik Indonesia Serikat di Jakarta mengeluarkan Peraturan
Pemerintah RIS Nomor 21 Tahun 1950 tanggal 14 Agustus 1950 (LN-RIS Tahun 1950
Nomor 59; TLN Nomor 40), dimana wilayah Negara Indonesia dibagi dalam 10 daerah
propinsi administratif, yaitu.
a.
Jawa Barat
b.
Jawa Tengah
c.
Jawa Timur
d.
Sumatera Utara
e.
Sumatera Tengah
f.
Sumatera Selatan
g.
Kalimantan
h.
Sulawesi
i.
Maluku
j.
Sunda Kecil.
Pembagian dalam 10 propinsi berdasarkan keputusan bersama antara Pemerintah RIS
dan Pemerintah RI. Pembagian ini mulai belaku pada saat terbentuknya Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Negara Indonesia Timur yang sebelumnya terdiri
dari 13 Daerah otonom, wilayahnya dibagi menjadi 3 (tiga) propinsi, yaitu:
a.
Propinsi Sulawesi,
dibawah pimpinan Residen B.W.Lapian.
b.
Propinsi Sunda Kecil,
dibawah pimpinan Residen I Goesti Bagoes Oke.
c.
Propinsi Maluku,
dibawah pimpinan Administrator P.T.Mantouw.
Dalam rangka mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, telah dibentuk
Panitia Bersama RI – RIS yang terdiri dari 12 orang, untuk mengadakan perubahan
Konstitusi Republik Indonesia Serikat menjadi Rancangan Undang-undang Dasar
Sementara Republik Indonesia, dimana kata-kata yang berhubungan dengan federasi
diganti, disesuaikan dengan Negara Kesatuan serta perubahan kecil lainnya. Pada
tanggal 15 Agustus 1950 Undang-undang Sementara Republik Indonesia Nomor 7
Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat
menjadi Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia, disahkan pada tanggal
15 Agustus 1950 dan diumumkan dalam Lembaran Negara Nomor 56 Tahun 1950; TLN
Nomor 37. Seusai pengesahan Undang-undang Dasar Sementara RI, dihadapan Sidang
DPRS dan Senat bertempat di Jakarta, Presiden Soekarno memproklamasikan
terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang meliputi seluruh wilayah
Indonesia.
Sore harinya Presiden Soekarno langsung menuju ke Yogyakarta untuk membubarkan
Negara Republik Indonesia yang berkedudukan di Yogyakarta dalam suatu upacara.
Setelah itu, pada hari yang sama, Presiden Soekarno kembali ke Jakarta. Setiba
di Jakarta, Perdana Menteri RIS Drs.Mohammad Hatta menyampaikan pengunduran
dirinya sebagai Perdana Menteri kepada Presiden Soekarno. Selanjutnya pada esok
harinya tanggal 16 Agustus 1950 Presiden Soekarno melantik Dewan Perwakilan
Rakyat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang baru.
Pada hari yang sama, tanggal 16 Agustus 1950, di Makassar, Perdana Menteri
Ir.J.Poetoehena meletakkan jabatan dan sekaligus kabinetnya bubar dengan
sendirinya. Kabinet Ir.J.Potoehena hanya berjalan selama 3 bulan 6 hari. Pada
hari itu juga Badan Perwakilan Rakyat Negara Indonesia Timur dinyatakan bubar.
Sampai dengan dibubarkannya Negara Indonesia Timur dengan Ibukotanya Makassar,
jumlah partai politik yang didirikan di Makassar adalah 37 organisasi politik,
dan susunan kabinet yang dibentuk sebanyak 8 (delapan).
Untuk keseragaman pemerintahan Daerah otonom diseluruh Indonesia, keluar
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1950 yang menyatakan bahwa Undang-undang yang
mengatur tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah yang telah dikeluarkan di
Yogyakarta, dikenal Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948, diberlakukan untuk
seluruh Indonesia. Dimana pada waktu, di daerah-daerah berlaku bermacam-macam
peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pemerintahan Daerah.
Jumlah peraturan perundang-undangan pada waktu ada 11 buah termasuk
penyelenggaraan pemerintahan desa di Jawa dan luar Jawa.
Untuk menjalankan pemerintahan di daerah-daerah otonom di Sulawesi, Maluku, dan
Sunda Kecil (Nusa Tenggara) yang dulunya tergabung dalam Negara Indonesia Timur
tetap bekerja terus atas dasar Undang-undang Negara Indonesia Timur Nomor 44
Tahun 1950, sedang Kotapraja Makassar mengikuti SGOB tahun 1938.
E. NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
Dengan berlakunya Undang-undang Dasar Sementara (UUDS) Republik Indonesia Nomor
7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat
menjadi Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia, disahkan pada tanggal
15 Agustus 1950 dan diumumkan dalam Lembaran Negara Nomor 56 Tahun 1950; TLN
Nomor 37, maka Republik Indonesia Serikat kembali menjadi Negara Kesatuan
Republik Indonesia terhitung mulai tanggal 17 Agustus 1950 bertepatan dengan
hari ulang tahun proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang kelima.
Berdasarkan UUDS itu pula, maka "Peraturan Pembentukan Negara Indonesia
Timur" yang dimuat dalam Lembaran Negara Hindia Belanda 1946 Nomor 143,
dihapuskan. Dalam pidato Presiden Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1950
bertempat di Istana Negara Jakarta menyatakan "...hari ini 17 Agustus 1950
berdirilah kita sudah atas bumi Negara Kesatuan itu, yang tidak mengenal
negara-bagian dan tidak mengenal R.I.S, melainkan hanya mengenal satu Republik
saja, dengan satu daerahnya, satu Undang-undang dasarnya, satu
pemerintahannya....".
Mulai pada saat itu Negara Indonesia Serikat yang dibentuk sejak tanggal 27
Desember 1949, sebagai hasil dari Konperensi Meja Bundar (KMB), dinyatakan
bubar. Dalam kurun waktu tersebut, selama 7½ bulan, jumlah Undang-undang yang
dikeluarkan oleh Pemerintah RI adalah 36 buah, Peraturan Pemerintah 24 buah,
dan Penetapan Presiden 395 buah.
Berbeda dengan Konstitusi RIS, maka dalam Undang-undang Dasar Sementara RI
sudah diatur tentang Pemerintahan Daerah dan Daerah-daerah Swapraja. Dalam
Pasal 131 Ayat (1) disebutkan “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan
kecil yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri (autonoom), dengan bentuk
susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang, dengan memandang dan
mengingati dasar permusyawaratan dan dasar perwakilan dalam sistem pemerintahan
negara.” Kemudian dalam Ayat (2) “Kepada daerah-daerah diberikan outonomi
seluas-luasnya untuk mengurus rumah tangganya.” Selanjutnya dalam Ayat (3)
“Dengan Undang-undang dapat diserahkan penyelenggaraan tugas tugas kepada
daerah-daerah yang tidak termasuk dalam urusan rumah tangganya”. Dengan
demikian, maka pemerintahan daerah yang mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri dijalankan atas dasar hak otonomi dan hak medebewind, sebagaimana juga
yang tercermin dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Daerah.
Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa Piagam Persetujuan tanggal 19 Mei 1950, Sub
II A.4, ditentukan “Sebelum diadakan perundang-undangan kesatuan, maka
Undang-undang dan Peraturan-peraturan yang ada tetap berlaku, akan tetapi
dimana mungkin diusahakan supaya perundang-undangan Republik Indonesia berlaku.",
Dengan ketentuan ini, maka Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok
Pemerintahan Daerah yang dikeluarkan Pemerintah Republik Indonesia sudah dapat
diberlakukan di seluruh kepulauan Indonesia. Akan tetapi untuk bekas wilayah
Negara Indonesia Timur masih tetap mengikuti Undang-undang NIT Nomor 44 Tahun
1950 berhubung dengan Pasal 142 Undang-undang Dasar Sementara yang dinyatakan
bahwa “Peraturan-peraturan Undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha
yang sudah ada pada tanggal 17 Agustus 1950 tetap berlaku dengan tidak berubah
sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan Republik Indonesia sendiri,
selama dan sekedar peraturan-peraturan dan ketentuan itu tidak dicabut,
ditambah, atau diubah oleh Undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha
atas kuasa Undang-undang Dasar ini”.
Sedang Kota Makassar mempedomani 2 peraturan yaitu Undang-undang Nomor 22 Tahun
1948 dan Staatsblad 1938 Nomor 131. Hal ini mengingat Kota Makassar tidak
termasuk dalam 13 Daerah yang dibentuk Negara Indonesia Timur berdasarkan
Staasblad 1946 Nomor 143. Dimana Sekretariat Daerah Kotapraja Makassar masih
tetap menuruti pola organisasi berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam SGOB 1938.
Hal ini berlangsung hingga awal tahun 1957.
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah RI Nomor 39 Tahun 1950 tentang Pembentukan
DPRD Sementara dan Dewan Pemerintahnya yang mulai berlaku pada tanggal 15
Agustus 1950, menimbulkan mosi Hadikusmo yang isinya menentang Peraturan
Pemerintah Nomor 39 Tahun 1950 yang dianggap tidak demokratis. Mosi itu diajukan
ke Parlemen pada tanggal 21 Januari 1951. Dengan adanya mosi itu, keluar
Instruksi Menteri Dalam Negeri Negara Kesatuan tanggal 30 April 1951 Nomor
Des.1/9/25, yang menyatakan bahwa DPRDS-DPRDS yang telah terbentuk menurut
Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1950 tetap melanjutkan tugasnya sampai masa
sidangnya berkahir, yaitu pada tanggal 15 Juli 1955 (lihat pasal 3 UU RI Nomor
22 Tahun 1948). Namun masa sidang tersebut diperpanjang hingga tanggal 1 Juli
1956 melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1956.
Daerah-daerah yang telah dibentuk baru berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun
1948, meliputi Jawa, Sumatera, dan Kalimantan, yang didalam undang-undang
pembentukannya diserahkan pula urusan-urusan yang menjadi kewajiban Daerah.
Jumlah urusan yang diserahkan ke Propinsi ada 15 urusan, dan Kabupaten 14
urusan. Akan tetapi mulai bulan Juli 1951 sampai tahun 1954 baru ada delapan 8
(delapan) urusan yang diserahkan secara nyata dengan peraturan pemerintah,
yaitu:
1.
Urusan Pertanian
(tahun 1951),
2.
Urusan Kehewanan
(tahun 1951),
3.
Urusan Perikanan
Darat (tahun 1951),
4.
Urusan Pendidikan,
Pengajaran dan Kebudayaan (tahun 1951),
5.
Urusan Sosial (tahun
1952),
6.
Urusan Kesehatan
(tahun 1952),
7.
Urusan Pekerjaan Umum
(tahun 1953),
8.
Urusan Perindustrian
(tahun 1954).
Penyerahan urusan-urusan untuk menjadi urusan rumah tangga Daerah Kabupaten,
Kota Besar, Kota Kecil dapat dilakukan dengan secara langsung oleh Pemerintah
atau secara bertingkat oleh Propinsi. Urusan yang diserahkan pada saat
pembentukan suatu Daerah dan ditetapkan didalam undang-undang pembentukan
daerah yang bersangkutan, disebut “Urusan Pangkal”, sedang urusan yang
diserahkan kemudian, sesuai dengan peningkatan kemampuan, perkembangan keadaan
dan kebutuhan masing-masing Daerah, disebut “Urusan Tambahan”.
Adapun Daerah-daerah yang dibentuk baru di wilayah bekas Negara Indonesia Timur
sampai dengan berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 ada 29 Daerah dengan
menghapuskan 7 Daerah. Berbeda dengan Daerah-daerah di Jawa, Sumatera, dan
Kalimantan yang pembentukannya dilakukan dengan undang-undang, maka pembentukan
Daerah-daerah di wilayah bekas Negara Indonesia Timur hanya dilakukan melalui
Peraturan Pemerintah. Mengenai pembentukan daerah-daerah otonom di wilayah
bekas NIT, beberapa kalangan mempertanyakan, termasuk pejabat-pejabat
pemerintah dan anggota DPRD di Makassar. Barulah pada tahun 1957 dilakukan
dengan Undang-undang (Darurat). Hal ini karena mendasarkan kepada Undang-undang
Dasar Sementara RI Pasal 98 Ayat (1) disebutkan “Peraturan-peraturan
penyelenggara Undang-undang ditetapkan oleh Pemerintah. Namanya ialah Peraturan
Pemerintah.”, dan dalam Pasal 142 “Peraturan-peraturan Undang-undang dan
ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada pada tanggal 17 Agustus 1950
tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan
ketentuan-ketentuan Republik Indonesia sendiri, selama dan sekedar
peraturan-peraturan dan ketentuan itu tidak dicabut, ditambah, atau diubah oleh
Undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa Undang-undang Dasar
ini.”
Dengan demikian Daerah-daerah yang dibentuk baru, tetap berdasar atau
berpedoman pada Undang-undang Negara Indonesia Timur (NIT) Nomor 44 Tahun 1950,
dan tingkatannya disamakan dengan daerah otonom yang dibentuk berdasarkan
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948.
Pada setiap Daerah yang dibentuk di wilayah bekas NIT diserahkan langsung
urusan rumah-tangga dan kewajiban-kewajibannya sebagaimana dimaksud pasal 18
dan 19 Undang-undang NIT Nomor 44 Tahun 1950, dan dijalankan menurut petunjuk
dari Menteri Dalam Negeri dan Pemerintah Pusat. Disamping itu, Pemerintah
Daerah tetap berhak mengadakan pajak dan retribusi Daerah yang lazim diadakan
sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-undang Nomor 44 Tahun
1950. Adapun urusan-urusan yang diserahkan kepada masing-masing Daerah yang
dibentuk berdasarkan Undang-undang NIT Nomor 44 Tahun 1950, adalah:
1.
Urusan umum (tata
usaha).
2.
Urusan pemerintahan
umum.
3.
Urusan pengairan,
jalan-jalan dan gedung-gedung.
4.
Urusan pertanian,
perikanan, dan kehutanan.
5.
Urusan kehewanan.
6.
Urusan pendidikan,
pengajaran dan kebudayaan.
7.
Urusan kesehatan.
Untuk mencukupi pembiayaan dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan
penyerahan tugas-tugas pemerintah dalam rangka hak medebewind (tugas
pembantuan), maka kepada daerah-daerah termasuk Daerah Swapraja diserahkan
Pajak-Pajak Negara, yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1951, yaitu:
1.
Pajak Radio Diatur
dalam Undang-undang Pajak Radio (Undang-undang Nomor 12 Tahun 1947, setelah
diubah dan ditambah dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 1948).
2.
Pajak Pembangunan
Diatur dalam Undang-undang tentang Pajak Pembangunan I (Undang-undang Nomor 14
Tahun 1947 setelah diubah dan ditambah dalam Undang-undang 20 Tahun 1948).
3.
Pajak Peredaran
Undang-undang Darurat Nomor 12 Tahun 1950 (LN Nomor 19 Tahun 1950).
4.
Pajak Peralihan
Diatur dalam Ordonnantie op de Overgangbelasting 1944 (Staatsblad 1944 Nomor
17, terakhir dirubah dalam Lembaran Negara Nomor 84 Tahun 1953).
5.
Pajak Upah
Diatur dalam Ordonnantie op de Loonbelasting (Staatsblad 1934 Nomor 611 setelah
diubah dalam Staatsblad 1949 Nomor 342, terakhir dalam Lembaran Negara Nomor 87
Tahun 1952).
6.
Pajak Rumah Tangga
Diatur dalam Ordonnantie op de Personeele Belasting 1908 (Staatsblad 1908 Nomor
13 setelah diubah dalam Staatsblad 1949 Nomor 316 terakhir dalam Lembaran
Negara Nomor 5 Tahun 1953).
7.
Pajak Kendaraan
Bermotor
Diatur dalam Ordonnatie op de Motorvoertuigenbelasting 1934 (Staatsblad 1934
Nomor 718 setelah diubah dan ditambah dalam Staatsblad 1949 Nomor 376).
8.
Pajak (Bea) Balik
Nama
Diatur dalam Ordonnantie op het Recht ven Overschrijving (Staatsblad 1924 Nomor
291 setelah diubah dan ditambah terakhir dalam Staatsblad 1949 Nomor 48).
9.
Pajak Potong
Diatur dalam Ordonnantie op het Slachtbelasting 1936 (Staatsblad 1936 Nomor 671
setelah diubah dan ditambah dalam Staatsblad 1938 Nomor 165, Staatsblad 1938
Nomor 174 dan terakhir Staatsblad 1949 Nomor 317).
10.
Pajak (Bea) Materai
Diatur dalam Zegelverordening 1921 (Staatsblad 1921 Nomor 498, setelah ditambah
dan diubah dalam Staatsblad 1949 Nomor 251 terakhir dalam Lembaran Negara Nomor
47 Tahun 1956).
11.
Pajak Successie
Diatur dalam Successie-ordonnantie 1901 (Staatsblad 1901 Nomor 471, setelah
ditambah dan diubah terakhir dalam Staatsblad 1949 Nomor 48).
12.
Pajak kekayaan
Diatur dalam Ordonnantie de Vermogensbelasting 1932 (Staatsblad 1932 Nomor 405
setelah diubah dalam Staatsblad 1947 Nomor 24 terakhir dalam Lembaran Negara
Nomor 87 Tahun 1952.
Disamping penyerahan pajak Negara kepada Daerah tersebut, ditetapkan juga
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1951 tanggal 29 Agustus 1951 tentang Penggantian
Pajak Bumi dengan Pajak Peralihan 1944 (Diundangkan pada tanggal 17 September
1951 dalam LN Nomor Tahun 1951), mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1952.
Undang-undang ini dikeluarkan berkaitan dengan berbagai-bagai ordonansi serta
peraturan-peraturan Daerah dari berbagai Daerah di Indonesia yang mengatur
tentang pajak bumi (landrente), antara lain di Sulawesi, yaitu:
a.
de
Celebeslandrente-ordonantie 1939 (Staatsblad Nomor 242).
b.
Zelfbestuurs-landrente
verordening Celebes 1939 yang ditetapkan oleh Kepala-kepala Swapraja:
·
Gowa (Keputusan
tanggal 20 Nopember 1939 Nomor 49).
·
Barru, Tanete dan
Soppeng Riaja (Keputusan tanggal 10 Nopember 1939 Nomor 47/ZB).
·
Suppa dan Mallusetasi
(Keputusan tanggal 13 Oktober 1939 Nomor 97/ZB).
·
Rappang-Sidenreng
(Keputusan tanggal 14 Oktober 1939 Nomor 39/H.2).
·
Sawitto, Batulappa
dan Kassa (Keputusan tanggal 19 Oktober 1939 Nomor 59/ZB).
·
Soppeng (Keputusan
tanggal 3 Nopember 1939 Nomor 83/H.2).
·
Wajo (Keputusan
tanggal 23 Oktober 1939 Nomor 100/H.2).
·
Bone (Keputusan
tanggal 24 Oktober 1939 Nomor 149/H.2).
Dengan berlakunya Undang-undang Pajak Peralihan 1944 sebagai mana angka 4
tersebut di atas, maka ordonansi-ordonansi dan peraturan-peraturan yang telah
dijalankan dinyatakan dicabut termasuk Undang-undang Nomor 1 Tahun 1949.
Setelah dibentuk daerah-daerah otonom di Jawa dan Sumatera, menyusul dalam
tahun 1951 diadakan persiapan-persiapan pembentukan daerah-daerah di Sulawesi.
Baru saja dilakukan persiapan-persiapan itu, terjadi peristiwa pemberontakan
yang dilakukan oleh Overste (Letnan Kolonen) Kahar Muzakkar pada tanggal 17
Agustus 1951, yaitu ketika Kahar Muzakkar menyalahi janji yang diberikan oleh
Panglima Territorium VII, pada waktu itu 4 batalyon Kahar Muzakkar yang akan
dilantik di Enrekang meninggalkan kesatuannya masuk kedalam hutan dan
bergerilya bersama dengan pasukannya. Selanjutnya pada tanggal 7 Agustus 1953,
Kahar Muzakkar mendirikan Darul Islam - Tentara Islam Indonesia (DI-TII), dan
menguasai beberapa kampung disekitar Enrekang termasuk Wajo, dan Luwu bagian
selatan, yang menimbulkan kekacauan keamanan dan mengganggu sistem perekonomian
di Sulawesi Selatan. Atas peristiwa itu Pemerintah RI menjadikan daerah Sulawesi
Selatan sebagai daerah S.O. (Staat van Oorlog). Disamping itu, Tentara Keamanan
Rakyat (TKR) yang sebelumnya tergabung dalam KGSS dan CTN juga mulai bergerilya
dan membentuk kesatuan-kesatuan tersendiri. Namun kemudian pada tahun 1952
pasukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) kembali melaporkan diri kepada TNI untuk
selanjutnya dilantik menjadi TNI pada tanggal 11-14 April 1952. Menyusul
kemudian sisa-sisa pasukan TKR yang masih ada di hutan, diresmikan dan masuk
kedalam Resimen Induk 23 (RI-23) di Pare-Pare pada tahun 1956, dan mendapat
pendidikan militer di Suppa. Selanjutnya pasukan eks TKR di RI-23 dilebur
kedalam Batalyon Artileri Gunung-I (GG-I) di Jongaya, Gowa.
Peraturan Pemerintah RI Nomor 56 Tahun 1951 yang mengatur tentang Pembekuan
DPRD dan DPD di Sulawesi Selatan, dimana untuk sementara waktu tugas serta
kewajiban Dewan dijalankan oleh Gubernur dan dibantu oleh satu Badan Penasehat
Gubernur sesuai Instruksi Menteri Dalam Negeri dalam surat keputusannya tanggal
22 September 1951 Nomor Des.1/14/4. Berdasarkan usul Badan Penasehat Gubernur
Sulawesi tentang pembagian wilayah Daerah Sulawesi Selatan menjadi 7 (tujuh)
Daerah, maka dikeluarkanlah Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Nomor 618 tanggal
29 Oktober 1951. Dalam Surat Keputusan ditetapkan batas-batas daerah yang akan
dibentuk baru, disamping itu merubah istilah afdeeling menjadi daerah dan
merubah nama Buton/Laiwui menjadi Sulawesi Tenggara. Batas-batas daerah yang
ditetapkan terhadap ketujuh daerah itu mengikuti Penetapan Gubernur Timur Besar
dulu tanggal 24 Pebruari 1940 Nomor 21 (Bijblad Nomor 14377) jo. Surat
Ketetapan Menteri Urusan Dalam Negeri Indonesia Timur Nomor UPU 1/1/1945
tanggal 19 Januari 1950 dan Nomor UPU 1/6/23 tanggal 20 Maret 1950.
Berdasarkan hal tersebut ditetapkanlah Peraturan Pemerintah RI Nomor 34 Tahun
1952 tanggal 12 Agustus 1952 tentang Pembubaran Daerah Sulawesi Selatan dan
Pembagian Wilayahnya dalam Daerah-daerah Swatantra (LN Tahun 1952 Nomor 48, TLN
263). Daerah-daerah swatantra yang dibentuk baru itu, adalah:
1.
Makassar,
2.
Bonthain,
3.
Bone,
4.
Pare-pare,
5.
Mandar,
6.
Luwu, dan
7.
Sulawesi Tenggara.
Selain pembentukan Daerah-daerah di Sulawesi Selatan, juga dalam tahun 1952
Pemerintah RI membentuk baru daerah-daerah di wilayah bekas Negara Indonesia
Timur sebagai pembentukan fase pertama, meliputi:
1.
Daerah Sulawesi
Tengah yang merupakan federasi swapraja-swapraja dibentuk menjadi Daerah
Donggala dan Daerah Poso (PP Nomor 33 Tahun 1952);
2.
Daerah Maluku Selatan
yang merupakan federasi neo neo-landschappen dibentuk menjadi Daerah Maluku
Tengah, Daerah Maluku Tenggara (PP Nomor 35 Tahun 1952);
Dalam pembentukan daerah-daerah di wilayah Sulawesi Tengah dan wilayah Sulawesi
Selatan, muncul istilah baru yaitu “daerah swantantra” yang berarti sama dengan
daerah otonom.
Daerah-daerah yang dibentuk baru itu adalah Daerah yang berhak mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri yang sama tingkatannya dengan Kabupaten yang
dibentuk berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1948, dan
menjalankan pemerintahan Daerah menurut Undang-undang NIT Nomor 44 Tahun 1950.
Dengan keluarnya Peraturan Pemerintah RI Nomor 34 Tahun 1952 tanggal 12 Agustus
1952 tentang Pembubaran Daerah Sulawesi Selatan dan Pembagian wilayahnya dalam
Daerah-daerah Swatantra, maka Daerah Sulawesi Selatan yang dibentuk melalui
Peraturan Pembentukan Gabungan Sulawesi Selatan tertanggal 18 Oktober 1948 dan
disahkan oleh Residen Sulawesi Selatan tanggal 12 Nopember 1948 dibubarkan.
Selanjutnya Peraturan Pemerintah RI Nomor 56 Tahun 1951 dan Keputusan Menteri
Dalam Negeri RI tanggal 22 September 1951 Nomor Des.1/14/4 ditarik kembali dan
dicabut.
Daerah Swatantra Makassar yang dibentuk dalam Peraturan Pemerintah itu,
wilayahnya meliputi Swapraja Gowa, Maros-Pangkajene, dan Jeneponto-Takalar,
kecuali Daerah Kota Makassar dan Pulau-pulau Lae-lae, Samalona dan Moreaux
(Pulau Kayangan). Tempat kedudukan pemerintahan Daerah Makassar adalah di
Sungguminasa. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Makassar ditetapkan sebanyak 35
orang. Susunan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tersebut diralat oleh Pemerintah
Pusat yang dicantumkan dalam Tambahan Lembaran Negara Nomor 263a, yang isinya
adalah "Menteri Dalam Negeri akan mengadakan "understanding"
lebih dulu dengan Kabinet dalam menetapkan susunan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah tersebut”.
Mengenai Pegawai Daerah Sulawesi Selatan, terdiri dari pegawai Pemerintah Pusat
diperbantukan kepada Daerah dan pegawai yang diangkat oleh Pemerintah Daerah
(Pegawai Daerah). Pegawai Pemerintah Pusat dibebaskan dari perbantuannya
berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sulawesi tanggal 4 Agustus 1951 Nomor 417,
dan untuk pegawai Daerah Sulawesi Selatan yang diangkat oleh Pemerintah Daerah
akan dibagi-bagikan kepada 7 Daerah Swantantra yang baru dibentuk.
Untuk Kotapraja Makassar, dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun
1948 di seluruh Negara Republik Indonesia, maka terhitung tanggal 1 Januari
1952, Kota Makassar berobah namanya menjadi Kota Besar Makassar (KBM), sehingga
sebutan untuk Kepala pemerintah Makassar disebut Walikota Kepala Daerah Kota
Besar Makassar. Dalam bulan Januari 1952 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
Sementara dan Dewan Pemerintah Daerah (DPD) Kota Besar Makassar dibentuk,
dimana tiap-tiap partai yang ada menunjuk anggotanya masing-masing. Dengan
terbentuknya DPRD sementara Kota Besar Makassar, menyusul dalam bulan itu juga
Sampara Dg.Lili digantikan oleh Ahmad Dara Sjahruddin menjadi Walikota Makassar
dan sekaligus sebagai Ketua DPD. Sedang yang menjadi Ketua DPRD adalah Sayat
Dg.Patunru bekas Kepala Distrik Makassar, dan Wakil Ketua adalah M.Hermanses
Towoliu.
Setelah DPRD dibentuk, timbul pertanyaan dikalangan masyarakat terutama Anggota
DPRD mengenai status Kota Makassar, mengingat Kota Makassar yang statusnya
sebagai Kota Haminte tidak sejati (Neo Haminte) yang dibentuk berdasarkan
Staatsblad Indonesia Timur Tahun 1949 Nomor 3 tidak termasuk dalam 13 Daerah
bekas Negara Indonesia Timur. Apakah mengikuti Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 22 Tahun 1948 atau Undang-undang Negara Indonesia Timur (NIT) Nomor 44
Tahun 1950. Adanya hal tersebut oleh Menteri Dalam Negeri RI memberitahukan bahwa
Kota Makassar tetap berstatus dan berpedoman kepada Staatsblad 1938 Nomor 131.
Sejak dibentuknya propinsi-propinsi pada tahun 1950 dan untuk mempercepat
terlaksananya otonomi daerah, barulah pada tahun 1952 Pemerintah Pusat dalam
hal ini Menteri Dalam Negeri menetapkan susunan anggaran sementara untuk
propinsi, setelah diadakan Konperensi Keuangan Keuangan Otonom di Jakarta pada
tanggal 19 sampai 21 Desember 1951, yang diikuti oleh utusan-utusan dari
seluruh propinsi. Sampai pada saat itu, Pemerintah juga belum mempunyai
anggaran yang ditetapkan melalui undang-undang, sehingga Parlemen belum dapat
menggunakan hak budgetnya sendiri. Dalam penyusunan anggaran daerah otonom yang
pelaksanaannya dimulai 1 Januari 1952, maka tetap mengikuti peraturan-peraturan
pokok yang lama antara lain:
a.
Provincie
ordonnantie;
b.
Begrootings-Rekenings
en Beheersvoorschriften voor de Propincien, Stadsgemeenten, Regentschappen en
Locale Ressorten (Staatsblad 1936 Nomor 432).
Dengan terbentuknya Propinsi, Kabupaten, dan Kota Besar, maka dalam rangka
mencukupi pembiayaan bagi daerah-daerah yang telah dibentuk itu, dan untuk
melaksanakan Program Kabinet Wilopo yang antara lain Menyelesaikan
penyeleggaraan dan mengisi otonomi Daerah, maka Presiden RI mengeluarkan
Undang-undang Darurat Nomor 4 Tahun 1952 tanggal 29 Juli 1952 tentang Penetapan
Berlakunya Undang-undang, Undang-undang Darurat dan Ordonansi-ordonansi
Mengenai Masalah-masalah Pajak, Dikeluarkan Sebelum Pembentukan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (Undang-undang Darurat Nomor 36 Tahun 1950), Diundangkan
pada tanggal 5 Agustus 1952 LN Nomor 43 Tahun 1952.
Pada sidang pertama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Besar Makassar,
beberapa peraturan daerah produk Hindia Belanda atau Negara Indonesia Timur,
khususnya sumber penerimaan diadakan perubahan dan tarifnya disesuaikan menurut
perkembangan. Adapun Peraturan Daerah Kota Makassar dibidang penerimaan Daerah
yang ditetapkan, antara lain:
1.
Peraturan Pemungutan
Leges untuk Kota Makassar tanggal 15 Oktober 1952, yang mencabut peraturan
pemungutan uang leges dalam Kotapraja Makassar tanggal 12 Agustus 1941,
diumumkan dalam Extra Bijvoegsel yang berisi Locale Verordeningen dan lain-lain
keputusan dari Locale Raden dan Gewestelijke Verordening tanggal 26 Agustus
1941 Nomor 4 (Javasche Courant Nomor 68).
2.
Peraturan tentang
pemungutan dan penagihan pajak yang bernama pajak izin minuman keras, tanggal
12 Januari 1953 Nomor 3/DPRD/1953 (Tambahan Berita Negara RI tanggal 11 Agustus
1953 Nomor 64), berlaku surut tanggal 1 Januari 1953, yang menarik peraturan
tanggal 15 Juni 1917, Verordening tot heffing en inverordening van een
belasting onder den naam van Vergunningarecht, diumumkan dalam Javasche Courant
tanggal 11 Desember 1917 Nomor 99 yang telah dirubah, terakhir dengan peraturan
tanggal 8 Mei 1948 Nomor 18/G6, diumumkan dalam Berita Resmi NIT tanggal 5
Nopember 1948 Nomor 31.
3.
Peraturan Pajak
Reklame Kota Makassar tanggal 5 Mei 1953 Nomor 12, diundangkan dalam Tambahan
Berita Negara Republik Indonesia tanggal 11 Agustus 1955 Nomor 14.
4.
Pemungutan Pajak
Pendaftaran Izin Perusahaan, tanggal 19 Oktober 1953 Nomor 99/DPRD, diundangkan
dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia tanggal 21 Juni 1955 Nomor 50.
Demikian juga Lambang Kota Makassar yang dibuat pada masa Hindia Belanda, dan
yang ditetapkan dalam Verordening tot vaststelling van het wapen der Gemeente
Makassar van 30 Juni 1931 afgekondigd in het E.B ddo, 10 Februari 1932 Nomor 7
(Javasche Courant Nomor 11) ditinjau kembali dan selanjutnya ditetapkan melalui
Peraturan Daerah Nomor 45/D.P.R.D tanggal 21 Desember 1953 (Tambahan Berita
Negara Nomor 16 Tahun 1955 tanggal 25 Pebruari 1955).
Setelah pembentukan Daerah Swatantra di Sulawesi Selatan, pada tahun 1953
bertempat di Gedung DPRD Sulawesi Selatan (Gedung Harmoni) Lanto Dg.Pasewang
dilantik menjadi Gubernur Sulawesi menggantikan B.W.Lapiang. Pada waktu
pelantikan itu, Lanto Dg.Pasewang sedang sakit dan tidak dapat berdiri sehingga
harus dibopong. Lanto Dg.Pasewang hanya memegang jabatan Gubernur selama 2
tahun kemudian pada tahun 1955 beliau digantikan oleh R.Winarno Danueatmodjo
sebagai Acting Gubernur. R.Winarno Danueatmodjo hanya memegang jabatan tersebut
selama dua bulan, ia kemudian digantikan lagi oleh Andi Burhanuddin sebagai
Acting Gubernur dan selanjutnya dalam tahun itu juga Andi Burhanuddin
digantikan oleh Andi Pangerang Petta Rani sebagai Gubernur Sulawesi yang
kemudian menjadi Gubernur Militer Sulawesi.
Propinsi Sulawesi Selatan yang sejak masa Hindia Belanda adalah pengekspor
terbesar hewan ternak (sapi, kerbau) dengan tujuan Kalimantan dan Jawa.
Pengiriman hewan ternak itu masing-masing dilakukan di daerah-daerah pesisir
pantai sebelah barat, terutama Majene, Polewali, Pinrang, dan Pare-Pare.
Pengiriman hewan ternak yang dilakukan di desa-desa hanya dilengkapi surat isin
dari Kepala Desa. Untuk menampung dan mencegah adanya penyakit hewan ternak
yang akan keluar dan masuk di Propinsi Sulawesi Selatan, dalam tahun 1953
dibangunlah Karantina Hewan di Jln.Kalimantan Nomor 145 Kampung Ujung Tanah di
atas tanah Eigendon Pervonding surat hak tanah tanggal 24 Maret 1891 Nomor 43
dengan luas 4.459 m2. Karantina Hewan ini dibangun atas biaya dari Kementerian
Dalam Negeri RI. Setiap hewan ternak yang akan keluar atau masuk melalui
pelabuhan Makassar harus diperiksa terlebih dahulu dan dikarantinakan ditempat
tersebut dengan dipungut biaya setiap hari. Biaya ini ditetapkan oleh Gubernur
Sulawesi Nomor 285 tanggal 27 Oktober 1953 menjadi sumber penerimaan Propinsi
Sulawesi Selatan. Mengingat perkembangan kota Makassar, maka dalam tahun 1984
diusulkan untuk memindahkan Karantina Hewan yang berlokasi di Jln.Kalimantan.
Memasuki tahun 1955, untuk pertama kalinya sejak kemerdekaan Indonesia,
diadakan persiapan Pemilihan Umum tahun 1955. Pelaksanaan Pemilihan umum ini
didasarkan pada Undang-undang Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Umum (LN
Tahun 1953 No.29). Oleh Panitia Pusat telah menetapkan tanggal pelaksanaannya
yaitu tanggal tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota DPR. Pemilihan
Umum ini diikuti ± 40 organisasi peserta yang hasilnya dimenangkan oleh 4
Partai yaitu: PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Kemudian pada tanggal 15 Desember 1955
dilaksanakan Pemilihan umum anggota Konstituante (Badan Pembentuk Undang-undang
Dasar). Setelah Pemilihan Umum, dibentuklah Kabinet Ali Sastroamidjoyo II pada
tanggal 24 Maret 1956, yang pada masa itu telah disusun rancangan Undang-undang
Pokok Pemerintahan Daerah menggantikan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 yang
disesuaikan dengan Undang-undang Dasar Sementara. Rancangan Undang-undang Pemerintahan
Daerah tersebut telah disampaikan sebelumnya yaitu dengan Amanat Presiden pada
tanggal 22 Januari 1954 Nomor 267/H.K/54 kemudian diperbaharui lagi dengan
Amanat Presiden pada tanggal 11 Juni 1956 Nomor 1715/H.K/56.
Peserta Pemilihan Umum yang dilaksanakan di Daerah Sulawesi Selatan diikuti ±
100 organisasi politik, termasuk partai politik yang didirikan oleh Andi
Pangerang Petta Rani. Sebagai hasil Pemilihan Umum yang diadakan di kota
Makassar dan terpilihnya anggota DPRD Kota Besar Makassar, maka Achmad Dara
Sjahruddin yang menjabat Wali Kota Kepala Daerah Kota Besar Makassar sejak
Januari 1952 digantikan oleh M.Yunus Dg.Mile pada tanggal 15 Mei 1956.
Setelah terbentuk daerah-daerah otonom diseluruh Indonesia (propinsi, Daerah
Istimewa Yogyakarta, Kotapraja Jakarta Raya, Kabupaten, Kota Besar, dan Kota
Kecil di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil), dan
telah diserahkan urusan rumah tangga, dan berbagai tugas dan kewajiban
Pemerintah Pusat untuk dijalankan, dimana pemerintahan daerah belum dapat
berjalan seperti diharapkan, terutama karena perimbangan keuangan antara Negara
dan daerah yang merupakan urat nadi untuk perkembangan daerah belum diatur,
maka dikeluarkanlah Undang-undang Nomor 32 Tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Negara dan Daerah-daerah yang Berhak Mengurus Rumah Tangganya Sendiri ,
disahkan dan diundangkan pada tanggal 31 Desember 1956 dalam Lembaran Negara
Nomor 77 Tahun 1956; Tambahan Lembaran Negara Nomor 1442. Peraturan perimbangan
keuangan itu masih disusun berdasarkan kepada Undang-undang Pokok Pemerintahan
Daerah Nomor 22 Tahun 1948, Undang-undang Pemerintahan Daerah Negara Indonesia
Timur Nomor 44 Tahun 1950, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1956, dan SGOB 1938
Nomor 131, berhubung Rancangan Undang-undang Pemerintahan Daerah baru beberapa
hari disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat hasil pemilihan umum 1955, yaitu
tanggal 14 Desember 1956. Undang-undang perimbangan keuangan antara negara dan
daerah, bertujuan antara lain: memberikan ketentuan menjamin keuangan daerah,
mendorong kearah penyehatan rumah tangga daerah (hak otonomi), dan supaya
daerah lebih leluasa dalam menjalankan tugasnya (hak medebewind). Pelaksanaan
Undang-undang ini pada umumnya akan dilakukan dengan Peraturan Pemerintah.
Sebagimana disebutkan dalam Pasal 2 “Pendapatan pokok dari daerah adalah
sebagai berikut:
1.
pajak daerah;
2.
retribusi daerah;
3.
pendapatan negara
yang diserahkan kepada daerah;
4.
hasil perusahaan
daerah.
Dalam hal-hal tertentu kepada daerah dapat diberikan
ganjaran subsidi dan sumbangan”.
Pajak Daerah yang diserahkan kepada daerah dan dinyatakan sebagai pajak daerah,
adalah:
1.
pajak verponding
(“Ordonansi verponding 1928”);
2.
pajak verponding
Indonesia (“Ordonansi verponding Indonesia”);
3.
pajak rumah tangga
(“Ordonnantie pajak rumah tangga 1908);
4.
pajak kendaraan
bermotor (“Ordonnatie pajak ekndaraan bermotor 1934);
5.
pajak jalan
(“Ordonnantie pajak jalan 1924”);
6.
pajak potong
(“Ordonnantie potong 1936);
7.
pajak kopra
(“Undang-undang Indonesia Timur No.16 Tahun 1949);
8.
pajak pembangunan
(“Undang-undang pajak pembangunan I, Undang-undang Republik Indonesia No.14
Tahun 1947).
Daerah Swatantra Makassar yang telah dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 34 Tahun 1952 tentang Pembubaran Daerah Sulawesi Selatan dan Pembagian
Wilayahnya dalam Daerah-daerah Swatantra tidak dapat berjalan sebagaimana
mestinya karena Swapraja Gowa tidak merasa senang berada dalam wilayah
kekuasaan Daerah Makassar yang mana menimbulkan salah satu konflik yaitu dalam
penagihan pajak dan retribusi sesuai kewenangannya sebagai daerah Swapraja.
Setelah DPRD Sementara dari Daerah Swatantra Makassar mengeluarkan mosi tanggal
21 Juni 1954 mendesak Pemerintah Pusat untuk memberikan ketegasan yang jelas
tentang batas-batas kewenangan, hak, tugas, dan kewajiban antara Daerah
Makassar dengan Pemerintah Swapraja Gowa, supaya status swapraja
selekas-lekasnya dibekukan saja. Sebagai reaksi atas mosi itu pemerintah
swapraja Gowa dan didukung oleh Kepala Distrik, Kepala Kampung, berbagai
organisasi politik dan masyarakat lainnya, termasuk pula Kepala-kepala distrik
dari Maros, Takalar dan Jeneponto mengeluarkan pernyataan agar dikeluarkan dari
lingkungan Daerah Makassar dan dibentuk menjadi Daerah yang langsung di bawah
pemerintah Propinsi Sulawesi.
Selanjutnya pada tanggal 7 sampai 9 Desember 1954 diadakanlah konperensi
pemerintahan diseluruh Propinsi Sulawesi di bawah pimpinan Gubernur Sulawesi
Lanto Dg.Pasewang dan dihadiri oleh para Kepala Daerah dan Ketua DPRD. Dalam
rapatnya diputuskan untuk diusulkan kepada Pemerintah Pusat membubarkan dan
membentuk Daerah-daerah yang setingkat dengan itu sesuai dengan pembentukannya
berdasarkan Zelfbestuursregelen 1938 tanggal 14 September 1938 Nomor 29
(Staatsblad 1938 Nomor 529). Daerah-daerah yang akan dibubarkan dan dibentuk
kembali menjadi suatu Daerah, adalah:
1.
Daerah Makassar,
dengan memisahkan Gowa dan Jeneponoto-Takalar.
2.
Daerah Luwu dengan
memisahkan Tanah-Toraja.
3.
Daerah Bone dengan
memisahkan Wajo dan Soppeng.
Sehubungan dengan itu, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Undang-undang
Darurat Nomor 2 Tahun 1957 tanggal 16 Januari 1957 (LN Tahun 1957 Nomor 2; TLN
1137 diundangkan pada tanggal 17 Januari 1957) tentang Pembubaran Daerah
Makassar, dan Pembentukan Daerah Gowa, Makassar dan Jeneponto-Takalar. Untuk
Daerah Gowa, pemerintahan masih tetap dikepalai oleh seorang Raja dari
keturunan keluarga swapraja berdasarkan sejarah dan tradisi Swapraja Gowa.
Untuk itu diangkatlah kembali Andi Idjo Karaeng Lalolang menjadi Kepala Daerah
Gowa berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri RI tanggal 6 Pebruari
1957 Nomor U.T.7/2/724.
Dengan terbentuknya Daerah Gowa, Makassar dan Jeneponto-Takalar, maka Daerah
Makassar menjadi:
a.
Onderafdeling
Pulau-pulau Makassar terdiri dari Pulau-pulau Spermonde,
Kalukalukuang-Masalima, Postiljon dan Paternoster.
b.
Onderafdeling Maros,
dan
c.
Onderafdeling
Pangkajene.
Tempat kedudukan pemerintah Daerah Swatantra Makassar
yang sebelumnya di Sungguminasa dipindahkan ke Pangkajene.
Sehubungan dengan keberadaan Fakultas Ekonomi yang pertama didirikan di
Makassar pada tahun 1947 yang merupakan cabang Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia (UI), maka berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1956 tanggal 1
September 1956 Universitas Hasanuddin yang terletak di Baraya diresmikan pada
tanggal 10 September 1956, dimana sebelumnya fakultas-fakultasnya merupakan
cabang dari Universitas Indonesia di Jakarta. Dengan diresmikannya Universitas
Hasanuddin, dimana dalam kompleks itu terdapat bangunan Tempat Pembantaian
Hewan milik Pemerintah Kota Makassar yang menjadi sumber penerimaan Daerah
berdasarkan Staatsblad 1949 Nomor 317, maka pada tahun 1957 Tempat Pembantaian
Hewan itu dipindahkan ke bagian timur kota diatas tanah rawa-rawa di Kampung Bara-baraya.
Luas tanah yang disediakan untuk Tempat Pembantain Hewan adalah 8.245 m2.
Selanjutnya bangunan pembantaian hewan yang lama dijadikan Fakultas Kehewanan.
Pada tahun 1957, Anggota-anggota DPRD memasukkan mosi tidak percaya terhadap
Ketua DPRD Sayat Dg.Patunru yang menimbulkan clash antara Syamsuddin
Dg.Mangawing (anggota DPD) dengan M.Amin Situru anggota DPRD, sehingga Sayat
Dg.Patunru yang menjabat Ketua DPRD digantikan oleh M.Hermanses Towoliu.
Setahun kemudian H.Hermanses Towoliu digantikan oleh Abdul Wahab Rajab yang
memegang jabatan Ketua DPRD sampai tahun 1960.
F. BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1957
Setelah Undang-undang Dasar Sementara RI Tahun 1950 mulai diberlakukan untuk
seluruh Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950, dimana pada saat itu
bermacam-macam peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan bentuk dan
susunan pemerintahan daerah digunakan. Untuk keseragaman peraturan
perundang-undangan tentang Pemerintahan Daerah yang berhak mengurus rumah
tangganya sendiri (autonoom) yang diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 22 Tahun 1948 dan Undang-undang Negara Indonesia Timur Nomor 44 Tahun
1950 diperbaharui dan disesuaikan dengan bentuk Negara Kesatuan yang uniform
bagi seluruh wilayah Indonesia. Selain kedua undang-undang itu, masih ada 2
undang-undang yang perlu diperbaharui yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1956
yang berhubungan dengan Kotapraja Jakarta Raya, dan Staatsblad Nomor 17 Tahun
1947 yang berhubungan dengan Kota Makassar. Berdasarkan Pasal 131 dan Pasal 132
Undang-undang Dasar Sementara RI Tahun 1950 yang mengatur tentang Pemerintahan
Daerah dan daerah-daerah Swapraja, ditetapkanlah Undang-undang Nomor 1 Tahun
1957 tanggal 17 Januari 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah (LN Tahun
1957 Nomor 6; TLN 1143). Undang-undang ini disetujui DPRD dalam rapat pleno
terbuka ke 113 pada hari Jumat tanggal 14 Desember 1956 yang selanjutnya
diundangkan pada tanggal 18 Januari 1957.Undang-undang ini disebut pula
"Undang-undang tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah 1956.
Penetapan Undang-undang Pokok-pokok Pemerintahan tersebut dilakukan pada saat
seluruh wilayah Negara Indonesia dalam keadaan darurat yang berpangkal pada
kejadian dibeberapa daerah sejak bulan Desember 1956 yang menimbulkan
kekhawatiran akan terganggunya hubungan-hubungan normal antara pusat dan
daerah. Untuk itulah, maka Pemerintah mengutus Perdana Menteri disertai
beberapa Menteri mengunjungi daerah-daerah Sumatera Tengah, Sumatera Selatan,
Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, dan kemudian Irian Barat, Maluku dan
daerah-daerah lainnya untuk mengadakan pembicaraan guna meletakkan dasar untuk
menormalisasi keadaan Negara Indonesia.
Dengan berlakunya Undang-undang tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah 1956
tersebut, maka Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948, Undang-undang Negara
Indonesia Timur Nomor 44 Tahun 1950, dan peraturan perundang-undangan lainnya
mengenai Pemerintahan Daerah yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri
dinyatakan dicabut, termasuk pembentukan Neo-Stadsgemeente Makassar yang
ditetapkan dalam Voorloopige voorzieningen met betrekking tot de
bestuursvoering in de gewesten Borneo en de Groote Oost (Staatsblad 1946 Nomor
17 tanggal 13 Pebruari 1946).
Pada waktu berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 di Indonesia terdapat
Daerah-daerah Swatantra yang berdasar atas berbagai jenis perundang-undangan,
yaitu:
1.
Propinsi-propinsi di
Jawa, Sumatera dan Kalimantan, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kota Besar dan Kota
Kecil di Jawa dan Kalimantan, begitu pula Kabupaten, Daerah Istimewa setingkat
Kabupaten di Kalimantan, dibentuk berdasarkan Undang-undang RI Nomor 22 Tahun
1948.
2.
Kotapraja Jakarta
Raya berdasar atas SGO dengan tijdelijke voorzieningennja yuncto Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1956.
3.
Daerah-daerah dalam
Propinsi Maluku, Sulawesi dan Nusa Tenggara atas Undang-undang NIT Nomor 44
Tahun 1950.
4.
Kota Makassar atas
ordonnantie voorloopige voorzieningen m.b.t. de bestuursvoering v/d gewesten
Borneo en de Groote Oost (Staatsblad 1946 Nomor 17 yuncto SGOB).
Dalam undang-undang tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah 1956, ditetapkan
bahwa wilayah Republik Indonesia dibagi dalam 3 tingkat yang berhak mengurus
rumah tangganya sendiri, yang disebut juga "Daerah Swatantra" dan
Daerah "Daerah Istimewa", ialah :
·
Daerah tingkat ke I,
termasuk Kotapraja Jakarta Raya.
·
Daerah tingkat ke II,
termasuk Kotapraja, dan
·
Daerah tingkat ke
III.
Daerah tingkat III yang dimaksud belum pernah dibentuk
sampai keluarnya Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Daerah.
Selanjutnya dalam Pasal 5, dijelaskan bahwa "Pemerintah Daerah terdiri
dari pada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah".
Kepala Daerah karena jabatannya adalah Ketua serta Anggota Dewan Pemerintah
Daerah, dengan demikian maka Kepala Daerah adalah "zuiver" oleh
Daerah yang dalam penyelenggaraan pemerintahan Daerah selalu bertindak
collegial atau bersama-sama dengan anggota DPD. Dalam Penjelasan Umum ad 3
disebutkan bahwa "mengenai masa jabatan dari Kepala Daerah seyogianya
disesuaikan dengan masa pemilihan DPRD yang bersangkutan, sehingga Kepala
Daerah berdiri dan jatuh bersama-sama dengan DPRD-nya. Masa jabatan anggota
DPRD adalah empat tahun (Pasal 7 Ayat 3).
Pasal 51 menyatakan bahwa “Semua pegawai Daerah, begitu pula pegawai Negara dan
pegawai sesuatu Daerah lainnya yang diperbantukan kepada Daerah, berada di
bawah pimpinan Dewan Pemerintah Daerah”. Demikian halnya dengan Sekretaris
Daerah adalah pegawai Daerah yang diangkat dan diberhentikan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah atas usul Dewan Pemerintah Daerah. Sekretaris Daerah adalah
Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Harian, dalam
hal ini Sekretaris Daerah tidak merangkap Sekretaris Kepala Daerah seperti
termaktub dalam Undang-undang RI Nomor 22 Tahun 1948 dan Undang-undang NIT
Nomor 44 Tahun 1950.
Pelaksanaan Undang-undang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah ini menganut kepada
system pemberian otonomi riil ialah pemecahan masalah, dasar dan isi otonomi
disandarkan kepada faktor-faktor yang riel, pada kepentingan, kemampuan dan
kekuatan daerah yang nyata, sehingga dengan demikian diusahakan terwujudnya
keinginan umum dalam masyarakat itu, sesuai dengan keadaan dan susunan
sewajarnya.
Berdasarkan Pasal 58 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pemerintahan
Daerah, menetapkan bahwa kepada Daerah dapat diberikan penerimaan-penerimaan
pajak Negara untuk sebagian atau seluruhnya dan ganjaran, subsidi dan
sumbangan. Dengan hal tersebut dalam rapat Dewan Menteri pada tanggal 15 Januari
1957 telah merumuskan Peraturan Pemerintah RI yang kemudian ditetapkan dalam
Peraturan Pemerintah RI Nomor 3 Tahun 1957 tanggal 6 Pebruari 1957 tentang
Penyerahan Pajak Negara kepada Daerah, diundangkan pada tanggal 8 Pebruari 1957
(Lembaran Negara Nomor 10 Tahun 1957).
Pajak Negara yang diserahkan kepada Daerah tingkat ke-I ada 3 macam dan Daerah
tingkat ke-II ada 5 macam. Pajak Negara yang diserahkan kepada Daerah Tingkat
II, adalah:
a.
Pajak jalan, diatur
dalam Weggeld-ordonantie 1942 (Ordonansi pajak jalan 1942) Staatsblad 1941
Nomor 97 sebagaimana telah dirubah dan ditambah dalam Stbld. 1947 Nomor 49.
b.
Pajak kopra, diatur
Undang-undang Negara Indonesia Timur Nomor 16 Tahun 1949. Pajak kopra hanya
diberikan kepada daerah-daerah bekas Negara Indonesia Timur.
c.
Pajak potong, diatur
dalam Ordonantie op de Slachtbelasting 1936 (Ordonansi pajak potong 1936)
Staatsblad 1936 Nomor 671 sebagaimana telah dirubah dan ditambah dalam
Staatsblad 1938 Nomor 165 dan Staatsblad 1938 Nomor 174 dan terakhir Staatsblad
1949 Nomor 317).
d.
Pajak pembangunan,
diatur dalam Undang-undang Pajak Pembangunan I (Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 14 Tahun 1947) sebagaimana telah dirubah dan ditambah dalam
Undang-undang 20 Tahun 1948 dan Undang-undang Darurat Nomor 27 Tahun 1957, (LN
Tahun 1957 Nomor 84 dan LN Tahun 1959 Nomor 1402).
e.
Pajak verponding
Indonesia, diatur dalam Inlandsche Verponding-ordonantie (Ordonansi pajak
verponding Indonesia) Staatsblad 1923 Nomor 425 sebagaimana telah dirubah dan
ditambah dalam Staatsblad 1924 Nomor 242, Staatsblad 1927 Nomor 151, Staatsblad
1931 Nomor 168 sub 22 ruas Departement van Financien).
Disamping pajak Negara yang diserahkan kepada Daerah, juga diberikan dana lain
yang disebut Ganjaran, Subdisi dan Sumbangan sebagai biaya dalam rangka penyelenggaraan
tugas Pemerintah di Daerah (tugas desentralisasi dan tugas medebewind).
Pemberian dana tersebut diatur dalam:
1.
Peraturan Pemerintah
Nomor 4 Tahun 1957 tanggal 6 Pebruari 1957 tentang Pemberian Ganjaran dan
Sebagainya Kepada Daerah (LN Nomor 11 Tahun 1957; TLN Nomor 1156).
2.
Undang-undang Darurat
Nomor 11 Tahun 1957 tanggal 22 Mei 1957 tentang Peraturan Umum Retribusi
Daerah, diundangkan pada tanggal 29 Mei 1957 (LN Nomor 56 Tahun 1957; TLN Nomor
1287).
3.
Undang-undang Darurat
Nomor 12 Tahun 1957 tanggal 22 Mei 1957 tentang Peraturan Umum Retribusi
Daerah, diundangkan pada tanggal 29 Mei 1957 (LN Nomor 57 Tahun 1957; TLN Nomor
1288).
Untuk mengadakan pajak daerah dan retribusi daerah
yang telah diserahkan kepada Daerah, akan ditetapkan oleh DPRD melalui
Peraturan Daerah.
Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 telah mengalami beberapa kali
perubahan, yaitu dengan:
·
Undang-undang Darurat
Nomor 6 Tahun 1957 tanggal 30 Januari 1957 (LN Tahun 1957 Nomor 9), yaitu Pasal
8 Sub b. yang kemudian ditetapkan sebagai Undang-undang Nomor 6 Tahun 1958.
·
Undang-undang Darurat
Nomor 8 Tahun 1957 tanggal 7 Mei 1957 (LN Tahun 1957 Nomor 50), yaitu Pasal 7
Ayat (1) Sub (a).
·
Undang-undang Darurat
Nomor 73 Tahun 1957 (LN Tahun 1957 Nomor 159).
Negara Indonesia yang masih dalam keadaan darurat sejak bulan Desember 1956, di
Makassar terjadi peristiwa yang sempat mengagetkan masyarakat, berhubung pada
pagi hari tanggal 2 Maret 1957 di Makassar, tersiar berita bahwa telah Letkol
H.N.Ventje Sumual Panglima TT VII Wirabuana memproklamasikan Piagam Perjoangan
Rakyat Semesta (Permesta) yang mengeluarkan pernyataan dalam suatu rapat di
Gubernuran. Piagam itu ditandatangani oleh 50 orang dari 51 orang tokoh-tokoh
masyarakat di Indonesia bagian Timur yang didalam disebutkan bahwa “...seluruh
wilayah Territorium VII dalam keadaan darurat perang serta berlakunya
Pemerintah Militer sesuai dengan Pasal 129 Undang-undang Dasar Sementara dan
Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1948 dari Republik Indonesia”.
Salah satu tujuan perjoangan itu adalah memberikan otonomi seluas-luasnya
kepada 4 Propinsi yang ada dalam wilayah Indonesia Bagian Timur. Dibidang
pembangunan, tiap-tiap propinsi memerlukan plan 5 tahun dan segera mengadakan
pembangunan dan perbaikan disegala bidang, serta pembagian devisen dan kredit
Dalam Negeri dan Luar Negeri serta pampasan perang dari Jepang harus seimbang
dengan luas Daerah dan jumlah propinsi otonom. Untuk merealisasi tujuan
perjoangan itu, antara lain dengan mempersiapkan Kongres Bhinneka Tunggal Ika
di Makassar dan Kota-kota Propinsi lainnya.
Sebelum kejadian itu, pada tanggal 2 Pebruari 1957 Gubernur Andi Pangerang
Petta Rani mengajukan tuntutan kepada Pemerintah Pusat, agar dalam satu bulan
sebelum tanggal 1 Maret 1957 kepada Propinsi Sulawesi diberi otonomi yang luas
sesuai dengan Undang-undang Dasar Sementara dan diberi modal pembangunan
sebesar Rp 350.000.000,- guna membiayai pembangunan Sulawesi selama satu tahun,
yaitu dalam tahun 1957.
Sehubungan dengan itu, pada tanggal 15-17 Mei 1957 Perdana Menteri Juanda tiba
di Makassar dari Menado untuk melakukan peninjauan dan pembicaraan dengan
delegasi Kongres Bhinneka Tunggal Ika. Kemudian pada pada tanggal 22 Mei 1957
atas perintah Kolonel H.N.V.Sumual sebagai Kepala Pemerintahan Militer
Indonesia Timur, telah dikeluarkan dari Bank Indonesia di Makassar, Menado, dan
Ambon. Sebagian dari dana itu dibagikan kepada 32 Daerah Tingkat II
masing-masing Rp 2.000.000,- dan 4 Daerah Tingkat I masing-masing Rp
5.000.000,-
Setelah adanya kejadian pada tanggal 2 Maret 1957, menyusul terbentuknya
Komando Daerah Militer Sulawesi Selatan dan Tenggara (KDM-SST) yang diresmikan
pada tanggal 1 Juni 1957 bertempat di lapangan Hasanuddin dan sekaligus
pelantikan Letkol A.Mattalatta sebagai Panglima oleh KSAD Mayor Jenderal
A.H.Nasution dalam keadaan Darurat Perang. Wilayah KDM-SST meliputi Kota Besar
Makassar, Kabupaten-kabupaten Makassar, Bonthain, Watampone, Pare-pare, Mandar,
Luwu, dan Kendari Sulawesi Tenggara.
Karena situasi keamanan di Sulawesi sedang kacau, maka fungsi Gubernur Sulawesi
ditingkatkan menjadi Gubernur Militer Sulawesi yang pada waktu itu dipegang
oleh Andi Pangerang Petta Rani.
Stadion Mattoanging yang terletak di Jalan Cendrawasih dibangun oleh Panglima
Kodam/ Ketua Penguasa Perang Daerah Sulawesi Selatan dan Tenggara Letnan
Kolonel Infantri Andi Mattalatta sebagai Ketua Pembangunan. Pembangunan stadion
ini adalah dalam rangka kebijaksanaan pemulihan keamanan di Sulawesi Selatan
dan Tenggara, yang diresmikan pada tanggal 6 Juli 1957. Salah satu Panitia
Pembangunan itu adalah M.Yoenoes Dg.Mile (Walikota Makassar) sebagai Anggota.
Tiga bulan setelah KDM-SST diresmikan, Kota Makassar dengan Walikotanya M.Yunus
Dg.Mile dipercayakan menyelenggarakan Pekan Olahraga Nasional (PON) yang keempat
kalinya sejak PON Pertama dilaksanakan di Solo pada tanggal 9-18 September
1948. PON di Makassar dimulai dari tanggal 28 September sampai tanggal 6
Oktober 1957. Penyelenggaraan PON ini dipusatkan di Stadion Olah Raga
Mattoanging yang sudah dilengkapi beberapa sarana yaitu Lapangan Sepakbola,
Gedung Olah Raga, dan Kolam Renang serta fasilitas olahraga lainnya. Dalam
penyelenggaraan PON IV ini diikuti oleh 17 daerah peserta dengan 18 nomor
cabang olah raga dengan jumlah medali yang diperebutkan adalah 279 medali
(emas, perak, dan perunggu). Sebagai juara umum adalah kontingen dari Jakarta
Raya, sedangkan kontingen Sulawesi Selatan berada diurutan 7.
Berhubung dengan perkembangan ketatanegaraan dan sejalan dengan pelaksanaan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957, maka keluar Undang-undang Nomor 6 Tahun 1959
tanggal 24 Maret 1959 tentang Penyerahan Tugas-tugas Pemerintah Pusat dalam
bidang Pemerintahan Umum, Perbantuan Pegawai Negeri dan Penyerahan Keuangannya
kepada Daerah, diundangkan pada tanggal 25 Maret 1959 (LN Tahun 1959 Nomor 15;
TLN Nomor 1752). Berlakunya undang-undang ini akan ditetapkan kemudian dengan
peraturan pemerintah dan akan dilakukan per Daerah (Pasal 15). Dalam
pelaksanaan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1959, Undang-undang Nomor 10 Tahun 1956
(Lembaran Negara Tahun 1956 Nomor 22) dinyatakan berlaku bagi daerah yang
pembentukannya tidak berdasarkan kepada Undang-undang Nomor 22 tahun 1948.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan
Daerah, keluar Undang-undang Nomor 29 Tahun 1959 tanggal 4 Juli 1959 (LN Nomor
74 Tahun 1959; TLN Nomor 1822) tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat II di
Sulawesi. Propinsi Sulawesi yang sebelumnya terdiri dari 20 Daerah-daerah yang
berhak mengurus rumah tangganya sendiri dirubah menjadi 37 Daerah-daerah
Swatantra Tingkat II (33 Daerah Tingkat II dan 4 Kotapraja). Mengenai urusan
rumah tangga dan kewajiban Daerah yang telah diserahkan berdasarkan
undang-undang pembentukannya tetap menjadi urusan Daerah, demikian juga
mengenai pegawai Negara diserahkan kepada Daerah untuk diangkat menjadi Pegawai
Daerah. Disamping itu terdapat pegawai Negara yang diperbantukan dan
dipekerjakan.
Peraturan mengenai Pegawai Daerah yang berhubungan dengan pengangkatan,
pemberhentian, gaji, pensiun, uang tunggu dan lain ditetapkan dalam Peraturan
Daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan menyesuaikan peraturan yang
ditetapkan oleh Pemerintah bagi Pegawai Negara yaitu Peraturan Pemerintah RI
Nomor 23 Tahun 1955 (LN tahun 1955 Nomor 48) yang mulai berlaku pada tanggal 1
Oktober 1955.
Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 29 Tahun 1959, Kota Besar Makassar
ditingkatkan statusnya menjadi Kotapraja Makassar. Peningkatan status itu
sebagaimana maksud Pasal 1 ayat (1) serta telah memenuhi syarat jumlah penduduk
sekurang-kurangnya 50.000 jiwa yang telah dipakai dalam Undang-undang
pembentukan Kabupaten-kabupaten pada waktu yang lampau. Dengan adanya perubahan
tersebut maka sebutan kepala pemerintah (Wali Kota) berubah menjadi Wali Kota
Kepala Daerah Kotapraja Makassar, yang pada waktu itu sebagai Walikota adalah
A.Latif Dg.Massikki yang diangkat sejak tanggal 7 Januari 1958, sedang jumlah
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang ditetapkan adalah 35 orang, dan
sebagai Ketua DPRD adalah M.Hermanses Towoliu.
Setelah Daerah Tingkat II di Sulawesi dibentuk, menyusul kemudian penetapan
Kota Makassar menjadi Ibukota Propinsi Sulawesi yang ditetapkan dalam Peraturan
Pemerintah RI Nomor 50 Tahun 1960 (TLN 1960 Nomor 1963).
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1959 belum lagi sempat dilaksanakan, pada tanggal 5
Juli 1959 hari Minggu pukul 17.00 waktu Jawa dari tangga Istana Merdeka,
Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang menetapkan UUD-1945 berlaku
lagi bagi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
terhitung mulai tanggal penetapan Dekrit tersebut. Dekrit Presiden tersebut
kemudian diumumkan dengan Keputusan Presiden Nomor 150 Tahun 1959 yang dimuat
dalam Lembaran Negara RI Nomor 75 Tahun 1959 dan dilampiri naskah Undang-undang
Dasar 1945. Menyusul keesokan harinya yaitu pada tanggal 6 Juli 1959 Pemerintah
memberikan keterangan dihadapan rapat pleno Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
tentang penyelesaian anjuran presiden dan pemerintah untuk kembali ke
Undang-undang Dasar 1945 yang diucapkan oleh Perdana Menteri H.Juanda. Sebagai
kelanjutan dari Dekrit Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat yang dibentuk menurut
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1953 disusun kembali dengan didasarkan pada
Peraturan Presiden RI Nomor 1 Tahun 1959 tanggal 22 Juli 1959.
Pada tanggal 25 Agustus 1959 jam 06.00 pagi terjadi penggantian nilai uang
kertas yang ada dalam peredaran yang mempunyai nilai Rp.500,- diganti menjadi
Rp. 50,- dan uang kertas Rp. 1.000,- diganti menjadi Rp. 100,-. Penggantian
nilai uang kertas itu ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1959 (LN Nomor 89 Tahun 1959, TLN Nomor 1837)
sebagai akibat inflasi karena banyaknya uang beredar yang semenjak Nopember
1956 melebihi tingkat jumlah pada bulan Desember 1955. Dimana keadaan keuangan
dan moneter sangat dipengaruhi oleh pembiayaan anggaran Negara, dan anggaran
belanja sejak tahun 1952 menderita kekurangan berturut-turut hingga Rp 12,8
milyar dalam 5 tahun. Penukaran uang tersebut sudah harus ditukar dengan uang
kertas bank baru sebelum tanggal 1 Januari 1960 (Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1959; LN Tahun 1959 Nomor 696; TLN 1851). Namun
langkah-langkah yang diambil oleh Pemerintah di bidang moneter tersebut
mengalami kegagalan karena bertambah banyaknya uang beredar sampai memasuki
tahun 1966.
Dengan berlakunya lagi Undang-undang Dasar 1945, menjadikan perubahan sistem
ketatanegaraan di Indonesia, yang berarti meninggalkan sistem demokrasi liberal
yang dianut oleh Undang-undang Dasar Sementara (UUDS). Dengan demikian
pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan
Daerah yang dijalankan berdasarkan UUDS-1950 tidak sesuai lagi dengan
perkembangan pemerintahan, untuk itu Pemerintah RI mengeluarkan Penetapan
Presiden Nomor 6 Tahun 1959 tanggal 9 September 1959 (LN 94 Tahun 1959; TLN
1843) sebagai pelaksanaan lanjutan dari Dekrit Presiden RI. Penetapan Presiden
6 Tahun 1959 tersebut disempurnakan lagi pada tanggal 7 Nopember 1959 (LN Tahun
1959 Nomor 129; TLN Nomor 1896) tentang Pemerintah Daerah (Disempurnakan) yang
diundangkan pada tanggal 16 Nopember 1959 dan berlaku surut mulai tanggal 7
September 1959.
Dalam Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 (Disempurnakan) disebutkan, bahwa
Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD). Dewan Pemerintah Daerah (DPD) yang dibentuk berdasarkan Pasal 5
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 dibubarkan dan diganti dengan Badan Pemerintah
Harian (BPH) yang merupakan pembantu Kepala Daerah.
Semenjak Undang-undang Dasar 1945 berlaku lagi berdasarkan Dekrit Presdien/
Penglima Angkatan Perang Republik Indonesia tanggal 5 Juli 1959, maka dengan
Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 (disempurnakan) dilakukan langkah pertama
untuk menyesuaikan keadaan Pemerintah Daerah dengan keadaan Pemerintah Pusat
yang disusun menurut sistem demokrasi terpimpin. Titik berat dalam usaha
tersebut di atas diletakkan pada perubahan pimpinan pemerintahan daerah yang
ada pada waktu itu dan yang bersifat dualistis, dengan meletakkan pimpinan
dalam satu tangan, yaitu pada Kepala Daerah.
Setelah Penetapan Presiden (PENPRES) Nomor 6 Tahun 1959, menyusul Penetapan
Presiden Nomor 7 Tahun 1959 tentang Syarat-syarat dan Penyederhanaan
Kepartaian. Dalam pelaksanaan Penetapan Presiden Nomor 7 Tahun 1959 tersebut
menghasilkan 10 partai politik yang mempunyai hak hidup, yakni PNI, NU, PKI,
Partai Katolik, Partai Indonesia (Partindo), Partai Murba, PSII-Aruji, Ikatan
Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), dan
Persatuan Tarbiayah Islamiyah (Perti). Partai lainnya tidak dapat diakui,
kerena tidak memenuhi persyaratan yang cukup berat, yaitu:
a.
harus mempunyai
sejumlah cabang yang tersebar, paling sedikit di seperempat jumlah Daerah
Tingkat I dan jumlah cabagn itu harus sekurang-kurangnya pula di seperempat
jumlah Daerah Tingkat II,
b.
tidak sedang
melakukan pemberontakan karena pemimpin-pemimpinnya turut serta dalam
pemberontakan-pemberontakan atau telah jelas memberikan bantuan, sedangkan
partai yang bersangkutan tidak dengan resmi menyalahkan perbuatan
anggota-anggotanya.
Setelah pelaksanaan Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 (Disempurnakan),
menyusul Penetapan Presiden RI Nomor 5 Tahun 1960 (LN Tahun 1960 Nomor 103; TLN
2042) tentang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong, yang kemudian
disempurnakan dalam Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 6; TLN Nomor 2145
ditetapkan pada tanggal 10 Pebruari 1961 dan diundangkan pada tanggal 14
Pebruari 1961, sebagai langkah kedua yang mengenai DPRD dan Sekretariat DPRD. Penetapan
Presiden Nomor 5 Tahun 1960 (Disempurnakan) bertujuan untuk melengkapi dengan
ketentuan tentang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Sekretariat guna mencapai
keseragaman dalam pemerintahan di pusat dan di daerah dengan membentuk DPRD
dengan berpedoman pada PENPRES Nomor 4 Tahun 1960 tentang Dewan Perwakilan
Rakyat Gotong Royong.
Dalam Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1960 (Disempurnakan), DPRD diberi sifat
Gotong-Royong sehingga menjadi DPRD-GR sebagaimana halnya DPR-GR. Mengenai
susunan DPRD-GR mengikuti Pengumuman Presiden tentang DPRD-GR tanggal 27 Maret
1960, dimana DPRD-GR terdiri dari wakil-wakil Golongan-golongan politik yang
terbagi atas 9 Partai dan Golongan-golongan karya yang terbagi atas anggota 13
golongan. Dalam penyusunan DPRD-GR harus memperhatikan antara lain Amanat
Presiden tanggal 12 Juli 1960 Nomor 2292/HK/60, dimana DPR-GR disederhanakan
menjadi:
a.
4 golongan politik
(Nasionalis, Islam, Kristen dan Komunis).
b.
1 golongan karya,
yang dibagi dalam 4 sub golongan (Angkatan Bersenjata, Kerohanian, Pembangunan
Sprituil dan Pembangunan Materil).
Masuknya golongan fungsional kedalam DPR didasarkan pada Putusan Dewan Menteri
tanggal 19 Pebruari 1959 di Jakarta sebagai pelaksanaan demokrasi terpimpin
(werkdemocratie) dalam rangka kembali ke Undang-undang Dasar 1945. Golongan
Fungsional (Karya) sebagai penemuan Bung Karno dirumuskan sebagai berikut:
"Golongan Fungsional adalah alat demokrasi berupa penggolongan warga-warga
Indonesia menurut tugas pekerjaannya dalam lapangan produksi dan jasa dalam
melaksanakan pembangunan masyarakat adil dan makmur sesuai dengan cita-cita
Bangsa Indonesia".
Dengan adanya perubahan bentuk DPRD, maka DPRD Kotapraja Makassar berubah
namanya menjadi DPRD-GR Kotapraja Makassar dengan Ketuanya adalah Aroeppala
yang juga merangkap sebagai Wali Kotapraja Makassar yang dijabat sejak tanggal
6 Pebruari 1960. Perangkapan jabatan Walikotapraja Makassar dengan Ketua
DPRD-GR berdasarkan pasal 9 ayat (2) PENPRES Nomor 5 Tahun 1960
(Disempurnakan). Adapun yang menjadi Wakil Ketua DPRD-GR adalah H.M.Akib
Ismail.
Propinsi Sulawesi Selatan dan Propinsi Sulawesi Utara yang masih bersifat
administratif yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 5
Tahun 1960 (LN Tahun 1960 Nomor 38; TLN 1963) ditingkatkan menjadi Daerah
Tingkat I yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Perubahan
ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1961 sesuai Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang (PERPU) Nomor 47 Tahun 1960 tanggal 13 Desember 1960
(LN Tahun 1960 Nomor 151; TLN 2102) tentang Pembentukan Daerah Tingkat I
Sulawesi Selatan-Tenggara dan Daerah Tingkat I Sulawesi Utara-Tengah. Daerah
Tingkat I Sulawesi Selatan-Tenggara terdiri dari 27 Daerah Tingkat II sesuai
yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 29 Tahun 1950.
Berkenan dengan peningkatan status Propinsi Sulawesi-Tenggara menjadi Daerah
Tingkat I yang otonom, dalam tahun 1961 itu juga terjadi perubahan istilah
distrik menjadi kecamatan dalam wilayah Sulawesi Selatan dan Tenggara yang
ditetapkan dalam dua Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Sulawesi
Selatan-Tenggara, yaitu :
1.
Surat Keputusan
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan dan Tenggara Nomor 1100
tanggal 16 Agustus 1961 tentang Perobahan Distrik menjadi kecamatan dalam
Daerah tingkat II Sinjai, Bulukumba, Bantaeng, Jeneponto, Selayar, Takalar,
Barru, Sidenreng Rappang, Pangkajene dan Kepulauan, Soppeng, Polewali-Mamasa,
dan Enrekang.
2.
Surat Keputusan
Gubernur Kepala Daerah Propinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara Nomor 2067A
tanggal 19 Desember 1961 tentang Perubahan Distrik menjadi Kecamatan Dalam
Daerah Tingkat II Buton, Muna, Kendari, Kolaka, Pinrang, Gowa, Wajo, Makassar,
Mamuju, Majene, Bone, Tana Toraja, Maros, Pare-Pare, dan Luwu.
Distrik dalam wilayah Kotapraja Makassar yang sebelumnya terdiri dari 4 (empat)
distrik, yang dibentuk sejak tahun 1917 yaitu Distrik Ujung Tanah, Wajo,
Makassar dan Mariso dirubah menjadi 8 (delapan) kecamatan, yaitu: Kecamatan
Ujung Tanah, Tallo, Wajo, Bontoala, Makassar, Ujung Pandang, Mariso dan Mamajang
berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Propinsi Sulawesi Selatan
dan Tenggara Nomor 2067A tanggal 19 Desember 1961.
Dengan adanya perubahan Distrik menjadi Kecamatan dan dengan ditetapkannya
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tanggal 24 September 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria, dan Peraturan Pemerintah RI Nomor 10 Tahun 1961
tanggal 23 Maret 1961 tentang Pendaftaran Tanah (LN Tahun 1961 Nomor 28; TLN
Nomor 2171), maka berdasarkan Pasal 19 yang mengatur setiap perjanjian pemindahan
hak atas tanah harus dibuat dihadapan pejabat (penjabat) oleh Menteri Agraria
kemudian menetapkan lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 10 Tahun
1961 tanggal 7 September 1961 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 10
Tahun 1961, dimana disebutkan dalam Pasal 5 bahwa Asisten Wedana/ Kecamatan
diangkat sebagai pejabat yang bertugas membuat akta perjanjian dan kepadanya
diberikan uang jasa (honorarium).
Setelah perobahan istilah distrik menjadi kecamatan, menyusul diadakan sensus
penduduk yang kedua kalinya setelah sensus penduduk tahun 1930. Pelaksanaan
sensus penduduk tahun 1940 dan tahun 1950 tidak dapat dilaksanakan berhubung
perkembangan politik dan pemerintahan pada waktu itu tidak menentu. Untuk
pelaksanaan sensus penduduk tahun 1961 dimulai dari tanggal 1 sd. 31 Oktober
1961 dan merupakan sensus penduduk secara lengkap yang dibagi dalam tiga tahap,
yaitu:
a.
Tanggal 1 sd. 25
Oktober 1961 Pencacahan jiwa pertama, mencatat rumah tangga dalam kartu
perseorangan.
b.
Tanggal 26 sd. 30 Oktober
1961, meneliti kartu perorangan yang telah diisi.
c.
Tanggal 31 Oktober
1961, pencacahan jiwa terakhir.
Berdasarkan hasil sensus penduduk tersebut, jumlah penduduk Kota Makassar
adalah 384.159 jiwa. Dibandingkan hasil sensus penduduk tahun 1930 sebanyak
84.855 jiwa dengan sensus penduduk 1961, maka dalam kurun waktu 31 tahun Kota
Makassar mengalami kenaikan penduduk sebesar 299.304 jiwa atau kenaikan 452.72
% dengan rata-rata kenaikan tiap tahun 9.654 jiwa atau pertumbuhan setiap tahun
adalah 14,6 %.
Daerah Irian Barat yang merupakan wilayah Indonesia yang diperjuangkan sejak
tahun 1950 dan masih dikuasai oleh Belanda, mulai ditingkatkan pembebasannya
dengan dicetuskannya Trikora (Tri Komando Rakyat) di Yogyakarta oleh Presiden
Soekarno tanggal 19 Desember 1961 yang isinya:
1.
Gagalkan pembentukan
negara boneka Papua buatan Belanda kolonial.
2.
Kibarkan bendera
Merah Putih di Irian Barat, tanah air Indonesia.
3.
Bersiaplah untuk
mobilisasi umum mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa.
Setelah Trikora dicetuskan, disusul dengan penetapan Keputusan Presiden Nomor 1
Tahun 1962 tanggal 2 Januari 1962 untuk membentuk Komando Mandala. Dalam rangka
pembebasan Irian Barat, Kota Makassar ditunjuk menjadi Markas Komando Mandala.
Sebagai persiapan pembentukan Komando Mandala di Makassar dan untuk mendapat
dukungan dari masyarakat Sulawesi Selatan, Presiden Soekarno berkunjung ke
Makassar pada tanggal 5 Januari 1962. Dalam kunjungannya tersebut terjadi suatu
peristiwa yaitu rencana pembunuhan terhadap diri Presiden Soekarno pada tanggal
7 Januari 1962 di Jln.Cendrawasih (dimuka Stadion Mattoanging) dalam rangka
kuliah umum di Gedung Olah Raga. Peristiwa ini kemudian disebut dengan
"Peristiwa Cendrawasih". Peristiwa ini adalah usaha pembunuhan yang kedua
terjadi di Makassar yang sebelumnya pernah terjadi pada awal bulan Agustus
1958.
Pada tanggal 11 Januari 1962 Presiden Soekarno mengumumkan Susunan Pimpinan
Komando Mandala, kemudian pada tanggal 23 Januari 1962 bertempat di lapangan
Karebosi Makassar, Mayor Jenderal Soeharto dilantik menjadi Panglima Mandala
yang baru beberapa hari yaitu tanggal 1 Januari 1962 dinaikkan pangkatnya dari
Brigadir Jenderal menjadi Mayor-Jenderal. Markas Komando Mandala terletak di
Jln.Jend.Sudirman yaitu Markas KOANDAIT (Komando Antar Daerah Indonesia Timur).
Setelah melalui perjuangan yang panjang, akhirnya Irian Barat kembali
kepangkuan Ibu Pertiwi pada tanggal 15 Agustus 1962. Berkaitan dengan itu, pada
tanggal 1 Mei 1963 tugas Komando Mandala telah selesai dan pada hari itu juga
Komando Mandala dinyatakan secara resmi dibubarkan. Pembubaran Komando Mandala
dilaksanakan dalam suatu rapat raksasa di Karebosi dihadiri kurang lebih
1.100.000 orang untuk mengikuti pidato Presiden Soekarno yang datang bersama
beberapa Menteri dan Duta Besar. Salah satu Duta Besar RRT (Republik Rakyat
Tiongkok) diberi kesempatan oleh Presiden Soekarno mengucapkan “Merdeka” tiga
kali. Dimana pada waktu itu Kapten M.Dg.Patompo ditunjuk sebagai wakil
sementara Walikota Makassar berhubung Walikota Aroeppala sedang menunaikan
Ibadah Haji. Pada kesempatan itu Presiden Soekarno menanyakan kepada Ny.Warouw
(Kepala Urusan Rumah Tangga Kantor Gubernur) siapa yang memimpin semua ini,
dijawab oleh Ny.Warouw, dan menyebut "Kapten Patompo", karena Kota
Makassar nampak bersih dan rapih, setelah terpilih sebagai kota terbersih kedua
seluruh Indonesia atas usaha M.Dg.Patompo.
Dalam tahun 1962 terjadi kebakaran di Kampung Jera Pattunuang yang
menghanguskan semua rumah yang berada disekitar pekuburan Tionghoa mulai dari
sebelah timur Jln.Irian, Penjara Besar Jln.Nusakambangan sampai ke Bioskop
Dewi. Untuk itu maka Walikotapraja Makassar kemudian memindahkan penduduk yang
terkena musibah itu ke lokasi baru yang disediakan yaitu Kalukuang dan
Panaikang.
Tidak lama kemudian setelah terjadi kebakaran di Pattunung, dalam tahun itu
juga jam 02.00 malam terjadi lagi kebakaran di Paotere yang dimulai dari Pasar
Gusung. Kebakaran itu menghanguskan lebih 2.500 rumah, mulai dari Pelelangan
Ikan Paotere sampai ke Kampung Lakkang.
Lokasi kebakaran Kampung Jera Pattunuang, mulai direncanakan dibangun pasar
rakyat mewah yang dilengkapi taman-taman dan lapangan rumput didalamnya.
Kuburan Tionghoa yang ada disekitar lokasi itu dipindahkan ke Bantujangang
Panaikang. Untuk itu dibangunlah jalan baru yang tembus dari Jln.Jend.Sudirman
Karebosi menuju lokasi pasar dan Jln.Irian.
Pada tahun 1964 dibangunlah sebuah pasar mewah yang diberi nama Pasar Kota,
didepan pasar itu dibangun pula Stasion (Terminal) Kendaraan untuk angkutan
antar kota, dan menyusul stasion Bemo (becak-motor) untuk jurusan Pasar
Central, Pa’baeng-baeng, dan Sungguminasa. Sebagian lokasi pasar darurat itu,
dibangun R.S.Akademis Jaury Jusuf Putra, (ejaan Malindo, J = Y).
Dengan selesainya pembangunan Pasar Kota, menjadikan tempat itu sebagai pusat
perdagangan Kota Makassar yang ditunjang dengan keberadaan angkutan kota Bemo
(Becak Motor) yang merupakan angkutan kota pertama di Makassar. Pada tahun 1970
Pasar Kota itu dirubah namanya menjadi Pasar Central (Sentral).
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1959 yang telah dikeluarkan pada tanggal 24 Maret
1959 yang belum dilaksanakan berhubung dengan keluarnya Dekrit Presiden tanggal
5 Juli 1959, mulai diberlakukan kembali dengan keluarnya Peraturan Pemerintah
RI Nomor 50 Tahun 1963 tanggal 25 September 1963 tentang Pernyataan Mulai
Berlakunya dan Pelaksanaan Undang-undang Penyerahan Pemerintahan Umum (LN Tahun
1963 Nomor 96;TLN 2593) yang disusul Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor
3/MDN/1964 tanggal 17 Pebruari 1964 sebagai petunjuk dalam pelaksanaan
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1959 tentang Penyerahan Pemerintahan Umum. Dengan
berlakunya Peraturan Pemerintah RI Nomor 50 Tahun 1963, maka pegawai
pamongpraja dipebantukan diperbantukan pada Pemerintah Daerah sedangkan tugas
pamongpraja dibebankan kepada Kepala Daerah sebagai alat pemerintah pusat.
Sehubungan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1963, maka lahirlah
Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 1963 tanggal 25 Oktober 1963 (LN Tahun 1963
Nomor 104) yang mengatur tentang penghapusan kresidenan dan kewedanaan. Mulai
pada saat itu kresidenan dan kewedanaan atau wilayah pemerintahan yang
setingkat dengan itu dengan nama apapun juga di seluruh wilayah Indonesia
dinyatakan dihapus. Namun pada tanggal 4 Desember 1963 Menteri Dalam Negeri RI
mengeluarkan Surat Kawat ditujukan kepada semua Gubernur Kepala Daerah kecuali
Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya dan Irian Barat, mengatakan bahwa sebelum
ada putusan Menteri lebih lanjut, semua Keresidenan/ Kewedanaan atau
pemerintahan yang setingkat harus tetap menjalankan tugas-tugas pemerintahan
yang termasuk wewenangnya seperti sediakala. Disamping itu ditetapkan juga
bahwa sementara waktu bekas Residen dan bekas Wedana tetap berkedudukan di
tempatnya semula sebagai Pembantu/penghubung Kepala Daerah Tingkat I dan Kepala
Daerah Tingkat II dengan tugas yang ditetapkan oleh Kepala Daerah. Kemudian
dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri tanggal 16 Pebruari 1964 Nomor 3/MDN/1964
disebutkan antara lain mengenai pelaksanaan penghapusan Kresidenan dan
Kewedanaan sebagaimana dimaksud dengan Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 1963
tersebut dinyatakan, bahwa untuk sementara waktu para bekas Residen dan bekas
Wedana tetap bertempat kedudukan di tempatnya semula, masing-masing sebagai
Pembantu/Penghubung Kepala Daerah Tingkat I dan Pembantu/ Penghubung Kepala
Daerah Tingkat II dengan tugas sebagaimana ditetapkan oleh Kepala Daerah yang
bersangkutan. Selanjutnya dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri tanggal 13
Agustus 1965 Nomor 21/1965 menegaskan bahwa tugas-tugas yang dapat diberikan
ialah dalam bidang-bidang otonom, politik, pembangungan, pendidikan dan latihan
pegawai, pertahanan sipil/sukarelawan dan lain-lain.
Pada tanggal 1 Januari 1964, Propinsi Sulawesi Selatan-Tenggara mengalami
perubahan dengan dibentuknya Daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara sesuai
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) Nomor 2 Tahun 1964 tanggal
13 Pebruari 1964 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah dan
Daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara yang mengubah Undang-undang Nomor 47 Prp.
Tahun 1960 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Utara-Tengah dan
Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara, (LN Tahun 1964 Nomor 7; TLN 2619).
Dengan terbentuknya Daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara, maka Daerah Tingkat II
di Sulawesi Selatan menjadi 21 Daerah Tingkat II dan 2 (dua) Kotapraja. Tempat
kedudukan Pemerintah Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan adalah di Makassar.
PERPU Nomor 2 Tahun 1964 tersebut kemudian ditetapkan menjadi Undang-undang
Nomor 13 Tahun 1964 (LN Tahun 1964 Nomor 94; TLN 2687).
Bersamaan dengan perubahan wilayah Propinsi Sulawesi Selatan yaitu pada tanggal
1 Januari 1964 bertepatan dengan 16 Syawal 1383 H. didirikan suatu organisasi
yang menghimpun masjid dan mushalla yang diberi nama IMMIM (Ikatan
Masjid-Mushalla Indonesia Makassar) atas prakarsa M.Dg.Patompo, A.Baso Amir dan
H. Fadeli Luran, setelah mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh masyarakat,
ulama dan pemerintah. IMMIM didirikan ditengah-tengah aksi dan teror dari PKI
serta kondisi intern umat Islam sebagai proses akulturasi bangsa. IMMIM adalah
sebagai bagian integral dari upaya pembinaan umat dalam suasana ukhuwah
islamiyah dan bertujuan untuk mempersatukan umat Islam dan menjadikan masjid
dan mushalla sebagai media pembinaan. IMMIM berkembang sampai ke Indonesia
Bagian Timur, yang pada akhirnya berubah menjadi Ikatan Masjid-Mushalla
Indonesia Muttahidah.
Pada tanggal 31 Maret sampai tanggal 4 April 1964, di Makassar diadakan rapat
kerja sama antar Kotapraja seluruh Indonesia. Rapat itu diadakan oleh
Musyawarah Antar Kotapraja Seluruh Indonesia (MAKSI) atas kerjasama Departemen
Dalam Negeri RI. Usulan-usulan dalam rapat MAKSI itu membahas antara lain
mengenai peninjauan kembali Undang-undang tentang Perimbangan Keuangan Daerah,
berkaitan dengan adanya pajak-pajak baru untuk Negara dan penghapusan beberapa
pajak-pajak lama untuk Daerah, serta peninjauan Undang-undang Agraria dalam
rangka usaha penggunaan tanah sesuai dengan Rencana Bentuk Kota (Stadplan).
Pelaksanaan musyawarah antar kotapraja ini adalah yang ke-2 setelah musyawarah
antar Kotapraja yang dilaksanakan di Kota Surakarta pada tahun 1958.
Satu hari setelah penutupan Musyawarah Antar Kotapraja Seluruh Indonesia
(MAKSI), tanggal 5 April 1964 terjadi suatu peristiwa di dalam kota Pinrang
yaitu penyerangan bersenjata yang dilakukan oleh pasukan-pasukan Andi Selle
terhadap rombongan Panglima Kodam XIV Hasanuddin Kolonel A.M.Yusuf. Peristiwa
ini terjadi sesudah pertemuan antara Kolonenl A.M.Yusuf dengan Letnan Kolonel
Andi Selle di Leppangang (8 km sebelah utara Kota Pinrang), yang mengajak
Kolonel Andi Selle untuk dipindahkan bertugas sebagai Asisten III Kodam XIV
Hasanuddin di Makassar, namun Andi Selle menolak karena tidak mau berpisah
dengan pasukan Tentara Bantuan Operasi (TBO) yang dipimpinnya yang ditugaskan
pada Batalyon 710 serta menguasai perdagangan kopra di Sulawesi yang dieksport
ke Singapura. Atas peristiwa tersebut Pemerintah lalu membentuk dan
menggerakkan Operasi Tumpas dan Operasi Kilat yang dipimpin oleh Panglima Kodam
XIV Hasanuddin, Kolonel A.M.Yusuf, yang bertugas untuk menumpas pasukan-pasukan
Andi Selle dan gerombolan pimpinan Kahar Muzakkar. Pasukan Batalyon 710 dapat
ditumpas setelah Letnan Kolonel Andi Selle meninggal dunia dalam bulan
September 1964, akibat jatuh dari jurang di perbatasan Pinrang dan Enrekang,
mayatnya dikebumikan di Bungi (Bunging), Pinrang.
Sedangkan Kahar Muzakkar dengan pasukannya yang tidak seberapa jumlahnya dapat
disergap dan ditembak mati oleh Pasukan Operasi Kilat di Sungai Lasolo Sulawesi
Tenggara pada tanggal 3 Pebruari 1965.
Setelah Kahar Muzakkar tewas dalam Operasi Kilat, pasukan dan pengikutnya dapat
ditumpas, diadakanlah suatu parade dan devile slagorde Komando Operasi Kilat di
Makassar yang dipimpin lansung oleh Brigjen A.M.Yusuf (mantan Panglima ABRI)
dengan Inspektur Upacara pada waktu itu adalah Kepala Staf Angkatan Darat
Letjen Ahmad Yani. Setelah pelaksanaan parade, diadakan Musyawarah Pembangunan
dan Rehabilitasi Daerah Sulawesi Selatan dan Tenggara (Sulselra) dalam rangka
konsolidasi kepemimpinan dan pembangunan disegala bidang, memadu persatuan baik
dari TNI, Pemimpin Pemerintahan, Pemimpin Partai Politik maupun
Pemimpin-pemimpin masyarakat, dimana Partai-partai Politik dan organisasi massa
pada waktu itu sangat ekstrim mementingkan partai, organisasi daerah atau
golongannya sendiri, kurang di dalam pemikiran maupun tindakan atau berjuang
demi kepentingan bersama atau kepentingan Nasional karena masih bergejolaknya
demokrasi liberal yang dinafasi Nasakom (Nasional, Agama, Komunis). Hasil
Keputusan dalam Musyawarah tersebut antara lain ditetapkan bahwa Sulawesi
Selatan Tenggara sudah aman dan perlu dibangun kembali dari kehancurannya
akibat ketidak normalan situasi politik dan gangguan-gangguan keamanan, dan
menetapkan penggantian sejumlah Walikota dan Kepala Daerah Tingkat II serta
dilancarkannya rehabilitasi dan pembangunan Daerah di Sulawesi
Selatan-Tenggara.
Dengan melihat hasil keputusan Musyawarah itu, maka M.Dg.Patompo - Anggota BPH
Tehnik - yang pernah menjadi wakil sementara Walikota Makassar pada tahun 1963,
dilantik menjadi Penjabat Kepala Daerah Kotapraja Makassar menggantikan
H.Aroeppala pada tanggal 8 Mei 1965 bertempat di Ruang Sidang DPRD Kotapraja
Makassar Jln.Balai Kota No. 11. Selanjutnya H.Aroeppala diangkat menjadi
Residen dan diperbantukan di Kantor Gubernur Sulawesi Selatan-Tenggara.
Dua bulan kemudian, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri RI Nomor
U.P.15/3/26-945 tanggal 5 Juli 1965, pada tanggal 12 Juli 1965 M.Dg.Patompo
diangkat menjadi Walikota/ Kepala Daerah Kotapraja Makassar yang definitif.
M.Dg.Patompo yang dalam kedudukannya sebagai Kepala Daerah Kotapraja Makassar
juga merangkap sebagai Ketua DPRD-GR. Hal ini diatur dalam penjelasan pasal 9
ayat (3) huruf a. PENPRES Nomor 5 Tahun 1960 (Disempurnakan). Sehubungan dengan
itu, menyusul dilakukan penggantian jabatan Sekretaris Daerah/ Sekretaris DPRD
Kotapraja Makassar dari Sikado Dg.Nai kepada Drs.Moehammad Said.
M.Dg.Patompo yang sejak tanggal 2 Januari 1961 menjadi Anggota BPH Tehnik,
sudah mengenal baik keadaan Kota Makassar termasuk pengembangannya. Dalam
rangka perluasan dan peremajaan Kota Makassar, pembangunan kota diarahkan ke
daerah pinggiran yaitu mulai dari sebelah utara Jln.G.Bawakaraeng dan sebelah
timur Jln.Sunu yang mempunyai luas 350 HA. Tempat ini kemudian disebut Ujung
Pandang Plan atau Ujung Pandang Baru. Pelaksanaan pembangunan Ujung Pandang
Plan tahap I dimulai pada tanggal 24 Juli 1965 bertempat di Rappokalling, pada
acara pembukaan selubung nama dilakukan oleh Gubernur A.A.Rifai sebagai tanda
dimulainya pekerjaan.
Pada peringatan Hari Ulang Tahun ke-20 Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17
Agustus 1965, M.Dg.Patompo berkeinginan merayakannya secara besar-besaran dan
meriah dan sekaligus menghibur masyarakat penduduk Kota Makassar yang selama
ini terkungkung dalam situasi ketidak stabilan keamanan di Sulawesi Selatan.
Perayaan yang dilaksanakan secara besar-besaran itu adalah untuk yang
pertamakalinya sejak kemerdekaan RI. Dalam perayaan itu semua unsur dilibatkan serta
diadakan pawai raksasa yang panjangnya ± 30 km, sehingga peserta pertama yang
start sudah tiba kembali di Karebosi, namun masih banyak peserta pawai yang
belum star berada dalam lapangan Karebosi. Pawai itu dimulai dari jam 08.00 dan
diikuti oleh semua lapisan masyarakat, pegawai, tentara, dan sekolah-sekolah
mulai tingkat SR (Sekolah Rakyat) sampai Perguruan Tinggi dalam Kotapraja
Makassar termasuk kendaraan berhias.
Baru 3 bulan setelah M.Dg.Patompo bertugas sebagai Walikota Makassar, bulan
Agustus 1965, terjadi lagi kebakaran di Lingkungan Lette Kecamatan Mariso yang
menghanguskan kurang-lebih 3.000 buah rumah. Lingkungan Lette yang sudah
musnah, kemudian dikapling yang bisa menampung 360 kapling dengan ukuran 15x20
m dan 15x10 m untuk menampung penduduk yang mengalami musibah. Penduduk lainnya
yang tidak mampu dipindahkan ke RK 9 Lingkungan Sambungjawa Kecamatan Mamajang
dan diberikan kapling. Dengan adanya pembangunan kembali Lingkungan Lette
menjadikan Lingkungan Lette berkembang menjadi suatu perkampungan yang ideal
dan diberi nama Kompleks Patompo.
Untuk mengatasi kemiskinan dan kebodohan, selaku Walikotapraja Makassar,
sasaran pertama yang dilakukan adalah mengadakan pembangunan dalam waktu yang
singkat dengan jalan Crash Opentive Program (COP). Kemudian disusul dengan
pencanangan Program Pola Pembangunan Kotapraja Makassar tahun 1965-1970 dan
Program 3K artinya bahwa Pola Pembangunan itu mempunyai sasaran-sasaran
memberantas kemiskinan, kemelaratan dan kebodohan, kemudian disusul dengan
program Gerakan Masuk Kampung (GMK).
Penyerahan tugas-tugas dibidang pemerintahan umum kepada Pemerintah Daerah
Propinsi Sulawesi Selatan dan Daerah-daerah Kabupaten/ Kotamadya selanjutnya
ditetapkan dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 77 Tahun 1965 tanggal
21 Desember 1965 tentang Penyerahan Tugas dan Wewenang Pemerintah Pusat Dalam
Bidang Pemerintahan Umum kepada Pemerintah Daerah Sulawesi Selatan dan Kepada
Pemerintah-pemerintah Daerah Kabupaten/Kotamadya Dalam Wilayah Propinsi
Sulawesi Selatan. Pelaksanaan tersebut barulah dapat terwujud di wilayah
Sulawesi Selatan pada tanggal 28 Desember 1965 sebagaimana digariskan dalam
Pasal 8 Ayat (2) Peraturan Pemerintah RI Nomor 50 Tahun 1963, bahwa pelaksanaan
penyerahan Pemerintahan Umum harus sudah selesai selambat-lambatnya pada akhir
tahun 1965.
Dalam rangka pelaksanaan pemerintahan Kotapraja Makassar, Walikota Kotapraja
Makassar M.Dg.Patompo dibantu oleh 4 BPH (Badan Pemerintah Harian),
masing-masing:
1.
BPH Umum dijabat oleh
Lettu Drs.Salahuddin.
2.
BPH Ekonomi dijabat
oleh Andi Singkerrurukka.
3.
BPH Keuangan dijabat
oleh Marzuki.
4.
BPH Kesejahteraan
dijabat oleh J.R.Patandianan.
Adapun susunan Anggota DPRD-GR Kotapraja Makassar terdiri dari 33 orang di luar
Ketua dan Wakil Ketua DPRD, sebagai berikut:
1.
|
Partai NU
|
6 orang
|
2.
|
PSSI
|
3 orang
|
3.
|
Parkindo
|
3 orang
|
4.
|
Partai Katolik
|
1 orang
|
5.
|
Partai Nasional Indonesia (PNI)
|
1 orang
|
6.
|
Partindo
|
1 orang
|
7.
|
Golongan Karya :
|
|
- Karya Alim Ulama Islam
|
1 orang
|
|
- Karya Alim Ulama Protestan
|
1 orang
|
|
- Karya Alim Ulama Katolik
|
1 orang
|
|
- Karya AKRI
|
1 orang
|
|
- Karya ADRI
|
1 orang
|
|
- Karya ALRI
|
1 orang
|
|
- Karya Veteran
|
1 orang
|
|
- Karya Angkatan 45
|
1 orang
|
|
- Karya OPR
|
1 orang
|
|
- Karya Pemuda
|
1 orang
|
|
- Karya Cendekiawan
|
1 orang
|
|
- Karya Wanita
|
1 orang
|
|
- Karya Wartawan
|
1 orang
|
|
- Karya Seniman
|
1 orang
|
|
- Karya Buruh
|
1 orang
|
|
- Karya Tani
|
1 orang
|
|
- Karya Koperasi
|
1 orang
|
|
- Karya Pengusaha
|
1 orang
|
Pada awal masa jabatan H.Dg.Patompo (tahun 1965),
jumlah Pegawai Kotapraja Makassar, adalah:
- Pegawai Organik ...................................... 1.665 orang
- Pegawai Harian......................................... 29 orang
- Pegawai Honor.......................................... 15 orang.
Jumlah penduduk dan rumah tangga, adalah:
- Jumlah rumah .............................................. 60.156 buah.
- Jumlah penduduk ........................................ 415.826 jiwa.
Sedangkan sarana lainnya, antara lain:
- Gedung SD ................................................. 188 buah.
- Health Center ............................................. 8 buah.
- Mesjid ........................................................ 106 buah
- Gereja Protestan ......................................... 30 buah
- Gereja Katolik ............................................ 9 buah
- Kelenteng ................................................... 4 buah
G. BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 1965
Perkembangan ketatanegaraan setelah Dekrit Presiden Republik Indonesia tanggal
5 Juli 1959 yang menyatakan berl1akunya Undang-undang Dasar 1945, maka
ketentuan perundang-undangan tentang Pemerintahan Daerah tidak sesuai lagi,
maka oleh Panitia Negara yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI
Nomor 514 Tahun 1961 dan Nomor 547 Tahun 1961 telah menghasilkan Rencana
Undang-undang tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah bersama Rencana
Undang-undang tentang Desa Praja yang oleh Sidang Paripurna DPRD-GR pada
tanggal 12 Juli 1965 menetapkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 tanggal 1
September 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah (LN Tahun 1965 Nomor 83;
TLN Nomor 2778), dan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1965 tanggal 1 September 1965
tentang Desapraja (LN Tahun 1965 Nomor 84; TLN Nomor 2779) berdasarkan TAP MPRS
Nomor II/1960. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 mencakup segala pokok-pokok
(unsur-unsur) yang progressif dari :
1.
Undang-undang Nomor
22 Tahun 1948
2.
Undang-undang Nomor 1
Tahun 1957
3.
Penetapan Presiden
Nomor 6 Tahun 1959 (Disempurnakan)
4.
Penetapan Presiden
Nomor 2 Tahun 1960
5.
Penetapan Presiden
Nomor 5 Tahun 1960 (Disempurnakan) jo Penetapan Presiden Nomor 7 Tahun 1965.
Dalam pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965, tingkatan
Daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri,
terdiri dari 3 tingkatan, yaitu:
a.
Propinsi dan/atau
Kotaraya sebagai Daerah tingkat I
b.
Kabupaten dan/atau
Kotamadya sebagai Daerah tingkat II
c.
Kecamatan dan/atau
Kotapraja sebagai Daerah tingkat III.
Konstruksi (susunan) Pemerintahan Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang masing-masing mempunyai masa jabatan 5 tahun.
DPRD tidak diberi lagi sifat Gotong Royong sebagaimana ditetapkan dalam
Penetapan Presiden RI Nomor 5 Tahun 1960 (Disempurnakan).
Dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari Kepala Daerah dibantu oleh Wakil
Kepala Daerah dan Badan Pemerintah Harian. Dalam Pasal 57 ayat (1) dijelaskan
"Anggota-anggota Badan Pemerintah Harian adalah pembantu-pembantu Kepala
Daerah dalam urusan di bidang urusan otonomi dan di bidang tugas pembantuan
dalam pemerintahan". Sedangkan Sekretaris Daerah adalah Sekretaris Kepala
Daerah dan Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah serta diberi tugas pula
untuk membantu anggota Badan Pemerintah Harian (Pasal 62). Kedudukan Kepala
Daerah disamping sebagai alat Pemerintah Daerah, juga adalah sebagai alat
Pemerintah Pusat. Lebih lanjut, dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c. dibentuk Daerah
Tingkat III, diadakan pada Daerah Kecamatan dan Kotapraja. Kecamatan adalah
suatu wilayah administratif dari Kabupaten/ Kotamadya yang dikepala oleh
seorang Camat yang kedudukannya adalah Pegawai Negeri.
Mengenai anggaran keuangan daerah diatur dalam Pasal 76, anggaran keuangan
daerah ini belum diadakan peraturan-peraturan baru mengenai anggaran pendapatan
dan belanja daerah termasuk perhitungannya sejak mulai berlakunya Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1957 sesuai Pasal 61, maka dalam penyusunan anggaran keuangan
didasarkan kepada Peraturan penyelenggaraan keuangan daerah dalam Staatsblad
1936 No.432 jo. Bijblad 13678 (begroting, rekening en beheersvoorschriften)
yang disesuaikan dengan instruksi tahunan Menteri Dalam Negeri termasuk Surat
Keputusan Menteri Keuangan tanggal 28 Pebruari 1953 Nomor 47454/PKN (TLN 434).
Dalam keputusan Menteri Keuangan itu, menetapkan “Peraturan tentang
penyelenggaraan tata usaha keuangan Propinsi Otonom (Daerah tingkat I) di Jawa
dan Sumatera termasuk Daerah Istimewa Jogyakarta” dengan pengertian bahwa
terhadap uang-uang yang diurus menurut peraturan ini dalam hal
pengurusan-pertanggungjawaban dan pengawasannya berlaku ketentuan-ketentuan
dalam Provincie-ordonnantie” Staatsblad 1924 Nomor 78 sebagaimana telah dirubah
dan ditambah terakhir dengan Staatsblad 1940 Nomor 226 dan 251. Disamping ketentuan
tersebut, digunakan juga ketentuan-ketentuan yang termuat dalam :
a.
Staatsblad Tahun 1924
Nomor 78 Bab VI untuk Propinsi,
b.
Staatsblad Tahun 1924
Nomor 79 Bab VI untuk Kabupaten,
c.
Staatsblad Tahun 1926
Nomor 365 Bab IX untuk Kotaraya, Kotamadya dan Kotapraja lainnya.
Disamping Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah, ditetapkan pula
Undang-undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja Sebagai Bentuk Peralihan
untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III di Seluruh Indonesia, disahkan
dan diundangkan pada tanggal 1 September 1965 (LN Tahun 1965 Nomor 84; TLN
Nomor 2779). Undang-undang ini disebut "Undang-undang Desapraja" yang
merupakan undang-undang pertama mengatur tentang Desa sejak Proklamasi RI, yang
sebelumnya masih dijalankan berdasarkan peraturan-peraturan pada masa Hindia
Belanda yang mengandung unsur-unsur dan sifat kolonial-feodal.
Belum lagi Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan
Daerah dan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja, dilaksanakan,
terjadi pemberontakan yang didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) pada
tanggal 30 September 1965 di Jakarta. Gerakan itu disebut "Gerakan 30
September" (kemudian dikenal di masyarakat luas dengan sebutan G-30-S/PKI
atau Gestapu/PKI).
Dengan adanya peristiwa itu, pada tanggal 1 Oktober 1965 Pimpinan Sementara
Angkatan Darat Mayor Jenderal Soeharto mengeluarkan Pengumuman Nomor
027/PENG/PUS/1965 tanggal 1 Oktober 1965 yang menyatakan bahwa telah terjadi
suatu gerakan kontra revolusioner dengan nama Gerakan 30 September yang telah
melakukan penculikan terhadap beberapa Perwira Tinggi, dan menduduki Studio RRI
dan Kantor Besar Telekomunikasi Jakarta. Dengan adanya peristiwa tersebut, pada
sore harinya mulai dilakukan operasi penumpasan terhadap G-30-S/PKI. Setelah
Jakarta dapat dikuasai kembali, operasi penumpasan dilanjutkan ke daerah-daerah
dengan gerakan pembersihan terhadap sisa-sisa G-30-S/PKI.
Pada tanggal 15 Oktober 1965, 22 Organisasi Massa melakukan rapat akbar di
Karebosi yang menuntut dibubarkannya PKI, dan menyusul kemudian massa mulai
mengadakan demonstrasi pengganyangan dengan mengadakan perusakan dan pembakaran
terhadap toko-toko milik orang Cina dan mengambil alih beberapa gedung milik
ormas PKI termasuk gedung-gedung sekolah yang terletak di Jln.Irian dan
Jln.G.Latimojong, demikian juga gedung yang terletak di Jln.Khairil Anwar yang
merupakan markas PKI diduduki dan kemudian dijadikan Markas KAMI dan KAPPI.
Menyusul aksi demonstrasi, pada tanggal 13 Desember 1965 dengan Peraturan
Pemerintah RI Nomor 27 Tahun 1965 (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 102)
pemerintah mengeluarkan pengumuman tentang kebijaksanaan di bidang ekonomi dan
moneter yaitu mengadakan devaluasi terhadap nilai rupiah dari nilai Rp. 1.000,-
menjadi Rp. 1,- sebagai akibat krisis ekonomi yang semakin parah dengan laju
inflasi mencapai 650%. Krisis ini adalah sebagai lanjutan dari akibat
kebijaksanaan Pemerintah yang dilakukan sejak tanggal 25 Agustus 1959.
Sementara itu, Garis-garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berenana
Tahapan I (1961-1969) yang telah disusun oleh Dewan Perancang Nasional
(Depernas) dan ditetapkan melalui Tap MPRS Nomor II/MPRS/1960 yang mulai
dilaksanakan sejak tanggal 1 Januari 1961 tidak berhasil, disebabkan berbagai
faktor yang sangat mempegaruhi antara lain biaya pembangunan yang berasal dari
luar maupun dari dalam negeri tidak diperoleh.
Sebagai perbandingan dari devaluasi terhadap nilai rupiah, harga bensin di
Makassar pada bulan Mei 1965 Rp. 6,- (dihitung dengan uang baru) perliter
meningkat menjadi Rp. 500,- perliter pada bulan Maret 1966, demikian juga harga
barang-barang kebutuhan pokok lainnya mengalami kenaikan harga yang tinggi,
bahkan hilang dari pasaran.
Berkaitan dengan kebijaksanaan devaluasi tersebut, mempengaruhi pembangunan
yang sedang dilaksanakan di Makassar, salah satunya adalah pembangunan tanggul
dipinggir sebelah utara Sungai Jeneberang yang bertujuan untuk mencegah bahaya
banjir setiap tahunnya terjadi di Kota Makassar bagian selatan akibat dari
luapan air Sungai Jeneberang. Tanggul ini mulai dikerjakan pada bulan Nopember
1965 dengan biaya Rp.62.000.000,- uang lama. Setelah tanggul ini selesai,
kemudian diresmikan oleh Kepala Staf Kodam XIV/HN pada awal bulan Desember 1966
dan diberi nama Tanggul Patompo. Demikian juga tanggul penahan ombak di Pantai
Losari yang mengalami kerusakan berat dalam tahun 1965 direhabilitasi kembali
yang menelan biaya sebesar Rp. 185.060.000,-. Biaya itu ditanggung oleh
Pemerintah Kotapraja Makassar dan sebagian dari jumlah tersebut sebesar Rp. 39.965.389,65
dibebankan pada keuangan KOTI (Komando Operasi Tertinggi).
Dalam keadaan situasi poltik dan keamanan yang semakin tidak menentu, pada
tanggal 1 Januari 1966 Kotapraja Makassar ditingkatkan statusnya menjadi Daerah
Tingkat II Kota Madya Makassar (KMM). Perubahan ini diatur dalam pasal 2 ayat
(1) dan pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Daerah. Kemudian berdasarkan Undang-undang itu pula pada tanggal
26 Pebruari 1966 jabatan Ketua DPRD-GR yang dirangkap oleh Walikota Kepala
Daerah Makassar M.Dg.Patompo diserahterimakan kepada Wakil Ketua DPRD-GR
H.M.Akil Ismail sebagai Pds.Ketua DPRD-GR Kotamadya Makassar.
Sebagaimana yang diatur dalam penjelasan pasal 9 ayat (3) huruf a. PENPRES
Nomor 5 Tahun 1960 (Disempurnakan) yang telah dicabut dengan Undang-undang
Undang-undang Nomor 15 Tahun 1965, yang didalamnya disebutkan bahwa “sebagai
kelanjutan dari pada Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 (Disempurnakan),
yang menghilangkan dualisme dalam pimpinan Pemerintah Daerah, maka Kepala
Daerah mengetuai juga DPRD-GR”. Dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965, hal
tersebut dipisahkan.
Dalam perkembangan penumpasan terhadap G.30.S/PKI, pada tanggal 12 Januari 1966
dipelopori oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia yang baru dibentuk pada
tanggal 25 Oktober 1965, beserta kesatuan-kesatuan aksi yang tergabung dalam
Front Pancasila mendatangi DPR-GR di Jakarta untuk mengajukan tiga buah
tuntutan (Tritura) yakni:
a.
pembubaran PKI
b.
pembersihan kabinet
dari unsur-unsur G-30-S/PKI
c.
penurunan
harga/perbaikan ekonomi.
Setelah keluar Surat Perintah 11 Maret 1966 yang dikenal dengan Supersemar
disusul pengumuman melalui RRI pada hari Sabtu tanggal 12 Maret 1966
menyiarkan, bahwa "... Letnan Jenderal Soeharto berdasarkan Surat Perintah
11 Maret, dengan Keputusan Nomor 1/3/1966 membubarkan PKI dan segala
ormas-ormasnya". Dalam Keputusan tersebut yang ditandatangani oleh Letnan
Jenderal Soeharto pada bagian Pertama menyatakan “Membubarkan Partai Komunis
Indonesia termasuk bagian-bagian Organisasinya dari Tingkat I sampai ke daerah
beserta semua Organisasi yang seazas/berlindung/bernaung di bawahnya” dan
selanjutnya di bagian Kedua “Menyatakan Partai Komunis Indonesia sebagai
Organisasi yang terlarang diseluruh wilayah kekuasaan Negara Republik
Indonesia” dan kemudian disusul dengan Pengumuman Nomor 5 tanggal 18 Maret 1966
untuk mengambil tindakan pengamanan (penangkapan dan penahanan) terhadap 15
Menteri.
Dalam perkembangan selanjutnya, pada tanggal 20 Juni 1966 sampai dengan tanggal
6 Juli 1966 diadakan sidang MPRS yang ke-IV di Jakarta yang menghasilkan 32 TAP
MPRS RI, diantaranya adalah TAP MPRS-RI Nomor XXI/MPRS/1966 tanggal 5 Juli 1966
tentang Pemberian Otonomi Seluas-luasnya Kepada Daerah. TAP ini memerintahkan
kepada Pemerintah bersama-sama DPR-GR selambat-labatnya dalam tempo tiga tahun
memberikan otonomi seluas-luasnya kepada Daerah-daerah, tanpa mengurangi
tanggungjawab Pemerintah Pusat di bidang perencanaan, koordinasi, dan pengawasan
terhadap Daerah-daerah. Dengan otonomi seluas-luasnya diharapkan Daerah-daerah
lebih cepat memperkembangkan swadaya - swasembada masyarakat dan daerah
disegala bidang. Dalam pasal 5 ditetapkan “Pemerintah bersama DPR-GR segera
meninjau kembali Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965, Undang-undang Nomor 19
Tahun 1965 dan Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960 paragrap 392 No.1 angka 4, dan
menyesuaikannya dengan perkembangan baru dalam rangka kembali kepada
Undang-undang Dasar 1945 secara murni dan konsekwen”. Selain itu, dalam Pasal 4
ditetapkan bahwa “Perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah diatur kembali
sedemikian rupa sehingga pelaksanaan otonomi seluas-luasnya dapat terselenggara
secara sehat.” Berdasarkan hal tersebut, maka Pemerintah menyusun 3 (tiga) Rancangan
Undang-undang yang disampaikan dengan Amanat Presiden Nomor R.36/Pres/HK/3/1968
tanggal 16 Maret 1968.
1.
Rancangan
Undang-undang tentang Kedudukan dan Hubungan Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
2.
Rancangan
Undang-undang tentang Daerah Swatantra.
Sedangkan Rancangan Undang-undang tentang
Dekonsentrasi, baru disampaikan dengan Amanat Presiden Nomor R.05/PU/VI/1970
tanggal 20 Juni 1970.
TAP MPRS XXI/MPRS/1966 yang telah ditetapkan sejak tanggal 5 Juli 1966 baru
dapat disampaikan oleh Pimpinan MPRS kepada Presiden/ Mandataris MPR dan
Pimpinan DPR-GR melalui suratnya tanggal 27 Maret 1968 Nomor NOTA 3/PIMP/1968.
Salah satu kejadian penting yang terjadi pada awal tahun 1967, tepatnya tanggal
22 Pebruari 1967 bertempat di Istana Negara Presiden Soekarno menyerahkan
seluruh kekuasaan pemerintahan kepada Jenderal Soeharto, yang kemudian
penyerahan kekuasaan itu ditetapkan dalam Sidang Istiwewa MPRS dari tanggal 7
sampai dengan tanggal 12 Maret 1967 dengan TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967
tanggal 12 Maret 1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari
Presiden Soekarno.
Lahirnya Supersemar menandakan awal dari Orde Baru dalam membangun Negara
Republik Indonesia. Dalam pidato Penjabat Presiden Jenderal TNI Soeharto
tanggal 16 Agustus 1967, menjelaskan bahwa “Orde baru tidak lain adalah tatanan
seluruh peri kehidupan rakyat bangsa dan negara yang diletakkan kembali kepada
pelaksanaan kemurnian Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Mempertahankan,
memurnikan wujud dan memurnikan pelaksanaan Pancasila dan Undang-undang Dasar
1945 itulah fungsi dan tujuan Orde Baru". Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, “masa orde baru di Indonesia sejak tanggal 11 Maret 1966”, yaitu
sejak lahirnya Supersemar (Surat Perintah 11 Maret 1966).
Untuk melengkapi penyerahan urusan kepada Pemerintah Daerah, dalam tahun 1968
Pemerintah RI menyerahkan lagi Pajak Negara kepada Daerah Tingkat I dan Tingkat
II yang diatur dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1968 tentang Penyerahan
Pajak-pajak Negara, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bangsa Asing dan
Pajak Radio (LN Tahun 1968 Nomor 54; TLN Nomor 2861). Pajak Negara yang
diserahkan kepada Daerah Tingkat II adalah:
a.
Pajak radio,
sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1947 serta telah diubah
dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1948, Undang-undang Darurat
Nomor 27 Tahun 1957, (LN Tahun 1957 Nomor 84 dan LN Tahun 1959 Nomor 1402),
Undang-undang Nomor 19 Tahun 1959 (LN Tahun 1959 Nomor 63), Undang-undang Nomor
9 Prp. Tahun 1959 (LN Tahun 1959 Nomor 102).
b.
Pajak bangsa asing,
sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 74 Tahun 1958 (LN Tahun 1958
Nomor 128, TLN Nomor 1345) serta telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang
Darurat Nomor 87 Tahun 1958 (LN Tahun 1958 Nomor 164; TLN 1692), dan Undang Nomor
29 Prp. Tahun 1959 (LN Tahun 1959 Nomor 140).
Pelaksanaan dari penyerahan Pajak Bangsa Asing dan Pajak Radio kepada Daerah
Tingkat II di Sulawesi Selatan, oleh Gubernur Kepala Daerah Propinsi Sulawesi
Selatan mengatur lebih lanjut tarif Pajak Bangsa Asing dan Pajak Radio dalam
Surat Keputusan Nomor 271/IX/1969 tanggal 3 September 1969 tentang Penyerahan
Pajak bangsa Asing dan Pajak Radio Kepada Daerah Tingkat II, namun kemudian
surat keputusan tersebut dicabut kembali pada tanggal 19 Mei 1970 dengan Surat
Keputusan Gubernur Kepala Daerah Sulawesi Selatan Nomor 209/V/1970 berhubung
adanya Surat Kawat Menteri Dalam Negeri RI Nomor 7/5/28 perihal Pencabutan
Kembali Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Sulawesi Selatan Nomor tanggal 3
September 1969 Nomor 271/IX/1969, mengingat bahwa hal tersebut harus ditetapkan
melalui peraturan daerah dari masing-masing Daerah Tingkat II dengan melihat
keadaan kondisi setempat. Disamping sumber-sumber keuangan yang diperoleh dari
pajak dan retribusi, mulai tahun anggaran 1967 terdapat lagi sumber keuangan
Daerah berupa Subsidi Propinsi.
Sumber-sumber keuangan berupa pajak dan retribusi yang merupakan penghasilan
Daerah sendiri, dikelola oleh beberapa Bahagian, yaitu:
1.
Bahagian Pajak
2.
Bahagian Pasar
3.
Bahagian Stasion Bus
4.
Bahagian Pelelangan
Ikan
5.
Bahagian Pengawasan
6.
Bahagian Sempadan
7.
Bahagian Pembantaian
Hewan
8.
Taman Hiburan Rakyat
(THR).
Setelah Undang-undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desa Swapraja ditetapkan,
menyusul keluar Instruksi Menteri Dalam Negeri RI Nomor 43 Tahun 1965 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Desapraja Dalam Masa Peralihan, dan Instruksi Nomor 46
Tahun 1965 tentang Pedoman Penghasilan Pejabat Desapraja, maka Gubernur Kepala
Daerah Sulawesi Selatan mengeluarkan Surat Keputusan tanggal 20 Desember 1965
Nomor 450/XII/1965 tentang Pedoman Pembentukan Desa Gaya Baru di Sulawesi
Selatan, yang pada dasarnya merupakan langkah untuk menuju terbentuknya
Desapraja sebagai persiapan dalam pembentukan Daerah Tingkat III di Sulawesi
Selatan. Pembentukan Desa Gaya Baru tersebut hampir rampung seluruhnya di
Sulawesi Selatan. Dalam tahun 1967 disusul lagi Surat Keputusan Gubernur Kepala
Daerah Sulawesi Nomor 289a/VI/1967 tanggal 28 Juni 1967 tentang Pedoman
Pembentukan Desa Gaya Baru. Dalam peraturan ini, Desa membawahi lingkungan yang
dikepalai oleh seorang Kepala Lingkungan sebagai unsur pembantu Kepala Desa.
Pembentukan Desapraja sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun
1965 belum lagi dilaksanakan, datang Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 29
Tahun 1966 tanggal 15 Oktober 1966 tentang Penundaan Realisasi Pembentukan
Desapraja, yang menegaskan bahwa meskipun dengan secara formil Undang-undang
Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja masih tetap berlaku, tetapi dengan ini
menginstruksikan agar realisasi pembentukan Desapraja ditunda sampai ada
ketentuan lebih lanjut.
Sebagai pelaksanaan dari maksud Surat Pimpinan MPRS Nomor 3/PIMP/1968 tanggal
27 Maret 1968, maka keluar Undang-undang Nomor 6 Tahun 1969, tentang Pernyataan
Tidak Berlakunya Berbagai Undang-undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 37); TLN Nomor 2091, yang mulai
berlaku sejak tanggal 5 Juli 1969. Undang-undang yang dicabut tersebut dalam
Lampiran III termasuk Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pemerintahan
Daerah dan Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja. Namun oleh Menteri
Dalam Negeri RI mengeluarkan Keputusan Nomor 145 Tahun 1969 tanggal 1 Oktober
1969 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah, yang
organik dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965. Keputusan Menteri Dalam
Negeri itu dikeluarkan dengan tujuan untuk memantapkan pelaksanaan tugas-tugas
Pemerintahan di daerah-daerah dalam rangka meletakkan tanggung jawab otonomi
riil seluas-luasnya dalam tangan Pemerintah Daerah disamping dekonsentrasi
sebagai komplemen yang vital serta belum adanya keseragaman pola organisasi
Sekretariat Daerah di daerah-daerah. Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor
145 Tahun 1969 belum dapat dilaksanakan dalam Kotapraja Makassar, karena Surat
Keputusan tersebut ditangguhkan pelaksanaannya oleh Pemerintah Pusat sendiri
karena adanya kenyataan, bahwa tidak dapat ditetapkan suatu organisasi yang
sama bagi Kabupaten dan Kotamadya, dimana ketidak-samaan itu terletak dalam
pelbagai bidang pengurusan. Sedangkan antar Kotamadya itu sendiri
persamaan-persamaan sulit dicari, karena berbeda baik sifat maupun luasnya,
begitu pula dalam potensi kemampuannya.
Kehadiran IMMIM di tengah-tengah masyakarat Kotamadya Makassar diadakanlah
Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) tingkat Kotamadya Makassar pada tahun 1966
yang diprakarsai oleh M.Dg.Patompo bersama dengan H.M.Ali Mabham Dg.Tojeng,,
kemudian pelaksanaan MTQ tersebut ditingkatkan menjadi MTQ tingkat Propinsi
Sulawesi Selatan pada tahun 1967 dan disusul MTQ tingkat Nasional pertama yang
dilaksanakan di Makassar dari tanggal 24 Nopember sampai dengan 1 Desember
1968. Dalam pengembangan MTQ, dibentuklah pula Lembaga Pengembangan Tilawatil
Qur'an (LPTQ) sesuai Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri RI Nomor 19 Tahun 1977 dan Nomor 151 Tahun 1977 tanggal 7 Mei 1977
tentang Pembentukan Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur'an.
Dalam rangka membangun infrastrukur dalam Kotamadya Ujung Pandang dengan sumber
keuangan yang diharapkan dari APBD tidak memadai dan mendesaknya pekerjaan,
maka mulai tahun 1969 oleh Pemerintah Daerah terpaksa mengadakan sumber
keuangan yang inconvensional yaitu dengan Lotto Makassar, kerja sama dengan
Akai yang dapat memberikan kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah sebesar
30 - 50 % yang dapat membiayai belanja rutin dan pembangunan. Disamping Lotto
Makassar juga dibangun sarana ketangkasan di Lapangan Karebosi. Pemasaran Lotto
Makassar meliputi beberapa daerah di Sulawesi Selatan. Berhubung karena banyak
mendapat kritikan dan sorotan dari masyarakat akhirnya Lotto Makassar dan Arena
Ketangkasan dihentikan pada tahun 1972 setelah berjalan selama 3 tahun. Tempat
arena ketangkasan tersebut kemudian dijadikan Kompleks Perkantoran Kotamadya
Ujung Pandang.
Menyusul kemudian dibangun Taman Hiburan Rakyat (THR) di Jln.Kerung-kerung yang
sebelumnya adalah daerah rawa-rawa dan tempat pembuangan sampah. Pembangunan
THR itu dibangun setelah Jalan Veteran telah selesai dikerjakan oleh Yon Zipur
(Zeni Tempur).
Taman Hiburan itu mulai digunakan pada tahun 1972 dengan berbagai macam hiburan
dan arena ketangkasan yang tersedia. Pada waktu pertama kalinya dibuka selama
satu bulan tempat itu penuh dengan pengunjung, kendaraan yang diparkir sampai
ke Jln.Veteran. Taman Hiburan Rakyat tersebut kemudian dijadikan Perusahaan
Daerah Hiburan Rakyat.
Setelah pelaksanaan kebijaksanaan anggaran berimbang yang dimulai dilaksanakan
pada tahun 1968 yang telah berhasil menghilangkan sumber utama inflasi yang
berasal dari APBD, maka memasuki tahun 1969 terdapat dua perubahan penting yang
berhubungan dengan pelaksanaan keuangan Negara dan keuangan Daerah, yaitu:
pertama adalah perubahan tahun anggaran yang semula berlaku mulai tanggal 1
Januari sampai dengan 31 Desember dirubah menjadi mulai tanggal 1 April sampai
dengan 31 Maret tahun berikutnya, yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 9
Tahun 1968 tanggal 25 Oktober 1968 tentang Perubahan Pasal 7 Indische
Comptabiliteitswet (Stbld. 1925 Nomor 149) Sebagaimana Telah Diubah Dengan
Undang-undang Nomor 3 Drt. 1954 (Lembaran Negara 1954 Nomor 6); LN Nomor 1968
Nomor 53; TLN 2860. Perubahan ini didasarkan pertimbangan ekonomis yang masih
bersifat agraris, dimana produksi pangan menempati kedudukan yang paling
strategis. Perubahan kedua adalah pelaksanaan tahun pertama Rencana Pembangunan
Lima Tahun I (REPELITA I) sebagaimana tertuang dalam Keputusan Presiden RI
Nomor 319 Tahun 1968 yang selanjutnya dituangkan dalam APBN sebagai rencana
tahunan. Sebagai pedoman pelaksanaan APBN dikeluarkan Keputusan Presiden RI
Nomor 33 Tahun 1969, tanggal 31 Maret 1969 (Lembaran Negara Nomor 13/1969),
dimana mulai diberlakukan system Daftar Isian Proyek (DIP) dalam anggaran
pembangunan yang terdiri dari 9 halaman.
Memasuki tahun anggaran 1973/1974, dilakukan lebih lanjut perubahan dalam
prosedur penyusunan anggaran. Hal ini dilakukan berdasar kepada Keputusan
Bersama Menteri Negara/Ketua Bappenas dan Menteri Keuangan tanggal 5 Juli 1972.
Prosedur penyusunan anggaran yang baru ini adalah diperlukannya DUP untuk anggaran
pembangunan dan DUK untuk anggaran rutin, setelah disetujui baru dituangkan
dalam Daftar Isian Proyek (DIP) dan Daftar Isian Kegiatan (DIK). Prosedur
penyusunan anggaran ini juga menjadi acuan dalam penyusunan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah, yang dituangkan dalam Daftar Isian Kegiatan Daerah (DIKDA)
untuk anggaran rutin dan Daftar Isian Pembangunan Daerah (DIPDA) untuk anggaran
pembangunan.
Dengan berakhirnya masa jabatan M.Dg.Patompo periode 1965-1970 pada tanggal 18
Juni 1970, maka beliau ditunjuk kembali untuk menjabat Walikota Kepala Daerah
Ujung Pandang sampai terpilihnya Walikota Kepala Daerah baru.
Sumber : nurkasim49
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !